Bab 7. Kakakku Sangat Murahan

1112 Words
"Amira siapa? Istriku?" tanya Ilyas sampai p****t terangkat lagi dan tidak jadi duduk. "Iya Dokter." "Di ruangan apa?" tanya Ilyas berusaha tidak panik. "Kamar Anggrek nomor 2." Setelah tahu keberadaan sang istri. Ilyas terburu berlari meninggalkan ruang kerjaan. Kemudian menuju kamar rawat yang disebutkan. Tak butuh waktu lama, Ilyas membuka pintu ruang rawat itu karena bekerja lama dan mudah menemukannya. "Dokter Ilyas," sebut perawat yang baru saja ingin keluar. "Bagaimana keadaan istriku?" tanya Ilyas memandang Amira yang nampak tertidur. Kondisi Amira yang tidak diinfus, membuat Ilyas sedikit bisa merasa lega. Setidaknya sang istri bisa dikatakan tidak parah. "Ibu Amira terkena Gerd, Dokter." Ilyas langsung menghela napas. "Kronologisnya? Amira bisa sampai dibawa ke rumah sakit, aku perlu tahu." "Katanya Ibu Amira ditemukan kesakitan dan tak bisa jalan di depan rumah, sepertinya Ibu Amira habis buang sampah." Perawat ini tanpa segan memberi tahu, "Ibu Amira mengkonsumsi mie yang pedas saat pagi." "Mie pedas?" Ilyas terlihat kesal mengetahui fakta istri dari dokter justru tidak bisa menjaga diri sendiri. Perawat ini nampak takut dengan ekspresi Ilyas yang seperti ini, biasanya akan memarahi siapa saja. "Kalau begitu saya permisi dulu, Dokter Ilyas." Ilyas menarik kursi dan duduk di hadapan Amira yang masih tidur nyenyak. Dia memandang kesal, padahal Ilyas rela sedikit terlambat bekerja demi membuat bubur untuk istri. "Dibaikin kamu malah ngelunjak," gumam Ilyas kemudian memaki, "dasar betina." Sekitar 25 menit berlalu. Amira mulai membuka mata dengan tubuh menggeliat sejenak. Amira menoleh dan menemukan Ilyas sedang memeriksa tekanan darahnya. "Pak," sebut Amira. Ilyas melirik dengan tajam, kemudian mendengkus kesal. Namun, melepas perekat tensi di tangannya cukup lembut. Bagaimana pun di mata Ilyas, Amira adalah seorang pasien. "Kenapa tidak sarapan bubur yang aku buatkan?" Amira memandang suaminya yang terlihat marah ini. "Bapak merasa tidak? Menaruh banyak garam di buburnya." Ilyas menghela napas. "Hanya asin, kamu harusnya bisa tahan. Kamu kira mie pedas lebih baik ketimbang bubur asin hah?" Amira mendengkus. Suaminya ini pasti marah karena dirinya menyiakan bubur yang dibuat. Yang ada lidah Amira mati rasa jika menghabiskan bubur itu. "Jadi orang itu harus pandai merawat diri sendiri. Kalau sakit begini siapa yang merasa coba? Bukan orang lain, Amira." "Apa Bapak selalu seperti ini pada pasien? Memarahi mereka saat kesal," tegurnya. Ilyas mendengkus kesal dan memalingkan muka. Padahal selama berlari melewati banyak lorong, dia memikirkan alasan Amira kesakitan karena disentuh Ilyas. Semalam, dia sampai menahan diri untuk tidak minta jatah dua kali karena keperawanan Amira terenggut. Amira hampir pingsan karena makan mie pedas, alasan yang sangat konyol bagi Ilyas untuk berlari sampai tersandung-sandung. "Hindari makan pedas dan berminyak mulai sekarang," larang Ilyas. "Kan hanya sakit lambung biasa, kenapa harus banget menghindari sih?" Ilyas menggebrak meja saking kesalnya. Istri seorang dokter loh, sekarang sedang menganggap remeh Gerd. "Lambung kamu bisa dioperasi jika gejalanya makin parah!" Amira menatap Ilyas cukup lama. "Tapi, sesekali makan pedas kan boleh." "Jika kamu masih berani, maka aku akan langsung merampas kunyahanmu dengan mulutku langsung." "Hah?" Amira membayangkan Ilyas yang merampas mie pedas dari mulutnya langsung. "Bapak kan dokter, mulut adalah sarang bakteri dan kuman. Mana bisa asal merampas langsung dari mulut." Mata Ilyas melotot marah. "Aku bunuh mereka dengan kumur-kumur!" Amira langsung cemberut dan memalingkan muka karena berdebat dengan dokter galak macam Ilyas, tidak akan pernah berhasil dimenangkan olehnya. Pintu kamar rawat yang tiba-tiba diketuk, dan seorang perawat memunculkan diri membuat Ilyas dan Amira menoleh. Perawat nampak takut dengan cara Ilyas yang memandang tajam. "Anu, Dokter Ilyas. Pasien di ruangan Melati nomor 4 harus diperiksa." "Memangnya di rumah sakit ini hanya aku saja yang jadi dokter! Banyak yang berjaga!" Amira serasa ingin memukul suaminya ini yang berteriak marah. Namun, yang ada Amira bakal kena getahnya juga. Jadi, ia memilih diam dan mengasihani perawat yang mulai keluar dengan wajah takut. "Apa lihat-lihat? Sudah selesai intropeksi diri hah," celetuk Ilyas lebih pelan, namun membuat Amira berdecak kesal. Ilyas benar-benar galak. Padahal Malik sang ayah begitu baik pada semua orang, kata siapa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Malah Ilyas jatuh berguling sangat jauh dari Malik, karena sifat mereka berbanding terbalik. *** "Kamu istri dari dokter, kenapa bisa sampai dirawat segala?" Amira memandang pada ibunya yang sedang menyuapi makan. Sementara ayahnya sibuk melihat sekeliling ruang rawat. "Ya namanya kena penyakit Bu, tidak ada yang tahu," sahutnya pelan. "Kamarnya terlalu mewah, Ra. Memangnya tidak masalah? Pasti biaya perharinya sangat mahal," singgung ayahnya. Amira memandang ayahnya dengan sedikit bersalah. "Sebenarnya ada satu hal yang tidak aku ceritakan pada Ayah dan Ibu." "Hm, soal apa?" tanya ibunya kembali menyendok bubur. "Pa--maksudnya mas Ilyas, dia pemilik rumah sakit ini. Makanya semua perawat dan dokter mengenalku," ujarnya bercerita. Kedua orang tuanya saling melirik satu sama lain. Kemudian Ayub menarik napas, duduk di sisinya untuk mengusap kepala Amira. "Kenapa tidak cerita, Ra? Lalu kenapa kamu memilih pria sekaya Ilyas?" Ibunya menepuk lengan ayahnya. "Ayahnya Ilyas saja kan pemilik perusahaan di tempat Amira kerja. Mustahil Ilyas bukan orang berada." "Ya tapi Bu. Mereka orang kaya akan menindas yang miskin, aku hanya mencemaskan nasib Amira saja," sahut Ayub terlihat sedih. Memang. Amira juga sempat berpikir seperti itu. Meski sikap Ilyas terkadang buruk, namun dirinya tidak pernah mendapat hinaan dari pria itu sendiri. Apalagi keluarga suaminya, mereka justru menyambut Amira dengan baik. Amira meraih tangan ayahnya. "Ayah tidak perlu cemas. Buktinya begitu sakit, aku langsung dibawa ke kamar kelas elit ini." "Kalau aku menantu atau istri tidak dianggap, jangankan kamar elit, pasti dibawa ke rumah sakit juga tidak akan dilakukan, Yah," sambungnya berusaha meyakinkan ayahnya bahwa hidupnya cukup baik. Ibunya tersenyum dan mengusap wajahnya. "Iya, Ra. Bisa ibu lihat dari wajah kamu kok, kamu ceria begini." Amira ikut tersenyum. "Oh iya, Ayunda tidak ikut Bu?" "Ikut, tapi tidak tahu sekarang ke mana." Ayunda yang Amira cari, justru sedang bertanya pada para perawat, keberadaan Ilyas berada. Wanita itu segera berjalan pergi begitu sudah dapat informasi. Mata Ayunda yang menemukan Ilyas, bibir langsung tersenyum lebar. Kemudian merapikan diri dan berjalan mendekat ke arah Ilyas yang menoleh. "Kak," sebut Ayunda. Setelah tahu Ayunda yang duduk di samping, Ilyas tak meladeni. Justru tetap menyeruput kopi dengan mata memandang nomor antri pasien di rawat jalan disebut. "Kakak memangnya tidak menyesal menikah dengan kak Amira?" Pandangan Ilyas sedikit melirik. "Tidak." "Ih, seriusan? Padahal kak Amira di kantor genit tahu. Dia selalu pulang larut dengan alasan lembur, padahal kenyataannya dia selingkuh." Ilyas menghela napas. "Selingkuh sama siapa?" "Atasannya sendiri, banyak yang cerita begitu." Ilyas yang mendengar hal itu sempat tersedak, Ayunda menoleh dan menepuk pundak sang kakak ipar. Namun, Ilyas langsung menggeser duduk demi menjaga jarak dari Ayunda yang langsung menatap heran. "Katanya atasannya itu sudah tua, murahan sekali kan kak Amira. Pria yang sudah pasti punya cucu itu--" Ilyas memandang Ayunda tajam. "Jangan beromong kosong di sini, pulanglah jika kamu hanya mengganggu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD