3

824 Words
Pagi Chello selalu sama. Chello akan menghadiri sarapan bersama di  meja makan. Seperti halnya saat ini, Chello duduk di tengah Michell dan Icha. Menikmati sarapan pagi yang disajikan oleh sang mamah. “Bang..” “Ya Pah..” “Yoi Bro!” Dipta mendelik pada Michell. Kesalahannya memang tidak langsung memanggil nama manusia yang ia tuju. Dipta harus menyaksikan kekurang-ajaran Michell di pagi hari. “Hehe.. Maaf Pah. Kan kita akrab.” Chello dan Dira menggelengkan kepala, berbeda sekali dengan Icha yang berani terkekeh karena kelakuan Michell. “Llo.. Kamu nggak mau bilang apa-apa ke mamah kamu?” “Maafin Abang Mah.” Pinta Chello. Ia sadar telah membuat kesalahan. Meninggalkan Dira begitu saja di rumah Om Aldo kemarin. Terlebih hal itu ia lakukan tak luput dikarenakan rasa kesal pada sang mamah. “Nggak!” seru Dira, “Mama nggak akan maafin sebelum Abang minta maaf ke Audi. Dia tunangan kamu Bang!” jari-jari Chello mengepal di bawah meja ketika nama Audi terlontar dari bibir Dira. “Minta maaf ke Audi, Marchello Darmawan.” Chello tidak ingat kapan terakhir Dipta memanggil nama lengkapnya. Tapi untuk alasan membela Audi— Chello tidak terima. Terlebih sang Papah menunjukkan ekspresi marah. “Ehem.. Udah. Lanjutin sarapan kalian. Nanti telat.” Titah Dira peka terhadap dua lelaki kesayangannya. “Icha nanti tunggu bentar. Mamah siapin sarapan buat Audi. Kamu kasih ke dia.” Icha mengangguk sebelum kembali melanjutkan sarapan. Chello tak pandai basa-basi memang. Ia akan diam untuk menunjukkan ketidak sukaannya. Namun meski begitu dia tidak akan lupa tanggung jawab untuk mengantar Icha ke sekolah. Sebagai seorang kakak, Chello tak rela jika Icha harus berangkat sekolah dengan Michell. Bukan karena tidak percaya, hanya saja Michell lebih memilih motor sport alih-alih menggunakan mobil ke kampus dan itu jelas beresiko untuk adik perempuannya. “Maaf Bang, nungguin ini tadi.” Icha mengangkat kotak makan untuk Audi ke udara setelah masuk ke dalam mobil. Gadis berusia enam belas tahun itu hanya mendapatkan anggukan dari Chello. “Udah?” “Udah Bang.” “Sabuk Cha. Abang nggak mau kamu kenapa-kenapa.” See— sesayang itu lah Chello kepada Icha. Sabuk pengaman memang masalah sepele bagi sebagian orang tapi tidak dengan Chello. Bagi Chello, lelaki itu tidak tahu apa yang akan terjadi satu detik ke depan. Jadi dibandingkan menyesal Chello lebih memilih berjaga-jaga di awal. “Bang kata Mama, Audi tadi telepon. Minta kita sekalian jemput tuh anak. Mobilnya nggak tahu kenapa nggak bisa nyala.” Chello hanya berdehem.           Chello mencengkeram stir. Baru mereka sampai di depan rumah Audi, ia justru disuguhi punggung Audi yang dibonceng oleh pengendara motor matic. “Lah si Audi gimana sih. Kan tadi udah gue bilang tungguin. Kok dia malah berangkat bareng si Dimas.”   ‘Dimas?’ batin Chello sebelum memastikan dengan bertanya pada Icha, “Windar Dimas Cha?”    “Kok Abang tauk? Dia kan baru semingguan pindah.—“ Sial! Si Dimas Dimas itu nggak bohongan sama Audi.  “Bang pelan-pelan kenapa bawa mobilnya. Abang kan nggak biasa ngebut.” Chello merutuki kelakuan aneh dirinya. Ia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba saja punya keinginan untuk menyusul motor yang membonceng Audi. “Abang nggak lagi cemburu kan? Tunangan Abang dibonceng cowok lain?” goda Icha dengan mimik menyelidik. Icha sih merasa tenang saja. Ia mengenal Windar Dimas. Audi tidak mungkin dengan lelaki itu karena Icha jelas tahu apa alasan ketidakmungkinan itu. “Jangan ngaco! Abang Cuma nggak mau kamu telat terus dimarahin sama guru.”  Icha memutar bola mata. Memang guru mana yang berani untuk marah?— Icha kan anak pemilik Yayasan Angkasa Jaya. Jelas telat bukan masalah fatal untuk gadis muda itu. Chello memelankan laju mobil kala dari kejauhan ia melihat lampu lalu lintas berwarna kuning. Sengaja ia menghentikan mobil di samping Audi— Sial! Chello sama sekali tidak mengerti kenapa ia harus merasa tidak suka kala lengan Audi melingkar pada sosok berjaket hitam di depan gadis itu. “Di!! Audi Mahendraaa!!!” teriak Icha setelah menurunkan kaca mobil. “Woi, Audi b*****t!!” sekali lagi Icha mencoba namun hanya ia dapatkan justru lima jemari Audi yang seolah tengah mengatakan ‘ngomong sama tangan nih.’ “Ibab! Berasa manggil Agnes Monica di karpet merah. Audi Monyet!” Chello mencengkeram erat kemudi. Ia lampiaskan kekesalan yang bersarang dibenaknya. ‘Icha aja di cuekin. Gimana kalau gue yang manggil?’  “Bang udah ijo.” Chello kembali melajukan mobil. Tatapan Chello tak pernah terlepas pada sosok tanpa jaket yang mengendarai motor di depan mobilnya. Sengaja Chello membuntuti motor Dimas dan ketika gerbang Angkasa Jaya terlihat lelaki itu dengan sengaja menyalip lalu memarkirkan mobil di dekat parkiran motor siswa. “Abang tumben sampe dalem anternya.” “Abang anter kamu ke kelas.” Icha terkekeh. Chello dan segala ego kelaki-lakiannya memang sulit sekali mengakui kecemburuannya pada Audi. Tapi hal seperti sekarang , bukan sekali Icha temukan. Sebagai seorang adik terlebih ia adalah observer sejati, Icha sudah menduga jika sebenarnya Chello memiliki perasaan pada Audi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD