10 – KETIDAKBERDAYAAN SEORANG IBU

2023 Words
“KESULITAN itu ada bukan untuk membuatmu menyerah. Selalu ada alasan di setiap kejadian. Maka jangan takut anakku, apapun yang sudah direncanakan Tuhan, semua akan berujung pada kebahagiaan.” Tiffa teringat nasihat yang pernah disampaikan ibunya sebelum meninggal. Dan ia tersadar akan sesuatu bahwa tidak semua prinsip yang merekat dihatinya harus diikuti. Prinsip yang tanpa sadar menjadikannya wanita egois yang mudah menyerah. Segalanya tetap butuh pertimbangan, karena sejak awal ia tidak menyukai dua hal yang berkaitan dengan hamil dan melahirkan—bukan berarti ia juga harus membuang Mou seperti ini. Tidak seharusnya Tiffa bersikap kejam pada putrinya sendiri. Ia sudah berani melawan prinsip hidupnya dengan hamil dan melahirkan Mou, seharusnya Tiffa tidak menyia-nyiakannya begitu saja. “Stop Pak!” Tiffa berteriak selagi bus yang ditumpanginya belum jauh dari halte. Supir bus melakukan rem mendadak, agak kesal karena Tiffa meminta turun tanpa aba-aba. “Anda yakin ingin turun Nyonya? Ini bus terakhir yang beroperasi malam ini.” Supir bus memperingatkan Tiffa. Tiffa tidak peduli, yang terpenting baginya saat ini adalah Mou. “Terima kasih sudah memberitahu, aku akan tetap turun di sini,” sahut Tiffa sebelum kemudian berlari kembali ke halte tempatnya meninggalkan Mou terakhir kali. Napas Tiffa menderu sesampainya di halte yang sudah kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Mou di sana, membuat Tiffa menyesal karena tadi meninggalkan Mou sendirian. “Mou! Kamu di mana?” Tiffa berteriak sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling halte. Berharap Mou menyahut, namun sayangnya yang ia dengar hanyalah embusan angin malam. “Dia mungkin pergi ke pos polisi yang kuberitahu.” Tiffa bergumam, lalu berjalan ke utara menuju pos polisi karena mungkin saja Mou ada di sana. *** “Maaf Nyonya, tidak ada anak kecil satupun yang melapor malam ini,” ujar seorang polisi penjaga setelah Tiffa menanyakan keberadaan Mou. Mendengarnya membuat Tiffa panik bukan kepalang, jika tidak pergi ke pos polisi maka ke mana anak itu pergi? Tiffa teringat ucapan Mou saat mengatakan dirinya diculik dari panti asuhan, mungkinkah penculik itu berhasil menangkap Mou lagi? Pikiran buruk itu semakin membuat Tiffa cemas. “Ya Tuhan! Aku harap dia baik-baik saja.” “Jangan khawatir Nyonya, saya akan melakukan patroli untuk menemukannya. Bisakah Anda sebutkan bagaimana ciri-cirinya?” tanya pak polisi. “Usianya lima tahun, ia berambut pirang, punya warna mata hijau dan pakaian yang ia kenakan terakhir kali berwarna biru.” Tiffa berusaha menjawab sedetail mungkin agar polisi itu mendapat gambaran tentang Mou. “Baik Nyonya, saya mengerti. Anda bisa tinggalkan nomor handphone dan apabila nanti Mou ditemukan, saya akan langsung menghubungi Anda. Silahkan Anda pulang dan menunggu di rumah, berbahaya bagi wanita berkeliaran di jalan malam-malam.” Niat baik pak polisi menyuruhnya pulang membuat Tiffa dilema, ia ingin membantu mencari Mou karena Tiffa tidak akan bisa tenang walau sudah sampai di rumah sekalipun. “Bisakah aku ikut denganmu mencari putriku Pak? Aku mohon,” pinta Tiffa dengan wajah memelas. Polisi yang melihatnya jadi tidak tega sehingga mengizinkannya ikut mencari. “Oke, Anda bisa ikut saya.” Senyum Tiffa mengembang setelah mendapat kesempatan, “Terima kasih Pak Polisi!” *** Harapannya hanya sebatas menjadi harapan, Tiffa sungguh tidak tahu harus berbuat apa lagi setelah semalaman mencari Mou dan sampai pagi menjelang ia masih tidak bisa menemukan gadis kecil itu. Polisi yang kemarin mengizinkan Tiffa ikut mengantarnya pulang ke rumah setelah kurang lebih sembilan jam mereka mencari Mou namun tak mendapat hasil. Polisi itu menyuruh Tiffa beristirahat di rumah dan memercayakan pencarian Mou kepada para polisi. Meski demikian, sebagai seorang ibu Tiffa tidak bisa tinggal diam. Dia tidak mungkin terus berada di rumah dan menunggu para polisi mengabarinya, tidak bisa! Tiffa harus ikut membantu mencari Mou, tak peduli walau ia belum tidur sejak semalam. “Halo Bos.” Tiffa menyahut setelah Jason mengangkat teleponnya. “Halo Tiffa, ada apa?” “Aku ingin meminta cuti 3 hari, ada urusan penting yang harus aku lakukan.” Tiffa memutuskan libur dari pekerjaan untuk mencari Mou. “Kamu tidak mendapat masalah kan?” Jason bertanya curiga. Tiffa tidak akan memberitahu Jason tentang hilangnya Mou atau pria itu akan ikut campur. Kali ini Tiffa tidak ingin merepotkan Jason lagi. “Tenang saja bos, semuanya baik-baik saja.” “Baiklah, semoga urusanmu cepat selesai.” “Terima kasih Bos.” Usai sambungan telepon mereka berakhir, Tiffa bergegas siap-siap pergi. Tujuan utamanya hari ini adalah panti asuhan Chioke karena siapa tahu Mou pulang ke sana, Tiffa ingin memastikannya sekaligus menuntut jawaban ke pihak panti kenapa Mou bisa sampai diculik. *** Taxi yang ditumpangi Tiffa ke Midland mendadak mogok sebelum sampai di panti asuhan Chioke. Tidak ingin terjebak di jalan terlalu lama, Tiffa memutuskan turun dan mencari kendaraan lain untuk melanjutkan perjalanannya. 30 menit Tiffa jalan kaki di trotoar, ia masih tidak menemukan bus kota atau taxi lain yang lewat. Tiffa duduk sejenak di bangku pinggir jalan karena kepalanya pusing. “Ya Tuhan, aku tidak boleh sakit di saat seperti ini. Aku harus tetap kuat.” Tiffa bangkit dan memaksakan kakinya melangkah meski mati-matian menahan sakit di kepalanya. Ketika hendak menyeberang di lampu merah, pandangan Tiffa berkunang-kunang. Wajahnya pucat, napasnya memburu, namun Tiffa memaksakan dirinya berjalan menyebrang. Sementara itu dari lawan arah terlihat sebuah mobil sport silver metalik berkendara dengan kecepatan tinggi. Kondisi jalan sedang sepi, lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau, tetapi Tiffa masih berdiri di tengah jalan dan nyaris membuat sang pengemudi menabraknya. “Woy! Kau cari mati yah?!” tegur Felip, kepalanya melongok dari jendela mobil. Gedebuk… Felip terkejut melihat Tiffa jatuh pingsan di depan mobilnya. “Aku kan tidak menabraknya? Lalu kenapa dia pingsan?” Felip bertanya pada dirinya sendiri. “Oh aku tahu, dia pasti berpura-pura pingsan supaya aku memberinya uang kompensasi. Astaga… orang jaman sekarang menyebalkan sekali!” omel pria itu lalu terpaksa keluar dari mobilnya untuk memeriksa Tiffa. Tiffa jatuh pingsan dengan posisi telungkup, Felip berjongkok di sisinya kemudian menggeser tubuhnya hingga bisa melihat wajah Tiffa. “Wanita ini kan…” Betapa terkejutnya Felip saat tahu wanita yang nyaris ditabraknya itu adalah wanita yang sama pernah ditemuinya di makam sekaligus wanita yang ditemaninya saat operasi caesar. “Ya Tuhan, sebenarnya aku punya salah apa pada wanita ini? Kenapa aku selalu bertemu dengannya di keadaan yang tidak tepat?” Felip menggeleng tidak habis pikir. Felip kemudian menepuk-nepuk kecil pipi Tiffa mencoba membangunkannya. “Jika kamu berpura-pura untuk mendapat kompensasi, aku akan memberikannya. Jadi cepat bangun!” ujar Felip, masih berpikir jika Tiffa berpura-pura pingsan. Tetapi tidak ada sahutan dari sang empu, Felip mulai khawatir jika Tiffa pingsan sungguhan. “Oh ayolah, jangan bercanda! Mou menghilang, aku harus segera ke panti asuhan untuk mencari tahu informasinya!” gerutu Felip. Pria itu melihat jam tangan, Felip tidak bisa membuang waktu lagi sehingga memutuskan menggendong Tiffa dan memasukkannya ke dalam mobil untuk di antar ke rumah sakit terlebih dahulu. *** Tiffa membuka mata, menatap sekeliling ruangan yang berbau khas obat-obatan. Seorang suster datang menyentuh lengannya sambil membawa alat. “Anda sudah sadar Nyonya?” tanya suster Clarissa. “Aku ada di mana?” Tiffa bertanya pelan, sedangkan ekspresinya cemas. “Anda berada di rumah sakit Midland, seorang pria menemukan Anda pingsan di jalan dan segera membawa Anda ke sini,” jelas suster Clarissa, lalu meminta izin untuk mengukur tekanan darah Tiffa menggunakan alat tensimeter yang dibawanya. “Saya akan mentensi Anda terlebih dahulu, dokter akan segera datang setelah ini.” Tiffa diam menurut, tepat setelah dia selesai ditensi oleh suster Clarissa, dokter Ramond datang memeriksa denyut jantung Tiffa menggunakan stetoskopnya. “Berapa hasil tekanan darahnya suster?” “Tekanan darahnya 125/80 mmHg dokter, masih normal.” “Aku baik-baik saja kan dokter? Kenapa sebelumnya aku pingsan secara tiba-tiba?” Tiffa melayangkan sebuah pertanyaan sebab khawatir pada kesehatan dirinya. Dokter Ramon tersenyum menenangkan, kemudian menjawab, “Anda pingsan mungkin karena kelelahan. Pastikan sebelum kepergian agar mengisi perut Anda untuk pasokan energi, Anda juga harus banyak istirahat supaya tidak cepat lelah.” “Bisa bahaya jika Anda pingsan lagi di jalan, hari ini Anda masih beruntung ada seseorang yang mau membantu Anda mengantar ke rumah sakit, tapi andai lain hari terulang kejadian yang sama, belum tentu ada orang baik yang bersedia menolong Anda lagi,” nasihat dokter Ramond. Penjelasan dokter Ramond mengingatkan Tiffa akan tujuannya pergi hari ini. Dia pergi tanpa memikirkan kondisinya demi Mou. “Boleh aku bertemu dengan orang yang sudah membantuku Dok? Aku ingin berterima kasih padanya dan mengganti biaya rumah sakit,” pinta Tiffa. “Maaf Nyonya, beliau sudah berpesan agar tidak membocorkan identitasnya. Untuk urusan biaya rumah sakit, beliau sudah menyelesaikannya dan Anda tidak perlu mengganti.” Kening Tiffa berkerut heran. “Tapi dokter, aku harus berterima kasih pada orang yang sudah menyelamatkanku. Aku sudah merepotkannya, jadi setidaknya aku—” “Tidak perlu dipikirkan Nyonya. Anda sudah bisa pulang hari ini, jangan lupa minum vitamin yang saya berikan. Semoga Anda cepat sembuh, dan saya permisi pamit dulu.” Dokter Ramond berpamitan kemudian keluar dari ruangan meninggalkan Tiffa yang terbengong karena pertanyaannya belum terjawab. Tiffa jadi penasaran tentang orang yang sudah menolongnya, kenapa orang itu harus menyembunyikan identitasnya? Terlepas dari masalah itu, Tiffa baru ingat kalau ia harus buru-buru pergi ke panti asuhan untuk menanyakan keberadaan Mou. Bergegas Tiffa turun dari ranjang, memakai sepatunya dibantu suster Clarissa lalu tak lupa membawa vitamin yang diberikan dokter Ramond sebelum pergi meninggalkan rumah sakit. *** Ketika Taxi yang ditumpangi Tiffa masuk melalui gerbang utama panti asuhan Chioke, di saat yang sama pula mobil sport yang dikendarai Felip keluar. Mereka berdua kembali berpapasan namun sama-sama tidak menyadarinya. Kesamaan Tiffa dan Felip saat ini yaitu sama-sama mencemaskan Mou. Tiffa tidak sengaja melihat Lieta di halaman depan lalu bergegas turun dari Taxi dan berteriak memanggilnya, “Nyonya Lieta!” “Nyonya Tiffa?” Lieta tampak gugup melihat perempuan itu ada di sini. Bagaimana caranya dia menjelaskan tentang hilangnya Mou apabila Tiffa bertanya? Tiffa berjalan mendatanginya dengan raut marah bercampur cemas. “Di mana Mou?” Sesuai dugaan Lieta, Tiffa kemari pasti untuk mencari putrinya. “Di-dia…” “Dia diculik kan?!” pungkas Tiffa. Lieta terkejut karena Tiffa sudah tahu lebih dulu. “Saya sungguh minta-maaf Nyonya! Selama panti asuhan Chioke berdiri tidak pernah ada kejadian seperti ini, saya pun tidak menduga Mou akan diculik.” Lieta meminta pengampunan. Tangan Tiffa terkepal di sisi tubuhnya, marah pada pihak panti asuhan yang teledor. Tiffa juga marah pada dirinya karena meninggalkan Mou sendirian di halte kemarin malam. “Aku bertemu dengannya di Toronto,” Tiffa menarik napas hanya untuk menahan dirinya agar tidak menangis, “Penculik itu mungkin membawanya ke sana. Mou menemuiku untuk meminta bantuan, tapi…” tenggorokannya tercekat, terlalu pilu untuk mengakui bahwa ia tega meninggalkan putrinya. Andai waktu bisa diulang, Tiffa akan memilih mengajak Mou pulang—melindungi selayaknya tugas seorang ibu. Tapi semua orang pun tahu, waktu tidak bisa diulang dan Tiffa telah kehilangan kesempatan menyelamatkan putrinya. “Tidak apa Nyonya, Anda sudah berusaha melakukan yang terbaik.” Lieta mencoba menghiburnya. “Yang terbaik kau bilang?!” Suara Tiffa meninggi, lebih ke menyalahkan dirinya sendiri. “Aku meninggalkannya saat dia meminta bantuanku! Aku ibu yang jahat, tidak ada seorang anakpun yang ingin memiliki ibu sepertiku!” Tiffa berteriak histeris sembari menepuk dadanya kuat-kuat, menghukum dirinya dengan rasa sakit. Lieta menatapnya prihatin, mengerti apa yang tengah dirasakan wanita itu. Sejak Tiffa menyerahkan Mou ke panti asuhan lima tahun lalu, Lieta tahu hidup Tiffa tidak baik-baik saja. Lieta juga paham alasan Tiffa memilih menempatkan putrinya ke panti asuhan daripada merawatnya sendiri. Semua itu Tiffa lakukan akibat ketidakberdayaannya sebagai seorang ibu. “Meski awalnya meninggalkan Mou, tapi pada akhirnya Anda memutuskan untuk kembali kan?” Ungkapan Lieta membuat Tiffa sejenak berhenti menangis. Lieta tersenyum menguatkan, kemudian lanjut berkata, “Nyonya Tiffa tidak seburuk itu, aku yakin Mou tetap akan memilih Anda sebagai ibunya. Karena Mou menyayangi Anda.” Tiffa tertegun, merasa sedikit terobati berkat kata-kata Lieta. “Jangan khawatir Nyonya Tiffa, pihak panti asuhan sudah menghubungi polisi dan mereka akan membantu kita menemukan Mou.” Sebenarnya Lieta juga ingin mengatakan bahwa Felipe Alejandro berperan besar dalam masalah ini sebagai calon orang tua pengadopsi, tetapi Lieta urung memberitahunya karena takut dianggap lancang oleh Felip karena membocorkan informasi pribadinya. Yang bisa mereka lakukan sekarang hanyalah menunggu kabar dari polisi dan banyak berdoa supaya Mou cepat ditemukan. BERSAMBUNG...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD