Bab 8. Jangan Selingkuh

1026 Words
Ayunda kaget dengan Ilyas yang bicara ketus. "Apa maksud Kakak aku mengganggu?" Ilyas menghela napas kasar, kemudian langsung berdiri dari duduk. Ayunda juga terburu bangkit, namun sorot mata Ilyas yang sangat tajam membuat Ayunda sedikit enggan untuk bicara lagi. "Jujur saja, kamu adik paling buruk sepanjang aku hidup," sindir Ilyas. Ayunda memandang punggung Ilyas yang pergi dengan cepat. "Jalan pakai mata!" Suara Ilyas yang memarahi perawat karena tidak sengaja menghalangi jalan saat berpapasan, membuat Ayunda menelan saliva. "Kenapa kak Amira mau menikah dengan pria galak macam itu." *** Gelak tawa Amira terdengar karena terhibur dengan siaran televisi. Mendadak langsung diam dan mata melirik pintu ruang rawatnya yang dibuka. Ilyas masuk dan berjalan dengan tujuan pasti. Amira melotot kaget saat Ilyas menggeser tubuhnya dan langsung merebahkan diri di sisinya. Bahkan Ilyas sudah memejamkan mata. "Bapak sedang apa sih?" "Sel saraf mata kamu rusak? Tidak lihat aku tidur begini," komen Ilyas tak membuka mata sama sekali. Amira menarik napas. "Iya saya tahu, tapi kenapa malah tidur di sini?" "Ruang kerjaku tidak ada ranjang." "Kalau mau tidur ya pulang Pak," celetuknya. Ilyas membuka mata dan langsung melotot kesal ke arah Amira yang memilih melengos. "Ini rumah sakit milikku, kamu juga tidak bayar, sekarang berlagak pelit pula." Amira jadi tak terima. "Memangnya saya istri siapa coba? Sampai suruh bayar." "Kalau kamu masih protes, aku jadikan kamu alat praktik dokter residen," ancam Ilyas. Mendengarnya, Amira hanya mendengkus kesal. Namun, mulut memilih diam dan punggungnya menyender pada bantal. Mata Amira tertuju pada televisi dan sengaja mengecilkan volume, saat melihat Ilyas kembali memejamkan mata. "Kondisi perut kamu bagaimana?" Amira pikir suaminya ini sudah tidur. Tapi, malah bertanya padanya. Karena Amira tak kunjung menyahut, Ilyas membuka mata lagi dan memandangnya. "Tuli?" "Tidak! Telinga saya masih normal." "Terus kenapa tidak jawab?" tagih Ilyas. "Masih mual dan tidak enak," sahutnya. Kepala Ilyas mengangguk kemudian tidur lagi. Membuat Amira memandang tidak percaya, kalau responnya cuma angguk. Kenapa repot-repot bertanya coba. "Kamu tidak cerita tentangku pada keluargamu?" Amira melirik suaminya, sebenarnya niat tidur tidak sih. "Cerita kok," namun Amira berusaha menjawab tidak dengan emosi. "Terus kenapa adikmu malah memfitnah kakaknya sendiri?" Mendengarnya, Amira langsung melirik Ilyas lagi. "Memfitnah?" Kini, Ilyas benar-benar membuka mata sepenuhnya. Memandang Amira dengan serius. Dia menyimpulkan kalau hubungan Amira dengan sang adik tidak begitu baik. "Tidak ada." Ilyas tentu tidak akan mungkin menyebut Amira murahan juga. Karena dia tahu sendiri bagaimana Amira selama ini, bekerja sebagai sekretaris sang ayah tentu Ilyas mengenal sosok Amira. "Ih Bapak bikin penasaran, fitnah apa sih?" Amira sampai memukul lengan suaminya. Ilyas memandang lagi. "Kamu suka ngorok, padahal kamu sukanya ngiler." Amira langsung kesal begitu mendengar fitnahan dari adiknya, justru lebih memalukan ucapan suaminya. "Mana ada! Saya tidak ngiler." Ilyas berbaring miring memunggungi dirinya. "Yah, kamu kan tidur. Sementara aku terkadang terjaga." Amira langsung kepikiran, sampai mengobrak-abrik memorinya. Mengingat apakah pernah bantalnya bau iler? Sepertinya tidak. Pintu kamar rawat diketuk sebentar, kemudian perawat masuk dan tersenyum sembari membawa nampan obat. Namun, saat menyadari keberadaan Ilyas di sisinya. Perawat langsung mematung dan menjadi canggung. "Anu Bu Amira, waktunya minum obat." Amira tersenyum. "Oh iya Sus, tolong letakkan di atas meja ya." Kemudian pintu diketuk lagi, terlihat Arfin masuk sembari tersenyum. Namun lebih lebar lagi saat menemukan Ilyas tidur di sebelahnya. "Dokter Ilyas tidur ya?" tanya Arfin sembari meletakkan kresek makanan berisi bubur di atas meja. Belum sempat Amira menyahut, Ilyas malah membuka mata dan perlahan turun dari ranjang. Ilyas meraih bubur dan obat di atas meja, kemudian menghampiri dirinya lagi. Duduk di sisi ranjang rumah sakit. "Ngapain masih di sini? Tidak ada ongkos kirim," sindir Ilyas membuat perawat dan Arfin terpaksa keluar. "Tidak bisakah berterima kasih?" Ilyas memandangnya. "Nanti, kalau sempat." Amira benar-benar tak habis pikir. Ada pria macam Ilyas di belahan bumi ini. Pria dengan sejuta sifat jeleknya, namun karena wajah yang tampan tak menurunkan popularitas di mata wanita. "Yang ini diminum lebih dulu, yang ini sehabis makan," ujar Ilyas. Bagaimana pun suaminya seorang dokter, jadi Amira menurut saja. Toh, tidak mungkin dirinya diracuni. Saat Amira hendak meraih bubur di tangan suaminya, Ilyas langsung menghindar. "Tunggu setengah jam dulu, baru boleh diisi perutnya." Amira menyesali keuntungan memiliki suami dokter. Karena makan saja diatur, Amira menghela napas dan mata memilih melirik televisi lagi. Siaran di sana lebih menyenangkan ketimbang wajah datar suaminya. "Ada seekor kucing betina, diberi nama Nina." Pandangan Amira tertuju pada suaminya. Kenapa tiba-tiba membahas kucing. Sepertinya Ilyas mencoba mengajaknya bicara demi menghabiskan waktu, menunggu Amira boleh makan. "Tidak bisa dibilang dipelihara, karena tidak ada yang mengakui. Kucing itu hanya datang ke rumah sakit saat jam makan siang, dokter atau perawat biasa menyisakan tulang saat makan ayam," oceh Ilyas dengan tangan mengaduk bubur yang panas. "Lalu?" Pandangan Ilyas tertuju padanya yang menyahut. "Meski memberi makan, tapi tak ada yang berani menyentuh kucing itu." "Kenapa?" Amira jadi kepikiran, pasti kucing itu mengidap kudis, kadap dan kurap. Ilyas tersenyum tipis dahulu, baru melanjutkan. "Suka gigit kalau disayang, persis kayak kamu." Eskpresi tenang Amira langsung berubah marah karena ucapan suaminya. "Bagaimana bisa Bapak menyamakan saya dengan kucing?" "Karena setiap melintasi kucing itu, aku teringat kamu yang galak dan suka gigit." Amira mengepalkan tangan dengan kesal. Kapan coba dirinya menggigit seperti kucing. Amira yang mendengkus ditatap oleh Ilyas dengan serius. Perlahan Ilyas menundukkan pandangan dan kembali mengaduk bubur. "Nah, buka mulutmu," pinta Ilyas sudah menyodorkan sendok berisi bubur. Namun, Amira langsung merampas kasar bubur dan sendok dari tangan suaminya. "Saya bisa makan sendiri!" Ilyas memandang Amira yang mulai makan bubur dengan lahap. Dia jadi memikirkan, mungkin bubur yang dibuat sungguh tidak layak dimakan. Lagi pula, itu pertama kalinya Ilyas masak, semuanya demi si betina tukang gigit ini. "Pria yang kamu temui di kantor, dia yang tidak jadi melamar kamu?" Kenapa malah dibahas? Padahal Amira sudah sangat berusaha melupakan Rion. Kepala Amira langsung menggeleng. "Saya tidak dilamar kok, adik saya yang dilamar." Ilyas mengangguk. "Jadi, dia hanya calon adik ipar untukmu?" Ya, tidak juga. Karena Amira sudah terlanjur cinta pada Rion. Wanita mana yang dibaiki, diberi perhatian hingga kerap diajak jalan. Tidak menyimpan perasaan, hati Amira kan bukan batu. Ilyas mengambil botol mineral dan mulai minum. Amira langsung menatap karena botol itu kan miliknya. Pandangan Ilyas begitu serius tertuju pada Amira. "Jangan selingkuh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD