Bab 5. Nafkah Batin Juga Harus Diterima

1129 Words
Ilyas memandang pada kedua rekan dokter yang tertawa. Kesalahpahaman telah tercipta atas ucapan dari Ilyas, namun dia tidak ingin buang tenaga untuk menjelaskan. Toh memang benar Ilyas digigit oleh Amira. Terlepas dari benar atau menyimpangnya pemikiran mereka, Ilyas tidak peduli. "Hari ini aku pulang lebih awal, tolong handle urusan di rumah sakit," ujar Ilyas membuat Arfin tertawa senang. "Tenang saja, Dokter Ilyas silakan bermesraan dengan istri, saya yang handle rumah sakit." Ilyas menghela napas. "Ayahku ingin bertemu menantunya." Mata Ilyas memandang ponsel. Mata menemukan balasan dari Amira yang menolak dijemput dari kantor. Hal itu membuat Ilyas mendengkus kesal. "Dasar betina, dibaikin malah nolak," gumam Ilyas pelan. Lembayung sore hampir menampakkan diri di langit bumi. Terlihat Amira keluar dari perusahaan tempatnya bekerja. Seperti biasa, menunggu angkutan umum untuk pulang ke apartemen milik Ilyas. Namun, tubuh Amira langsung mematung saat melihat Rion menyender pada bodi mobil. Berjalan mendekat ke arahnya yang masih mematung. Amira terburu memastikan mobil milik atasan sekaligus mertuanya sudah tidak ada di parkiran. Bisa gawat kalau sampai Amira ketahuan bertemu dengan pria lain di depan perusahaan. Terlebih sosok yang Amira sukai. "Aku dengar kamu sudah menikah," singgung Rion. Mata Rion memandang Amira lekat. Make up serta penampilan dirinya sedikit berbeda, karena Amira menuruti ucapan Ilyas. Memintanya untuk memakai riasan tipis. "Ya begitu, Rion," sahutnya berusaha menghindari tatapan mata pria ini. Bagaimana pun, Rion adalah calon adiknya. Tidak pantas jika Amira masih menyimpan rasa pada pria ini. "Kenapa kamu menikah dengan seorang dokter? Apa menurutmu pengacara tidak lebih baik?" Amira mulai menangkat pandangan lagi. "Bukankah kamu melamar Ayunda? Aku tidak ingin menikah lebih lambat dari adik sendiri." Rion menghela napas. "Aku mendengarkan orang tuaku, menurut mereka Ayunda yang kuliah jurusan hukum lebih baik. Kemungkinan nanti akan bekerja di bidang yang sama." Sementara Amira hanya lulusan diploma jurusan ekonomi. Beruntung bisa masuk kerja di perusahaan besar dan diangkat jadi sekretaris oleh Malik. Amira memandang Rion dengan serius. "Kamu menikah untuk merangkai masa depan, atau mengumpulkan jurusan?" sindir Amira. Rion semakin berjalan mendekat dan meraih tangannya. Amira berusaha melepas, namun Rion mengeratkan genggaman. "Belum terlambat bagi kita untuk bersama, Amira. Apa kamu mau kembali padaku?" "Itu mustahil, aku sudah menikah dan kamu juga akan menikah." Rion mengusap tangannya. "Setelah dekat dengan Ayunda beberapa minggu, aku merasa tidak ada perasaan apa pun." Tatapan Rion begitu dalam. "Kamu juga suka padaku kan, Ra?" Mata Amira menemukan Ilyas mendekat dengan langkah cepat, kemudian menepuk bahu Rion hingga menoleh. Mata Rion memandang Ilyas heran karena melepas paksa genggaman tangan pada Amira. "Amira sudah punya suami tuh, yang dicintainya juga bukan lagi orang lain," ujar Ilyas. Mendengar hal itu, Rion bisa menyimpulkan. "Oh, jadi kamu suaminya? Si dokter itu." Lantas, Ilyas menarik tangannya untuk menjauh dari Rion. "Ya, kamu benar sekali." Tatapan Rion memandang Ilyas dengan merendahkan, kemudian tangan terulur. "Kenalkan, namaku Rion." Mata Ilyas memandang tangan Rion tanpa minta. "Ilyas." Rion menyeringai karena tangan tidak dijabat sama sekali. Kemudian pria tersebut terpaksa menurunkan tangan sendiri. "Keluarga sudah menunggu, jadi aku datang untuk menjemput kamu," ujar Ilyas padanya. "Oh iya benar. Kita langsung ke sana?" "Ya nanti mandi di sana saja, ada beberapa pakaian yang sudah aku beli." Rion memandang mereka berdua yang begitu tenggelam dalam percakapan, hingga Rion mendengkus kesal. Barulah Amira sadar dan lanngsung menatap. "Kalau begitu kami pergi dulu," pamit Amira memegang tangan Ilyas erat, membuat mata suaminya melirik. Hingga tangan dilepaskan dan berubah memeluk pinggangnya. Amira memandang kaget atas perbuatan suaminya. "Ayo," ajak Ilyas membuatnya mengangguk. Rion memandang punggung mereka berdua dengan kesal. Namun, saat melihat Ilyas membantu Amira masuk ke dalam mobil Pajero, Rion melototkan mata dengan terkejut. "Sialan, suaminya Amira punya mobil Pajero." *** Bertemu dengan keluarga Malik yang sudah sering Amira lakukan, membuatnya sedikit bisa berbaur dengan mereka. Kecuali Marisa, istri dari kakak Ilyas. Sejak dulu wanita itu tidak senang dengannya. "Kalian ini kan sudah tidak muda lagi, Ilyas juga tahun depan masuk 32 tahun ya?" Amira meremas tangannya, saat kumpul begini. Mustahil tidak membahas anak, apalagi mereka berdua pengantin baru yang belum memiliki anak. "Sudah saatnya kalian memikirkan anak, jangan KB." Ilyas mengambil gelas jus dan menyesapnya sembari mata memandang ke arah Amira yang hanya bisa mengangguk. "Kamu juga Ilyas, sudah punya istri. Jangan sering tidur di ruang jaga." Kini Malik yang bicara. "Kasihan Amira ditinggal sendirian di apartemen." Amira malah lebih senang kalau suaminya menginap di rumah sakit. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk melayani. Karena Amira yakin, Ilyas tetaplah seorang pria. Cinta bukanlah sebuah alasan untuk menunda urusan ranjang. Hari semakin malam. Amira yang ingin bantu-bantu dilarang oleh Malik dan langsung disuruh ke kamar. Amira menaiki anak tangga, baru kali ini dirinya datang ke rumah Malik sebagai menantu. Biasanya datang untuk mengambil berkas yang ketinggalan. "Aduh maaf." Baru saja Amira membuka pintu kamar, namun matanya menemukan Ilyas sedang ganti baju. Ilyas menoleh dan menariknya supaya tidak keluar kamar. "Sudah jadi istri juga kamu tuh." "Iya sih, tapi kan tidak biasa," sahutnya. Amira terus saja menurunkan pandangan, hingga ketika dirasa Ilyas selesai memakai baju. Amira langsung mengangkat pandangan, dilihatnya Ilyas sedang memandang ke arahnya dengan serius. "Keluarga menyinggung soal anak, kamu jangan tersinggung atau kepikiran." Kepala Amira mengangguk. "Tidak Pak. Lagi pula hadirnya anak kan harus bikin dulu, sementara kita saja tidak melakukan apa pun." Pandangan Ilyas tertuju pada Amira dengan tertarik. "Oh iya benar. Kalau mau anak, harus bikin dulu kan." Amira tertegun saat melihat Ilyas pergi ke pintu hanya untuk mengunci, lantas mendekatinya. "Kenapa pintunya dikunci?" Tangan Amira sampai menunjuk. Mata Amira terbelalak kaget melihat Ilyas malah melepas kaos, hingga Amira bisa menikmati pemandangan roti sobek di hadapannya. "Bikin anak harus diam-diam, Amira." "Kenapa tiba-tiba pembahasan kita jadi hal itu sih?" keluhnya langsung mundur saat Ilyas makin mendekat. Namun, tangan Amira diraih oleh Ilyas dan tubuhnya digiring untuk duduk di sofa. Amira melototkan mata karena Ilyas menempatkan salah satu kaki di antara pahanya. "Pak, Anda mau apa?" Ilyas mengusap bibir Amira. "Cara membungkam keluarga cuma satu, berikan mereka keponakan." Amira mendorong pundak Ilyas yang sudah begitu dekat dengannya. "Jangan macam-macam Pak. Kakak Anda sudah punya anak semua, tidak butuh keponakan." "Aku yang butuh." Mata Amira melotot saat bibirnya dibungkam oleh Ilyas, sementara tangan suaminya sudah melepaskan kancing bajunya. Amira menahan kegiatan tangan Ilyas yang ingin melepas kancing ketiga. "Pak--" Lidah Ilyas yang masuk benar-benar menyulitkan bagi Amira untuk bicara. Tangannya yang berusaha memberontak justru digenggam erat oleh Ilyas. Satu hal yang membuat Amira kaget luar biasa. Saat kelima jemari Ilyas dengan berani masuk melalui cela baju dan meremas dadanya. Amira yang kesal dengan Ilyas menunjukkan hasrat padanya, membuat Amira menggigit lidah Ilyas masih mengajaknya bergulat di dalam mulut. Otomatis Ilyas menjauhkan wajah dengan ekspresi kesal. "Sadar Pak!" Ilyas ingin memaki, namun situasi tersebut sangat tak memungkinkan. Bisa-bisa, Ilyas gagal dapat jatah. "Amira, jangan cuma nafkah uang yang kamu terima. Nafkah batin juga wajib kamu terima."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD