11 – KEMATIAN MOU

1951 Words
BRAKKK! Pintu mansion tempat tinggal orang tua Felip terbuka kencang hingga menimbulkan suara gaduh yang menyita perhatian seluruh penghuni rumah, terutama Eremias dan Devinka yang langsung berlari ke ruang tamu. “Felip, ada apa denganmu Nak?” Devinka bertanya setengah terkejut melihat ekspresi murka putra bungsunya yang datang ke rumah. Felip tak menggubris pertanyaan ibunya melainkan memandang lurus ke sosok ayahnya. Felip menghampiri Mias lalu mencekal kerah bajunya kasar, membuat Devinka dan seluruh pembantu yang melihat kejadian tersebut melototkan mata kaget. “Semua ini pasti ulah daddy kan?” Felip menggemeretakkan gigi, menatap geram Mias. Mias tersenyum kecil karena Felip tak salah menuduh. Felip pasti sudah dengar berita tentang hilangnya Mou dan melihat betapa marahnya putranya ini membuktikan bahwa Felip belum berhasil menemukan Mou. Devinka berlari melerai pertengkaran Felip dan Mias. “Felip, lepaskan tanganmu! Apa yang terjadi? Tidak bisakah kalian membicarakannya baik-baik?” tegurnya. Felip melepas cekalan tangannya dari kerah baju Mias mengikuti perintah ibunya, tetapi pandangan tajamnya tak memudar melihat Mias. “Kenapa daddy ikut campur dengan urusanku?! Beritahu aku, di mana Mou sekarang?” Mias tidak menyangka Felip akan semarah ini, pertentangan ini juga yang pertama kali Felip tunjukkan padanya—hanya demi seorang anak kecil yang bahkan tidak berhubungan darah dengannya. Mias ingin sekali tertawa melihat betapa sayangnya Felip pada Mou. Dia jadi ingin tahu bagaimana reaksi Felip ketika ia mengatakan, “Mou sudah mati. Aku menugaskan seseorang untuk menculik dan membunuhnya.” Tubuh Felip menegang dan kakinya terasa lemas. “Dad bohong kan?” lirih Felip, terdengar tidak berdaya. “Jika tidak percaya kamu bisa mendatangi kuburannya,” jawab Mias santai. “Sayang, kamu bercanda kan? Kamu tidak mungkin membunuh seseorang.” Devinka bertanya untuk memastikan apa yang ia dengar barusan salah. Tidak mungkin suaminya adalah pembunuh. Mias tersenyum tanpa dosa. “Semua ini kulakukan demi menjaga nama baik keluarga kita,” katanya tanpa sedikitpun rasa menyesal. *** Masih di panti asuhan Chioke, Tiffa pamit pulang setelah kondisinya sudah lebih baik. Ia berencana mencari Mou lagi di daerah Toronto. Langkah kakinya hendak mencapai pintu keluar, namun dari dalam Lieta berlari dan memanggilnya dengan gusar. “Nyonya Tiffa! Tunggu Nyonya!” Tiffa sontak berhenti dan membalikkan badan. Keningnya berkerut heran, “Ada apa?” Tangan Lieta yang memegang handphone gemetar, dia menarik napas panjang sebelum memberanikan dirinya berkata, “Saya barusan mendapat kabar dari Tuan Felip. Mou…” Lieta mendadak berhenti bicara karena takut menyakiti perasaan Tiffa. Tiffa mengguncang pundaknya kasar, melihat raut gelisah Lieta membuat Tiffa mempunyai firasat buruk. “Katakan padaku! Apa yang terjadi pada Mou?” desaknya. Lieta menelan ludah pahit, lalu akhirnya menjawab, “Mou meninggal karena ditabrak mobil.” Dan di detik itulah dunia Tiffa serasa hancur. Lututnya tak mampu menopang berat badan sehingga tubuhnya jatuh terkulai lemas di lantai. Tidak ada berita paling menyedihkan selain berita tentang kehilangan seseorang. Apalagi seseorang yang teramat berarti bagimu. Tiffa sudah pernah merasakannya, yang pertama kehilangan seorang ibu, yang kedua seorang ayah, dan sekarang Tuhan kembali mengujinya dengan mengambil putrinya. Inikah karma karena sudah menyia-nyiakan Mou? Tiffa menggigit lidah agar tidak lepas kendali berteriak memaki Tuhan. Jika kehilangan Mou adalah karma yang harus Tiffa tanggung, lantas kenapa Tuhan tidak mencabut nyawanya sekalian saja? Tiffa benci ditinggalkan. “Nyonya, Tuan Felip memberiku alamat makam Mou. Saya akan mengantar Anda melayat ke sana,” ujar Lieta. Tiffa mendongak menatap Lieta untuk bertanya, “Siapa Tuan Felip yang kamu maksud sejak tadi? Kenapa dia bisa tahu lebih dulu informasi tentang Mou? Apakah dia penyebab Mou meninggal?” Lieta tidak ada pilihan lain untuk menjelaskan yang sesungguhnya. “Anda pasti mengenalnya, dia cukup populer di kalangan masyarakat. Felipe Alejandro, CEO Alejandro Group sekaligus calon orang tua pengadopsi Mou.” Tiffa seketika emosi, wanita itu bangun dari lantai kemudian menunjuk Lieta dengan tatapan sengit, “Kau menjual Mou ke orang-orang kaya seperti mereka?!” tuduhnya. Lieta kelabakan menjawab, “Tidak Nyonya, Anda salah.” “Jangan bohong! Bagaimana mungkin keluarga terhormat Alejandro tertarik mengadopsi seorang anak biasa di panti asuhan?” Tiffa tidak berhenti menyudutkan Lieta. Tentu saja dia tidak akan diam saja saat tahu putrinya dimanfaatkan oleh pihak panti asuhan untuk sekedar mencari keuntungan. “Saya bersumpah tidak menjual Mou ke Tuan Felip. Takdir yang mempertemukan mereka!” Lieta sampai berani mengatakan sumpah agar Tiffa percaya padanya. Tiffa terdiam melihat kejujuran di mata Lieta, dalam hati bertanya-tanya kenapa seorang Felipe Alejandro bersedia mengadopsi Mou? Atau karena David sudah sadar bahwa Mou adalah putri kandungnya sehingga ia menyuruh Felip yang mengadopsi Mou. “Bawa aku ke makam Mou sekarang!” perintah Tiffa. *** Tidak ada yang menyangka gadis kecil itu akan pergi secepat ini. Felip mencengkeram baju terakhir Mou yang diberikan oleh Mias sementara matanya memerah menahan luapan air mata. Felip berharap Mias berbohong saat mengatakan sudah membunuh Mou, tapi makam yang ada di depannya sekarang membuktikan secara jelas bahwa gadis kecil itu telah pergi untuk selamanya. Entah kenapa Felip merasa sangat kehilangan padahal tidak ada hubungan darah di antara mereka. Felip begitu menyayanginya, dan ia masih tidak rela Mou mati di tangan ayahnya sendiri. “Maaf Mou, aku tidak bisa melakukan apapun untuk membalas kematianmu.” Felip berjongkok di samping makam, mengusap batu nisan bertuliskan nama Mou, “Aku seorang pengecut! Aku tidak berani mengungkap penyebab kematianmu demi melindungi keluargaku.” Felip menatap makam Mou dengan ekspresi penuh rasa bersalah. “Andai aku tidak bersikeras mengadopsimu, mungkin saja kamu masih hidup sampai sekarang.” Bibirnya gemetar membayangkan senyum di wajah manis Mou yang kini tak bisa ia lihat lagi. “Maafkan aku Mou… maafkan aku…” Felip menunduk menatap gundukkan tanah merah yang menyimpan jasad Mou. Sebulir air mata Felip menetes membasahi tanah, suatu keajaiban setelah hampir 29 tahun menghabiskan hidupnya tanpa air mata. Dan penyebab pria itu menangis tak lain adalah Mou, seorang gadis kecil yang tanpa sepengetahuannya adalah darah dagingnya sendiri. Di sisi lain, Lieta dan Tiffa baru sampai di lokasi pemakaman Mou. Lieta tertegun melihat Felip menangis di dekat makam Mou, sedangkan Tiffa menampilkan ekspresi kaget. “Ke-kenapa David Alejandro ada di sini?” bisik Tiffa pada Lieta yang berdiri di sampingnya. Lieta menatap Tiffa heran. “Dia bukan David, dia Felipe Alejandro,” jawabnya, membenarkan informasi yang selama ini Tiffa kelirukan. Mata Tiffa membeliak syok, mulutnya tanpa sengaja berteriak, “Jadi selama ini aku salah mengenalinya sebagai David Alejandro!” “Astaga…” Tiffa langsung tutup mulut saat sadar dia berbicara terlalu keras hingga menyita perhatian Felip ke arahnya. Felip menoleh ke dua wanita yang baru dia sadari berdiri di belakangnya. “Sejak kapan kalian ada di sini?” tegurnya, dengan nada tidak bersahabat. “Maaf Tuan, kami baru saja sampai.” Lieta menjawab gugup. Pandangan Felip seutuhnya mengarah ke Tiffa. Sebelum Lieta sempat menjelaskan identitas Tiffa, Felip lebih dulu berkata, “Kamu kan…” Kata-katanya menggantung. Tiffa berjalan menghampiri Felip lalu melengkapi kalimatnya, “Yah! Aku adalah ibu dari Mou.” Angin berembus kencang setelah itu, memberi ruang sejuk di antara Felip dan Tiffa yang tengah bersitegang. Lieta bergantian menatap mereka berdua, sepertinya Tiffa dan Felip sudah saling mengenal. Lieta pun memutuskan pamit meninggalkan mereka supaya bisa bicara empat mata secara leluasa. “Silahkan kalian berdua berbicara, saya akan menunggu di parkiran mobil. Permisi…” Sepeninggalan Lieta, tatapan Felip berubah sengit. “Kau membuang putrimu ke panti asuhan setelah susah payah melahirkannya?” desisnya, tajam dan mengerikan. Tiffa diam sejenak, bertanya-tanya apakah Felip sudah tahu bahwa Mou adalah putri kandungnya. Tiffa pun ingin memastikannya, “Bukan urusanmu! Lagi pula, apa hubunganmu dengan Mou hingga berani ikut campur ke dalam masalah kami?” Felip tersenyum miring, sia-sia saja dia pernah menolongnya. Mulai dari menemani Tiffa saat melahirkan dan membawanya ke rumah sakit karena pingsan. “Dasar wanita tidak tahu terima kasih!” desisnya. Tiffa mengangkat sebelah alisnya, berterima kasih karena sudah memerkosaku? Tiffa mendecihkan tawa arogan, menertawakan apa yang barusan hatinya katakan. “Aku harus berterima kasih karena orang terpandang sepertimu mau mengadopsi putri dari seorang wanita miskin sepertiku? Haha…” Tiffa tertawa sinis dan menatap lurus kedua mata hijau Felip, “Kalau bukan karena kamu, Mou mungkin masih hidup sekarang.” Deg. Ucapan terakhir Tiffa berhasil mengenai relung hati Felip hingga kembali membuatnya menyesal. Felip mengepalkan tangan, tidak membantah karena yang diucapkan Tiffa memang benar, ialah penyebab kematian Mou. “Aku tahu ucapanku benar, karena itu kamu diam. Selain itu, yang kamu katakan ke Nyonya Lieta bahwa Mou meninggal karena kecelakaan mobil padahal yang sebenarnya Mou meninggal saat diculik membuktikan dengan jelas ada yang tidak benar di sini. Kamu berusaha menutupi kejadian yang sebenarnya.” Tiffa mengatakannya dengan dingin. Felip tak menyangkal, membuat Tiffa semakin yakin bahwa pria itulah dalang dibalik kematian Mou. Menyedihkan sekali saat tahu putrinya meninggal disebabkan ayah kandungnya sendiri. Tiffa berjalan mendekati Felip dipenuhi amarah dan berderai air mata, tangannya memukul d**a berotot Felip, melampiaskan ketidakrelaannya atas kematian Mou. “Kembalikan Mou padaku, dasar pembunuh! Kembalikan hiks…” Felip menahan pergelangan tangan Tiffa agar berhenti memukulnya, hal itu memicu Tiffa mendongak menatap mata hijaunya. “Aku akan menuntutmu karena telah membunuh putriku!” desis Tiffa. Selang kemudian Felip menyentak tangan Tiffa hingga terlepas dan balas mengancam dengan wajah datar, “Jika kamu menuntutku, maka aku juga akan menuntutmu karena telah melalaikan tanggung-jawab sebagai seorang ibu. Jangan lupa kalau kamu sudah membuang Mou ke panti asuhan.” Tiffa hendak menyanggah namun Felip lebih dulu berjalan meninggalkannya, membuat Tiffa lagi-lagi marah padanya karena kabur sebelum mereka menyelesaikan pembicaraan. “Jika kamu tidak memerkosaku malam itu, aku juga tidak akan menjadi ibu yang lalai seperti ini,” gumam Tiffa dengan perasaan terluka. Tiffa hanya bisa mengatakan itu pada dirinya sendiri sambil memandang kecewa kepergian Felip di depan sana. Andai pria itu tahu bahwa Mou adalah anak kandungnya, apakah Felip akan merasakan kehilangan seperti yang Tiffa rasakan sekarang? Mungkin tidak. Felip justru akan merasa lega karena beban masalah yang ditimbulkannya enam tahun silam sekarang sudah menghilang dari bumi. Tatapan Tiffa berpaling ke makam, ia berjongkok seraya mengusap batu nisan bertuliskan nama dan tanggal kematian Mou. “Maafkan aku Mou, aku memang bukan ibu yang baik untukmu.” Tiffa terisak pedih, menyalahkan diri sendiri. “Semoga kamu bahagia bersama Tuhan di atas sana, Mom akan selalu mendoakanmu dari sini,” ujarnya, mengulas senyum hangat untuk putri kecilnya yang telah pergi. “Saya turut berduka cita Nyonya, sebagai kepala panti asuhan saya minta-maaf karena tidak bisa menjaga putri Anda dengan benar. Saya sungguh menyesal karena keteledoran saya membuat Mou pergi secepat ini meninggalkan kita.” Tiffa menoleh ke belakang tempat Lieta berdiri. “Aku memaafkanmu. Lagi pula mau marah pun, itu tidak akan membuat Mou kembali hidup lagi,” sahut Tiffa dengan senyuman getir dan pandangan kosong. Meski sudah dimaafkan namun Lieta tetap merasa bersalah, apalagi setelah melihat betapa sedih dan kehilangannya Tiffa saat ini. Bukan hanya Lieta yang menyesal, Tiffa pasti jauh lebih menyesal sebagai seorang ibu. “Tuan Felip menyuruh saya memberikan ini pada Anda.” Lieta menyodorkan pakaian terakhir Mou yang diberikan Felip beberapa saat lalu ketika mereka bertemu di parkiran. Tiffa menerimanya dengan alis bertaut bingung, “Apa ini?” “Itu piyama yang dipakai Mou terakhir kali sebelum meninggal,” jawab Lieta. Ekspresi Tiffa berubah syok, ia lantas berkata, “Tapi terakhir kali bertemu denganku Mou tidak memakai pakaian ini, dia memakai pakaian berwarna biru.” Lieta ikut bingung dengan penjelasan Tiffa. “Apa Anda tidak salah? Mou memang memakai piyama ini sebelum insiden penculikan, saya yakin pakaian itu milik Mou.” Tiffa memutar kembali memorinya saat dirinya dan Mou bertemu di halte bus. Tiffa tidak mungkin salah, dia dapat dengan jelas mengingat pakaian yang dikenakan Mou saat itu. Kecurigaan itu memunculkan setitik harapan di benak Tiffa akan keberadaan putrinya yang masih hidup. Lalu, jasad siapa yang dikuburkan atas nama Mou? Tiffa termenung menatap makam Mou dengan berbagai pikiran berkecamuk. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD