Sayup-sayup Bram yang masih tertidur mendengar suara yang seperti bisikan di telinganya, membuat Bram membuka matanya perlahan dan melihat Padma yang sedang berjongkok di hadapan Hanum yang terbaring tidur di sofa.
“Sayang, bangun,” suara lembut Padma terdengar membangunkan Hanum.
“Masih ngantuk bun,” suara serak Hanum khas tidur.
“Iya, bunda tahu,” sahut Padma, “Tapi hari ini masih ulangan kan? Mandi dulu, sebentar lagi Om Avin datang menjemput.”
“Heh,” hanya deheman kecil dari Hanum yang dengan berlahan bangun dan berjalan dengan wajah masih mengantuk masuk ke kamar mandi.
“Biar aku saja yang mengantar Hanum ke sekolah,” ucap Bram dengan suara serak.
“Baiklah,” Padma mengangguk dan berlalu tanpa melihat ke arah Bram.
Padma berjalan mendekati Hafiz yang masih tertidur, menyentuh dahinya dan kemudian mencium kening anak laki-laki.
“Bagaimana keadaan Hafiz?” Bram sudah berdiri di samping tempat tidur Hafiz.
“Masih turun naik panasnya, tapi tidak separah kemarin-kemarin,” Padma menjawab sambil memandang wajah Hafiz.
“Kapan Hafiz di perbolehkan pulang?” pertanyaan Bram itu membuat Padma mendelik tajam.
“Kau tidak mendengar dan memperhatikan apa yang di katakan dokter kemarin?” Padma berbicara pelan dan Bram menggelengkan kepalanya.
“Tentu saja kau tidak memperhatikan apa yang di katakan dokter kemarin, karena perhatianmu tidak pada Hafiz yang sedang sakit,” terdengar suara Padma yang mendesah kasar.
“Aku memang tidak memperhatikan apa yang dikatakan dokter kemarin,” Bram mengakui kalau dia memang sedang tidak fokus saat dokter datang untuk memeriksa Hafiz kemarin, karena dia terlalu sibuk berbicara dengan Puspa dan Azzam.
Padma menarik napas panjang dan kembali menggelengkan kepalanya, “Hafiz masih harus di rawat di sini sampai beberapa hari ke depannya, sampai dia di nyatakan sembuh.”
Bram mengangguk, “Aku tidak bisa terlalu sering menjaga hafiz ..”
“Kau tenang saja, aku yang akan melakukannya,” sela Padma, “Karena aku tahu betapa sibuknya dirimu.”
“Bukan begitu maksudku, kalau kau tidak bisa aku akan meminta ibu ...”
“Kau yakin bisa meminta ibu menjaga Hafiz? Bukankah dia bilang dengan jelas kemarin kalau dia tidak bisa membantu untuk menjaga Hafiz di rumah sakit, karena dua cucunya yang lain juga butuh perhatian lebih dari pada Hafiz dan Hanum,” kembali Padma menyela sambil mendesah panjang.
“Aku tidak pernah mendengar ibu bicara seperti itu kemarin,” ujar Bram.
Padma menjauh dari tempat tidur Hafiz dengan hati yang jengkel dan duduk di sofa, di ikuti oleh Bram.
Mereka terdiam sesaat, karena Padma malas dan merasa ini terlalu pagi untuk memulai perdebatan.
Klek!
Padma dan Bram melihat ke arah pintu yang terbuka, Puspa masuk dengan menenteng sebuah paper bag dan rantang makanan.
“Mas Bram,” sapa Puspa dengan tersenyum.
“Kamu pagi sekali datang ke sini,” ujar Bram sambil tersenyum, “Aku pikir kau akan langsung pergi ke kantor dan kita akan bertemu di sana.”
“Aku membawakan pakaian kerja untuk ke kantor dan sarapan dari ibu untuk Mas Bram,” Puspa menyerahkan paper bag dan rantang kecil yang dia bawa, “Biar Mas Bram tidak bolak-balik dan kita berdua tidak terlambat ke tempat kerja.”
“Terima kasih,” Bram menyambut paper bag dan juga rantang makanan itu, “Aku senang kau melakukan ini.”
Padma yang melihat interaksi kedua orang yang ada di hadapannya merasa muak.
“Jadi sekarang kau juga menyiapkan semua keperluan Bram?” Padma tersenyum miring melihat ke arah Puspa dan juga Bram.
“Maksudnya Mbak Padma?” Puspa terlihat bingung.
“Di mana kau ambil pakaian kerja Bram?” tanya Padma pada Puspa.
“Di kamar Mas Bram,” sahut Puspa.
“Jadi sekarang kau sudah mulai berani keluar masuk ke dalam kamar tidur Bram dan aku?” kembali Padma melontarkan pertanyaan memandang Puspa dengan tatapan dingin.
“Iya, karena aku ...” Puspa mengangguk dan mulai terdengar gugup dengan jawabannya.
“Wah, rupanya kalian tidak mau menunggu terlalu lama untuk bertindak jauh di dalam rumah, sebelum kita benar-benar resmi bercerai,” Padma semakin memandang sinis dan jijik pada Bram dan Puspa.
“Itu tidak seperti yang kau pikirkan Padma,” Bram terdengar geram, “Jangan mudah berprasangka buruk, Puspa itu hanya..”
“Mbak Padma, salah sangka ..” Puspa ikut bicara.
“Tidak perlu menjelaskannya, aku tidak peduli,” sela Padma pada mereka berdua sambil mengangkat ke dua tangannya tanda tak ingin mendengar penjelasan lebih lanjut dan berdiri saat mendengar pintu kamar mandi terbuka.
“Bunda,” panggil Hanum.
“Iya sebentar,” Padma menyahut dengan menghampiri Hanum.
“Nanti sebentar bunda sisir rambutmu ya kak,” Padma mengelus rambut panjang Hanum.
“Bunda,” suara Hafiz terdengar lirih memanggil.
“Ya dek,” Padma menghampiri Hafiz.
Pintu kembali terbuka dan Avin masuk dengan membawa beberapa kantong plastik, “Wah, masih pagi sudah kumpul semua.”
Avin berdiri di samping Puspa dan melihat wanita itu gugup juga Bram yang berwajah tegang serta menahan marah.
“Masih pagi cuacanya sudah panas,” Avin duduk sambil meletakkan kantong plastik ke atas meja.
“Padma, itu Abang bawakan s**u ibu hamil untukmu,” Avin menunjuk pada kantong yang berisi kotak s**u ibu hamil.
“Iya, terima kasih Bang,” Padma sedang membantu Hafiz duduk.
“Hanum belum siap-siap?” Avin melihat pada Hanum yang sedang memegang sisir rambut.
“Tunggu bunda,” Hanum memperlihatkan sisir di tangannya.
“Sini, biar Om Avin yang sisirkan,” Avin melambaikan tangan agar Hanum mendekat.
Hanum mendekat dan menyerahkan sisir pada Avin, dan pria itu terlihat lincah tidak kaku saat mulai menyisir rambut gadis kecil itu, “Mau di kepang seperti kemarin?”
Hanum hanya mengangguk dengan tawaran Avin.
“Nanti biar Papa antar kamu sekolah,” Bram melihat Hanum yang diam saat rambutnya di sisir oleh Avin.
“Ngak usah, sama Om Avin saja,” Hanum menolak dengan suara pelan.
“Biar sama Papa saja,” Bram terlihat tak suka dengan penolakan Hanum.
“Mas Bram,” Puspa terlihat gugup.
“Kenapa?” tanya Bram melihat ke arah Puspa.
“Arah ke sekolah Hanum itu berlawanan arah dengan kantor, kita bisa terlambat, karena kita sudah ada janji ..” Puspa mencoba menerangkan.
“Kalau begitu tidak perlu mengantarkan Hanum biar Abang Avin saja, biar kalian berdua tidak terlambat,” Padma menghampiri Hanum yang rambutnya sudah selesai di sisir Avin.
“Apalagi dari semalam kalian berdua sudah berpisah, pasti tidak ingin membuang waktu untuk bersama kan?” sindir Padma.
“Bukan begitu Mbak Padma,” sangkal Puspa.
“Padma, aku sudah bilang berhenti berprasangka buruk pada kami berdua,” Bram mulai kehilangan kesabarannya.
“Biar aku yang mengantar Hanum sekarang,” Avin berdiri memberi kode agar Hanum keluar lebih dulu.
Saat Hanum sudah keluar, Avin memandang pada Bram, Padma dan Puspa bergantian.
“Bersikaplah bijak, jangan pernah bertengkar di depan anak-anak,” Avin kemudian berjalan dan sempat memandang pada Puspa sejenak.
Puspa yang di pandang Avin sempat merasakan ngeri, apalagi pria penuh tato di lengan juga luka di wajahnya itu punya tatapan sangat tajam.
“Ayo Puspa, kita pergi,” Bram ikut beranjak pergi tanpa melihat ke arah Padma dan Puspa pun mengikuti langkah pria itu.
***Otw ***
Bram memandang Wisnu dan menunggu apa yang akan di bicarakan sahabat sekaligus rekan bisnisnya itu.
"Jadi sudah pasti kau akan bercerai dari Padma?" Wisnu bertanya sambil menarik napas berat.
"Itu tidak benar," sahut Bram.
"Tidak benar? Bukannya kemarin lusa sidang cerai pertama kalian?" tanya Bram sambil berkerut heran, "Tapi kau dan Puspa terlambat datang."
"Aku tidak akan menceraikan Padma, di antara kami hanya salah paham," Bram terdengar tak senang.
"Tidak ada yang salah paham, apalagi aku termasuk yang melihat dengan jelas semua yang terjadi antara kau dan Puspa," terang Wisnu, "Terutama perlakuan istimewa mu pada wanita itu."
"Aku mengganggap Puspa itu seperti adik ku sendiri, jadi jangan salah paham dengan sikapku padanya," ujar Bram menghela nafas panjang, "Apalagi aku sudah berjanji pada Rian, Puspa itu amanah yang harus aku jaga."
"Amanah yang terlalu di lebih-lebihkan, sampai kau mengabaikan juga menyakiti istri dan anak-anakmu sendiri," sindir Wisnu dan Bram terdiam mendengar sindiran itu.
"Aku termasuk orang yang setuju dan mendukung kau bercerai dari Padma," perkataan Wisnu membuat Bram terkejut, "Karena itulah aku yang menyediakan Padma pengacara untuk mengurus perceraian kalian berdua."
"Kau!" Bram nampak terkejut.
"Dan setelah itu menikahlah dengan Puspa, bukankah itu yang kau inginkan?" Bram terdiam terpaku mendengar perkataan Wisnu.
"Aku .."