10. Ancaman Mama

1061 Words
Beberapa hari ini karena kesibukannya mendampingi sang suami, juga mengurus beberapa yayasan sosial miliknya, Daisy sampai melupakan akan Fabio dan Scarla. Barulah malam ini ketika wanita yang masih begitu cantik dan energik di usia kepala enam, mengingat mengenai keberadaan Scarla. Apakah gadis itu sudah Fabio pulangkan? Kenapa tidak ada kabar juga dari putranya. Daisy sangat geram dengan tingkah laku putra terakhirnya itu. Masih saja suka bersikap sesuka hatinya padahal usia juga makin tua. Mencari-cari letak ponselnya berada, perempuan itu lekas mencari nomor telepon putranya dan melakukan panggilan. Menanti beberapa kali dering sampai suara berat milik sang putra terdengar juga di telinga. "Malam, Ma!" Sapaan yang Fabio lontarkan untuk mamanya. Pria itu sedang sibuk dengan laptop di pangkuan. Sedang bersandar pada kepala ranjang menyelesaikan pekerjaan yang memang masih tertunda, ketika ponselnya menyala dan mamanya yang kini menelepon. Jangan ditanya bagaimana suasana hati pria itu. Harap-harap cemas mengingat mama pasti akan menanyakan seputar Scarla. Oleh sebab itulah Fabio tak langsung menjawab panggilan itu karena dia harus mencari jawaban yang tepat agar mamanya bisa mengerti. "Kamu di mana, Fab?" Pertanyaan yang mamanya lontarkan. "Apartemen." "Berduaan dengan Scarla? Atau ... Kamu sudah memulangkan gadis itu?" Rentetan pertanyaan yang jujur sulit sekali Fabio jawab. Di satu sisi, apa yang mama katakan bahwa dia harus memulangkan Scarla pada keluarganya sangat beralasan. Bagaimana pun dia salah karena menampung anak gadis orang lalu hidup berdua di dalam satu atap yang sama. Namun, Fabio juga tidak mungkin tega begitu saja mengusir Scarla setelah apa yang ia dengar dari mulut gadis itu. Fabio memang sudah bertanya pada Scarla mengenai alasan sampai harus meninggalkan rumah. Dan jawaban yang Scarla beri, membuat Fabio memberikan kesempatan pada gadis itu untuk menumpang sementara di apartemennya ini. Tidak ada dalam jawaban Scarla yang menjelek-jelekkan Veronica. Gadis itu hanya mengatakan ia bosan berada di rumah karena kedua orangtuanya tak ada yang peduli akan keberadaannya. Papinya yang sering pergi ke luar negeri, pun halnya mama tirinya yang seolah biasa saja ketika dia tak ada di rumah. Kurangnya kasih sayang serta perhatian dari keluarga, membuat Scarla sering menghilang dari rumah hanya sekedar menyenangkan diri sendiri. Ingin mencari suasana baru dengan menghirup udara segar ke mana pun ia mau. Termasuk menginap di rumah teman, atau sekedar backpacker-an keliling dunia. Fabio sungguh tak habis pikir. Gadis belia yang bahkan usianya saja masih belum genap dua puluh tahun. Tak pernah merasa takut padahal bisa saja bahaya mengintainya. 'Aku hanya akan menyerahkan hidupku pada Sang Pencipta, Uncle. Untuk apa aku takut menghadapi orang-orang yang berniat jahat padaku. Toh, papi dan mami saja tak peduli padaku.' Itulah kata-kata yang Scarla lontarkan ketika Fabio bertanya apakah dia tak ada rasa takut harus lari dari rumah tanpa tujuan yang jelas. Dari sini, Fabio semakin dibuat trenyuh dan tidak tega pada Scarla. Lebih baik Scarla ada di apartemennya yang pasti aman untuk gadis itu. Daripada harus membiarkan gadis itu berkeliaran ke mana-mana. Diantar pulang ke rumah papi dan maminya pun percuma karena Scarla pasti akan lari lagi yang entah ke mana tujuannya. "Ma! Eum ... tolong dengarkan aku. Iya, memang Scarla masih di sini. Hanya sementara, Ma. Setelah dia siap untuk pulang ... maka aku sendiri yang akan mengantarnya. Mama jangan khawatir akan hal itu. Scarla di sini baik-baik saja." Dengan penuh semangat Fabio meyakinkan mamanya. Namun, sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu, tetap saja Daisy sangat khawatir sesuatu akan terjadi pada mereka berdua. Dua orang lawan jenis yang harus tinggal di satu atap. Bisa-bisa yang ketiga adalah setan. Dan Daisy tak mau Fabio melakukan kesalahan fatal dengan merusakk anak gadis orang. "Bio. Mama tak paham dengan apa yang ada dalam pikiranmu. Kenapa kamu masih mempertahankan keberadaan Scarla di apartemenmu. Jika Vero beserta suaminya tahu bahwa kamu menyembunyikan anak gadis mereka ... nama baik keluarga Limantara yang akan jadi taruhannya." "Aku tidak tega menyuruh dia pulang." "Tapi kamu juga tidak bisa tinggal di satu rumah yang sama dengan gadis yang bukan siapa-siapa kita. Mama tak paham dengan jalan pikiranmu sampai-sampai kamu keukeh menyimpan dia di apartemen. Atau mungkin kalian berdua memang ada hubungan asmara? Astaga, Bio! Scarla itu masih kecil. Bahkan kamu ini lebih pantas menjadi pamannya. Bukan kekasihnya. Ayolah, Bio. Masak kamu tidak bisa mencari pasangan yang setara usia. Atau setidaknya yang memiliki rentang usia tidak seberapa jauh darimu agar kelak kalian bisa menjadi partner yang kompak. Apa menariknya sih menjadi seorang pedhopil." "Ma!" Fabio sampai kehilangan kata-kata. Mamanya sudah bicara panjang lebar sampai mengatainya pedhopil segala. Ya, Tuhan. Ini namanya salah paham. Bagaimana cara memberikan pengertian pada sang mama bahwa dia hanya berniat membantu Scarla menenangkan diri. "Begini saja, Fab. Kamu menikah saja. Dengan Scarla pun tak apa. Daripada kalian tinggal bersama tanpa ikatan." "Mama ini bicara apa. Aku dan Scarla tidak mungkin menikah." "Jika seperti itu ... cepat kau pulangkan Scarla pada keluarganya sebelum papa dan Fabian mengetahui kelakuanmu ini." Panggilan telepon, mamanya akhiri. Fabio mengusap wajah frustasi. Bisakah dia mengusir Scarla dari sini sementara hatinya mengatakan tidak tega. Namun, jika mempertahankan Scarla maka ancaman menikah taruhannya. Pria itu mengembuskan napas kasar lalu turun dari atas ranjang. Membuka pintu kamar, memperhatikan Scarla yang rebahan di atas sofa dengan televisi yang menyala. Menyadari akan keberadaannya, gadis itu menolehkan kepala. "Kenapa Uncle? Apa Uncle perlu sesuatu? Aku akan buatkan." Dua malam ini selama gadis itu ada di sini, lembur Fabio selalu ditemani dengan secangkir kopi beserta camilan yang gadis itu hidangkan. Mirip layaknya suami istri betulan. Entah mengapa menurut Fabio, Scarla ini termasuk gadis mandiri mengingat dia adalah anak tunggal yang orangtuanya termasuk golongan orang kaya. "Tidak. Aku hanya ingin mengatakan padamu. Besok aku antar kamu pulang, ya?" Senyum di bibir Scarla memudar. "Oma Daisy menelepon Uncle, ya?" Fabio memang bercerita pada gadis itu jika dua hari lalu Daisy datang dan memergoki dia tidur di dalam kamar. Oleh sebab itulah kenapa Fabio meminta agar dia segera pulang ke rumahnya sendiri. Namun, Scarla menanggapi semua anteng saja. Toh, dia dan Fabio tidak melakukan apa-apa. Satu lagi yang tak Fabio ketahui. Semenjak ciuman pertamanya diambil oleh pria itu, Scarla jatuh cinta pada Fabio yang usianya terpaut hampir dua belas tahun. Jika suatu saat Daisy memarahinya, Scarla siap menanggung akibatnya. Termasuk itu jika dia harus menikah dengan Fabio. Mungkin akan lebih baik seperti itu daripada hidup bersama papi dan mami tirinya. Sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri tanpa peduli akan keberadaannya yang masih membutuhkan kasih sayang. Apa salah jika dia haus akan kasih sayang orang-orang di sekitarnya setelah meninggalnya sang mama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD