"Bapak sudah tidak waras!"
Amira jelas mengamuk. Suami macam apa Ilyas ini, setelah menciptakan tanda di lehernya. Malah ingin orang lain melihat. Amira berpegangan pada televisi, membuat Ilyas yang semula masih menarik langsung menoleh.
"Jika Bapak membawa saya keluar, saya akan jatuhkan televisi ini," ancamnya.
Ilyas menyeringai. "Kamu pikir aku begitu miskin? Hingga tak mampu bayar kerugian."
Tapi, Ilyas juga berpikir. Akan sangat merepotkan jika memecahkan barang di hotel, sekalipun kerugian dibayarkan.
Amira kaget saat tubuhnya diangkat oleh Ilyas. Fix, nama baik Amira bakal tercoreng. Setelah semua orang melihat tanda di lehernya. Amira terburu menggigit pundak suaminya dengan keras karena ingin turun.
Ilyas mengadu kesakitan dan melempar Amira ke atas ranjang. "Apa kamu anjing!"
Ilyas memegangi pundak dengan raut meringis, sementara Amira memandang sengit ke arah suaminya.
"Anda yang memulai lebih dulu, membawa saya keluar untuk mempertontonkan tanda di leher saya."
Jari Ilyas langsung menunjuk kasur. "Saat ini kamu tidak berada di luar! Aku membawamu masuk, tapi kamu tetap menggigit."
Benar juga. Amira bersikap gegabah tadi, karena berpikir Ilyas akan membopongnya keluar kamar. Rupanya malah semakin ke dalam.
"Coba saya lihat," ujar Amira berusaha berbaik hati.
"Tidak usah!" Tapi, Ilyas menjawab ketus kemudian berjalan ke kamar mandi.
Melihat Ilyas yang marah itu, Amira ikutan mendengkus kesal. Kemudian mendapati dirinya yang belum make up di cermin, Amira langsung menepuk dahi.
"Aku menunjukkan sosok buluk di mata suami."
Amira pagi itu sarapan bersama Ilyas di restoran hotel. Duduk berhadapan saling diam dengan mulut mengunyah. Amira sesekali mencuri pandang pada Ilyas.
"Anu, jadwal cek out tepat pukul 7 pagi. Setelah itu, kita akan ke mana?" tanya Amira dengan nada pelan.
"Apartemenku."
Amira sedikit menarik napas lega. Rupanya ia tidak ditempatkan di satu rumah yang sama dengan Malik dan saudara Ilyas lainnya.
Konon katanya, seharmonis apa pun. Kalau tinggal dengan mertua yang masih ada ipar juga, pasti tetap ada cekcok. Pandangan Ilyas jatuh pada bibir Amira yang mendadak tersenyum.
"Bayangan apa yang sedang kamu putar di kepala?" tanya Ilyas meletakkan sendok.
"Ya?"
Dagu Ilyas menunjuk dirinya. "Kamu tersenyum setelah aku bahas apartemen. Apa kamu sedang membayangkan kegiatan ranjang?"
Mata Amira seketika membulat. Mana ada bayangan ranjang di kepalanya. Memikirkan pegangan tangan saja tidak pernah.
"Jangan menuduh ya Pak," tegasnya.
Ilyas meraih secangkir air mineral dan meneguknya. Namun, sorot mata tak melepas Amira sama sekali.
"Maka, jangan tunjukkan senyummu."
Amira tidak terima, hingga matanya menajam. "Bagaimana bisa Bapak mengatur saya begitu? Mulut-mulut saya."
Ilyas menaikan satu alis. Tak menduga sosok yang dinikahi kemarin, ternyata wanita pembangkang yang pandai mengolah kata.
Selain itu, Amira juga emosian. Terlihat dari cara dirinya makan dengan raut kesal. Ilyas perlahan mengulas senyum, namun berusaha disamarkan dengan bibir meneguk sisa air dalam gelas.
Setelah selesai dengan urusan mengisi perut. Ilyas langsung membawa Amira ke apartemen yang dibeli secara pribadi. Takjub, itulah yang Amira tunjukkan. Pasalnya mulai sekarang, ia akan tinggal di apartemen elit.
"Saya dengar, banyak artis yang tinggal di sini?" tanya Amira memulai kata.
Selagi menyeret koper masuk, Ilyas melirik sejenak. "Mana aku tahu."
"Loh, Bapak bertahun-tahun tinggal di sini kan?"
"Mataku ini hanya melihat pasien, jika kamu tanya nama pasien akan aku jawab."
Amira tersenyum miris. Mungkin suaminya seorang introvert yang antisosial. Amira semakin masuk dan menemukan ada pintu yang bersebelahan.
"Apakah kamar saya yang ini?" Tunjuk Amira.
Ilyas membuka salah satu pintu kamar. "Kamu keponakanku memangnya? Sampai minta kamar terpisah."
Amira kaget. "Memangnya kita tidak pisah kamar?"
"Aku yang tidak mau dan aku tidak mengizinkan kamu pisah kamar."
Amira menghela napas. Namun, mengingat Ilyas yang tega meninggalkannya saat malam pertama pun. Membuatnya tiba-tiba senang, pasti malam berikutnya juga akan seperti itu. Amira adalah penguasa kamar yang sesungguhnya.
"Apa ini kamar manusia?" celetuk Amira begitu masuk ke dalam.
Kerangka manusia ada di sebelah rak besar yang dihuni banyak sekali buku. Cat kamar hitam dan putih, interiornya juga sama. Tidak ada unsur keceriaan sama sekali.
"Ini persis seperti kotoran cicak," gumam Amira.
Ilyas yang masih bisa mendengar langsung menghela napas. "Mulut kamu ini nganggur cuma pas makan ya?"
Amira menoleh karena disindir. "Ya anggap saja begitu."
Mata Ilyas membidik Amira yang duduk di atas ranjang dengan pandangan menilai seluruh pelosok kamar. Wajah Amira yang dipoles make up benar-benar berbeda dengan pagi tadi, saat Ilyas pergoki sehabis mandi.
"Saat di rumah, usahakan jangan pakai make up," ujar Ilyas sembari membongkar koper miliknya.
Amira menjadi waspada dan segera berlari untuk merampas koper miliknya. "Kenapa? Semua suami suka istri yang make up."
"Aku lebih suka kamu tanpa make up tebal."
"Kenapa?"
Ilyas memandang Amira serius. "Karena cantik."
Amira tertegun. Baginya wajah buluk itu saat tidak pakai make up, justru dinilai cantik oleh suaminya. Ketika Ilyas ingin meraih kopernya, Amira terburu memeluk membuat Ilyas mengerutkan dahi.
"Apa kamu menyembunyikan selingkuhan di dalamnya?" tuding Ilyas.
"Omong kosong, ini hanya barang milik wanita. Bersifat privasi, Anda sebagai pria tidak mengerti."
Ilyas memandang kopernya lekat. "Hanya berisi dalaman saja dan pakaian lainnya."
Amira mendelik. "Biar begitu, tetap saja privasi wanita."
Mendadak Ilyas melirik jam. Hampir lima menit mereka berdua berdebat tanpa membiarkan koper itu terbuka sebentar saja.
"Baiklah, tata pakaianmu di lemari. Kemudian kita keluar untuk membeli bahan makanan."
***
Ilyas kembali bekerja meski dipaksa untuk cuti selama pengantin baru. Dia memasuki ruang kerja dengan tangan menyentuh pundak dan berakhir meringis.
"Istriku yang pendek itu, ternyata punya gigi selayaknya macan," gerutu Ilyas melepas tiga kancing kemeja dan menatap pundak.
Selain berwarna merah kehitaman, bekas gigitan Amira juga sedikit membengkak. Ilyas menarik napas atas keganasan istri, lantas mengambil salep di dalam laci.
"Dokter Ilyas menyesal menikah, makanya selalu datang untuk bekerja?"
Mendadak pintu ruangan kerja Ilyas terbuka, namun sosok pria yang masuk nampak heboh mendapati Ilyas sedang mengobati diri sendiri.
"Ada apa dengan Anda, Dokter?"
Ilyas menoleh, kemudian mendengkus karena melihat dokter muda bernama Arfin menunjukkan wajah panik.
"Habis digigit istri."
Arfin membulatkan mata. Usia memang masih muda, namun pemikiran seorang pria begitu peka. Hingga tiba-tiba tersenyum misterius.
"Jadi siapa yang ganas di antara kalian berdua?"
Ilyas menoleh. "Berhenti bicara omong kosong, ada apa kamu ke sini?"
Ilyas mulai mengancing bajunya dengan menunjukkan wajah serius. Saat itu, seorang dokter lain mengetuk dan membuka pintu.
"Anda terluka?" tanya dokter itu setelah melihat salep di atas meja.
Arfin langsung tertawa. "Dokter Ilyas habis digigit istrinya semalam."