7. NASIB b***k KORPORAT : SIAP, PAK!

1584 Words
Happy Reading ^_^ *** Jessica Putri Andi melongok di balik pilar basement untuk mengamati targetnya. Targetnya -yang tak lain adalah Devian Mahendra- kini tengah ke sisi sebelah kemudi untuk menaruh tas kerjanya. Setelah selesai, pria dengan paras tampan itu pun mengitari mobil menuju sisi kemudi. Ini momen yang tepat!! Setelah memastikan kondisi sekitar aman, Jessica langsung berlari keluar. Tanpa pikir panjang dia langsung mendekati mobil Devian dan merengsek masuk tanpa permisi. "Astaga, Jessica. Saya pikir kamu pencuri tahu nggak?!" "Nggak ada pencuri yang modelannya kayak saya, Pak Devian," balas Jessica. Biasanya tingkat kepedeannya tinggi. Dia tidak akan segan mengakui kalau dirinya cantik dan mempesona. Tapi, di hadapan Devian, dia merasa ciut. Alhasil hanya itulah kalimat yang mampu keluar dari bibirnya. Sambil mengatur napasnya yang memburu, Jessica menatap Devian. Cengirannya lebar namun misterius. "Mau nebeng?" "Nggaklah! Saya punya motor ya." jawab Jessica agak sewot. Emang tampangnya seperti orang yang suka mencari tumpangan gratis? "Ya kan saya nggak tahu. Kamu lho tiba-tiba masuk ke mobil saya kayak gini. Kalo bukan mau nyuri ya saya pikir kamu butuh tumpangan." "Nggakkkk. Bukan gitu lho..." "Ya terus apaaa? Ngomong. Jangan ngode pake bahasa kalbu. Saya nggak akan paham, Jess." Jessica menimbang-nimbang harus memulai dari mana. Dia mencoba menyusun kalimatnya tapi tetap tidak ada yang matching. Alhasil, Jessica memulai topiknya dengan memegang tangan kiri Devian. Alih-alih romantis, aksi ini malah membuat Devian ngeri. Bahkan pria itu agak kaget dengan aksi spontan perempuan yang pernah menjadi teman kencannya tersebut. "Pak Devian, please. Jangan persulit hidup saya, Pak. Saya butuh kerjaan iniiii." Jessica memohon. Namun bukannya memberi kesan sedih dan galau, Jessica malah membuat suasana menjadi kocak. Apalagi Devian sampai kaget dengan aksi perempuan itu. "Jess, kapan sih saya pernah persulit hidup kamu? Dan atas dasar apa saya mau mempersulit kamu?" Jessica menggigit bibir bawahnya karena meragu. Mau bilang to the point, tapi kok kesannya kayak dia GR sekali. Tapi kalo tidak to the point, nanti pria itu tidak menangkap maksudnya dengan baik. "Maksudnya..." Jessica menggantungkan kalimatnya. "... atas apa pun yang pernah terjadi di masa lalu. Yah, nggak yang masa lalu juga sih, Pak. Sebut aja beberapa hari lalu," imbuhnya dengan cengiran. "Saya harap Bapak memaklumi kelalaian saya yang sudah bikin Bapak jengkel." "Kamu terlalu belibet," sindir Devian. "Maksudmu yang kamu sengaja nggak nge-bales pesan saya? Ah! Bahkan nggak di read lho..." Jessica memejamkan matanya. Kepalanya langsung tertunduk. "Maafin saya, Pak..." Respon Jessica yang seperti ini membuat Devian mati-matian menahan tawa. Diketuknya kepala Jessica dengan tangannya. "Saya bukan orang tua kamu, jadi kamu nggak perlu sungkem kayak gini. Bangun." Jessica mengusap kepalanya. Dia bangun sambil meringis. "Ini tandanya saya tulus meminta maaf, Pak." "Kalo tulus, coba buka handphone kamu sekarang." "Buat apa?" tanya Jessica polos. "Buka aja dulu. Buruan. Saya nggak mau ya pulang terlambat karena kamu nggak cepat tanggap." Buru-buru Jessica membuka tasnya dan membuka ponselnya persis seperti perintah Devian. Tapi baru saja dia memasukkan password-nya, ponselnya sudah diambil alih oleh pria itu. Jessica agak kaget, tapi karena posisinya Devian adalah atasannya, jadi Jessica tidak jadi menggerutu. Masa bodohlah dengan istilah ponsel adalah privasi. "Nomor w******p saya kok nggak ada?" "Saya arsipkan, Pak. Jadi chat yang udah lama biasanya nggak ada di situ," Jessica melongokkan kepalanya untuk memberitahu Devian di mana letak pesannya berada. Tapi kemudian dia menyadari sesuatu. Posisi mereka terlalu dekat!! Sebelum Devian sadar, buru-buru dia menarik diri untuk menjauh. Jessica kemudian berdehem canggung. "Manaaaa? Nggak ada. Kamu namain siapa sih saya di kontak kamu?" protes Devian lagi karena tak kunjung menemukan apa yang dicarinya. Kepala Jessica menatap Devian dengan horor. Ingin rasanya dia kabur detik ini juga. "Belum saya namain." cicitnya dengan suara super pelan. Dan pada momen yang sama Devian langsung menatapnya dengan tatapan mengejek. "Ini yang namanya tulus?" "Lupa, Pak. Kemaren itu banyak yang chat jadinya saya lupa buat nge-save." Jessica beralasan. "Lupa tapi sampe beberapa hari. Jess, Jess. Kamu ada dendam apa sih sama saya?" kata Devian dengan lirikan mautnya. Lhoo kok jadi dia sih yang diinterogasi? Sialan, batinnya karena tak bisa berkutik. "Kamu nggak puas dengan saya atas kencan terakhir kita? Saya nggak nge-treat kamu dengan baik waktu itu sampe kamu nggak mau bales pesan saya sesudahnya?" Bohong kalau dikatakan begitu Jelas-jelas dia di treat dengan baik oleh pria itu. Seluruh makanannya dibelikan oleh Devian. Sampe buah tangan untuk keluarga di rumah pun ditanggung juga. Tak cukup di situ, saat pulang pun Devian terpantau mengawal Jessica dari tempat kencan mereka sampai rumah kedua orang tuanya. Ingat ya, rumah kedua orang tuanya bukan rumah yang Jessica tinggali. Waktu tempuhnya sekitar sejam lebih dan Devian tidak bohong saat bilang akan menemaninya sampai rumah. Padahal Jessica sudah mengeluarkan banyak alasan agar pria itu tidak mengantarnya pulang, tapi pada akhirnya Jessica tetap diantar oleh pria itu terlepas mereka beda kendaraan. Ya Tuhan, kenapa ada pria red flag tapi dengan act of service sebaik ini sih? Kan hatinya jadi gundah gulana. Mau diterima tapi takut kecewa, mau ditolak tapi terlalu menyia-nyiakan makhluk Tuhan yang seksi ini. Jessica komat-kamit. Bingung harus bagaimana menjelaskannya. "Bapak baik kok," "Teruss?" Duhh kok terus-terus sih? Kalo keterusan gimana? Dan tunggu—kok jadi dia yang diinterogasi siiihhhh? Ini gimana sih ceritanya? Boleh melambaikan tangan nggak? Melihat raut bingung Jessica, Devian geleng-geleng kepala. Mau dia teruskan tapi takut Jessica makin tertekan, atau tidak diteruskan tapi dialah yang penasaran. Tak mau mempersulit anak orang, Devian pun memilih mengalah. "Kalo tulus, pesan saya itu dibalas. Kalo nggak dibalas, setidaknya di read. Sombong banget kamu nggak nge-read pesan saya." celetuknya sambil mengotak-atik layar ponsel Jessica. Kepala Jessica tertunduk. Perempuan itu pasrah perihal handphone-nya yang sekarang berada di tangan sang bos. "Iya, Pak." "Iya apa?" "Iyaaa saya bakal bales pesannya." " Ya udah gitu aja. Nih, nomer saya udah saya save. Jangan sok-sokan nggak tahu kalo itu nomer saya apalagi sampe nggak di read lagi. Kalo penting itu bisa mempengaruhi nilai kamu di mata atasan karena kamu sangat nggak mudah untuk dihubungi." Haduhaduhaddduuuuuuu. Jessica rasanya pengen koprol. Padahal niatnya kemari untuk meluruskan, tapi malah ruwet begini sampai bawa-bawa kinerjanya di perusahaan. "Saya janji akan lebih mudah dihubungi, Pak." kata Jessica untuk memulihkan citranya. "Pesan saya bakal selalu di read?" "Selalu, Pak." "Kalau telpon?" "Pasti akan selalu diangkat." "Nggak boleh lama-lama ya." "Siap, Pak." "Nice. Gini kan enak, jadi kesannya kayak kita saling menghargai." "Siap, Pak." Jessica bingung. Sebenarnya dia kemari untuk apa sih? Kenapa dari tadi yang terus mendengungkan persetujuan adalah dirinya? Jadi ini sebenarnya dia sedang bernegosiasi dengan Devian atau malah pria itu yang sedang bernegosiasi dengannya? "Ya udah. Kalo udah cukup kamu bisa keluar sekarang juga. Saya mau pulang." Wajah Jessica pias. Devian sudah mendapatkan semua kepastiannya, mulai dari nomor telpon yang di save sampai jaminan telpon yang akan selalu diangkat dalam waktu singkat. Tapi dia belum mendapatkan apa pun. "Kenapa bengong? Mau dianterin pulang?" "Bukaaannnn." Itu lagi! Sebenarnya Devian ngebet buat nganterin atau gimana sih? Sudah dua kali dia menyinggung hal tersebut. Kan bikin kepedean saja, batin Jessica. "Terus apa?" "Pak Devian belum janji tentang Bapak yang nggak bakal mempersulit saya. Kan itu tujuan saya kemari, tapi malah saya yang iya-iya doang atas permintaan Bapak." "Kamu tuh selalu berpikiran buruk ke saya. Astaga..." "Bukan berpikiran buruk, tapi lebih ke hati-hati." sahut Jessica tak terima kalau dianggap berpikiran buruk terhadap pria itu. "Jadi gimana? Deal ya?" "Tergantung respon kamu. Kalo kamu masih suka mengabaikan saya ya kamu harus hati-hati." Jessica ingin mengacak-acak rambutnya untuk menegaskan betapa frustrasinya dia saat ini. Perasaan dari tadi obrolan mereka hanya seputar ituuu saja. Kan kalau begini ya sama saja bohong. Dia tetap tidak mendapatkan kepastian apa pun yang bisa membuat dia tenang dalam bekerja. Sedangkan Devian malah untung banyak. Semua yang dia inginkan sudah Jessica iyakan. Memang ya, mau sekeras apa pun dia berusaha, yang tetap mendapatkan keuntungan paling banyak ya tetap sang bos. Nasib b***k korporat. Dan di momen ini, sosok Devian terlihat menertawai Jessica. Tak main-main, tawanya terdengar renyah sekali. Sepertinya dia puas sekali berhasil mengerjai Jessica sore ini. Sadar akan hal itu, bibir Jessica mencebik kesal. "Iya, iya saya janji." kata Devian mengalah. Dia mengusap sudut matanya yang sampai berair karena menertawai gelagat Jessica yang begitu frustrasi. "Beneran? Demi Tuhan?" "Iya, iya." Senyum Jessica langsung terbit dengan cerahnya. Kepalanya langsung dia sandarkan ke belakang untuk merilekskan sebagian ototnya yang tegang sejak jadi. "Udah puas kan? Sekarang apa lagi? Mau dianterin pulang?" "Pak Devian sebenernya terobsesi mau nganterin saya pulang atau gimana? Udah tiga kali lho Bapak nanyain hal itu." celetuk Jessica karena sudah berkali-kali ditanyai begitu. Ini antara tampangnya semelas itu sampai dikira butuh tumpangan atau memang Devian Mahendra-lah yang terobsesi. "Bukan terobsesi, tapi cuma memastikan. Lah gelagat kamu sendiri nggak jelas, ya wajar dong saya nanya." Devian berkilah. "Kalau sudah nggak ada urusan ya keluar. Saya pun mau pulang. Atau kamu mau ikut ke rumah saya?" Lho... lho... nggak bahaya taaaa? "Jadi gimana? Mau turun, saya anter pulang, atau ikut ke rumah saya? Kamu pilih yang mana?" Tanpa pikir dua kali Jessica langsung mendorong pintu di belakangnya dan turun tanpa menoleh. Disangkanya dia tidak punya kendaraan atau bagaimana sampai harus menebeng. Bahkan—Helloooo, ke rumahnya? Memangnya dia cewek murahan? No way! Tapi saat mobil Devian beranjak pergi, Jessica mengulurkan tangannya. Bukan karena dia tidak rela pria itu meninggalkannya melainkan karena dia melupakan sesuatu. Sialan. Dia lupa membahas masalah perjodohan mereka. Astaga, betapa menyebalkannya situasi ini. Dia sudah rugi banyak karena menyetujui permintaan pria itu, tapi dia malah belum membahas salah satu masalah terpenting mereka. Trus kalo Devian keceplosan tentang perjodohan mereka gimana?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD