12. Kepulangan Fabio

1733 Words
Satu minggu berlalu semenjak kepergian Scarla dari apartmennya. Entah mengapa Fabio merasa kesepian di rumahnya sendiri. Padahal selama ini dia terbiasa tinggal sendiri dan tak pernah menemukan masalah yang berarti. Mungkin karena Scarla adalah salah satu gadis cerewet yang pandai menghidupkan suasana, jadi meski hanya tiga hari sempat tinggal bersama, rasa kehilangan itu pun melanda. Apalagi jika di pagi hari seperti ini maka di meja makan mungilnya telah tersedia menu sarapan buatan Scarla. Yah, meskipun hanya sekedar roti panggang atau omlet saja yang mampu Scarla hidangkan, akan tetapi setidaknya Fabio tak perlu repot-repot membuatnya sendiri. Tinggal hap, selesai. Bisa saja sebenarnya pria itu mempekerjakan seorang pembantu agar ada yang mengurus hidupnya. Namun, Fabio rasa dia belum membutuhkan itu semua. Tempat tinggalnya ini terbilang kecil dan kurang ada manfaatnya jika harus mempekerjakan seorang pembantu. Dengan lesu pria itu duduk di kursi mini bar. Membuka toples berisi roti gandum yang hanya tersisa dua biji saja. Ia sudah cukup lama tidak pergi berbelanja karena sewaktu sang mama datang, wanita itu sudah membawakan aneka kebutuhannya termasuk bahan makanan. Ia ambil satu lembar lalu hanya diolesi dengan selai buah saja. Tanpa perlu dipanggang karena Fabio malas melakukannya. Bahkan hanya membuat secangkir kopi instan saja pria itu enggan mengerjakan. Memilih beranjak dari duduk menuju lemari pendingin. Ia mengambil s**u putih low fat kemasan satu literan lalu menuangkan ke dalam gelas. Kembali duduk dan memakan sarapannya dengan malas. Untuk ukuran tubuh sebesar miliknya, hanya sarapan roti dan susuu saja sudah cukup mengganjal perutnya. Mungkin nanti jika dia merasakan lapar sebelum jam makan siang, biasanya dia akan memakan buah-buahan. Tanpa perlu mencuci bekas gelas yang ia baru saja pergunakan, pria itu meninggalkan pantry menuju sofa mengambil tas berisikan laptop dan juga jas yang tergeletak di sana. Meninggalkan apartemen dengan kurang bersemangat. Ketika langkah kakinya menuju area parkiran, ponsel di saku celananya bergetar. Fabio merogohnya. Keningnya mengenyit demi melihat nama mama yang menghubungi. Sepagi ini sang mama sudah menelepon. "Pagi, Ma!" sapanya pada sang mama begitu panggilan ia jawab. "Bio, weekend kamu pulang, kan?" Ah, baru ingat jika dia sudah waktunya pulang ke rumah setelah tiga mingguan ini dia tak pulang. Setelah dia pikir-pikir lagi memang tak ada agenda penting yang harus dia lakukan di ujung minggu ini. "Iya, Ma. Aku akan pulang," jawab Fabio menyejui sembari ia membuka pintu mobilnya. "Ah, mama rindu sekali padamu." "Belum dua minggu bertemu, Ma." "Habisnya jadwal kamu pulang malah digunakan berduaan dengan Scarla." "Mama kenapa bahas dia lagi. Toh, Scarla juga sudah meninggalkan apartemen." Fabio berdecak menjawab sindiran sang mama. Di hari yang sama dengan kepergian Scarla dari apartemen tempo hari, mamanya memang kembali menghubungi hanya untuk memastikan bahwa Scarla sudah ia kembalikan pada keluarganya. "Mama harap kamu tidak lagi melakukan hal yang sama. Meski kamu mengatakan jika Scarla hanya menumpang sebentar, tapi kita tidak tahu dengan yang ada di dalam pikiran Vero dan suaminya. Dikiranya kamu sudah apa-apakan anak mereka." Nasehat yang selalu Daisy dengungkan pada anak terakhirnya. Fabio ini lama tinggal di luar negeri dan Daisy sedikit banyak tahu bahwa pergaulan Fabio sedikit terkontaminasi dengan teman-temannya. Daisy paham betul akan hal itu. Namun, ketika putranya itu memutuskan untuk tinggal di Indonesia maka sebisa mungkin Daisy akan mengawasi agar putranya tidak salah jalan. Apalagi diusia yang sekarang Fabio belum juga membawa pasangan ke hadapannya. Sebagai seorang ibu tentulah kekhawatiran itu ada dan Daisy akan memastikan bahwa putranya berperilaku seperti apa yang keluarga harapkan. "Aku tahu itu, Ma. Mama jangan khawatir jika aku sampai mencoreng nama baik keluarga Limantara. Ya, sudah. Aku harus berangkat sekarang. I love you, Ma." "Love you too, dear. Hati-hati di jalan." Fabio mengulas senyuman. Apapun itu, Mama adalah segalanya. Wanita yang telah melahirkannya dan sangat menyayangi anak-anaknya. Tak hanya dia saja tapi juga kedua kakaknya. Diluar dari sikap mama yang terkadang masih menganggap para anak-anaknya ini belum dewasa sehingga apa-apa masih suka diatur segala. ••• Fabio memang menepati janjinya. Begitu weekend tiba pria itu memang pulang ke kediaman besar keluarga Limantara. Sampai di rumah ketika hari lewat tengah malam sebab sepulang dari kantor pria itu langsung menuju ke sana. Papa dan mama tak mengetahui kehadirannya karena yang membukakan pintu untuknya adalah pelayan yang dipekerjakan di rumah kedua orangtuanya. Langsung masuk kamar, membersihkan dirinya dan bersiap untuk istirahat. Sungguh Fabio merasa sangat capek dan lelah berkendara. Untung saja di rest area pria itu sempat membeli makan malam untuk menguysi perut yang keroncongan. Dari apartemen menuju rumah keluarganya memakan waktu sekitar dua jam lamanya dan itu cukup membuat punggungnya kebas dan pegal sebab berada di balik kemudi seorang diri. Hanya musik yang menjadi penemannya selama dalam perjalanan tadi. Tak butuh waktu lama untuk pria itu terlelap dalam tidurnya. Namun, mimpi indahnya harus berakhir ketika dirasakan kasurnya bergoyang-goyang disertai dengan suara teriakan yang memanggil namanya. "Uncle Bio. Ayo, bangun!" Mata Fabio mulai mengerjab dan merasa punggungnya berat tertimpa sesuatu. Saat ini posisi tidurnya sedang telungkup. Kesadaran belum pulih sepenuhnya ketika merasakan sapuan hangat napas seseorang di telinganya. "Uncle! Kenapa tidur terus. Ayo, bangun. Kita main." Senyuman Fabio terbit. Ia tahu siapa pemilik suara merdu yang begitu terdengar lembut di telinga. Sengaja ia masih berpura-pura tidur untuk menggoda keponakannya. Dan yap ... dengan sekali gerakan, Fabio memutar badan jadi tidur telentang. Menangkap tubuh mungil yang tadi nemplok di atas punggungnya. "Uncle!" pekik bocah itu karena terkejut akan ulah sang paman. "Kena, kau!" Fabio menangkap tubuh mungil itu, mendekapnya dan menggulingkan di atas ranjang. Tawa cekikikan terdengar menggema di dalam kamar. Mereka berdua paman dan keponakan jika sudah bergulat di atas ranjang maka suara hebohnya langsung terdengar sampai ruang makan. Aruna yang sedang membantu menyiapkan sarapan di atas meja pun hanya geleng-geleng kepala. Aruna Virginia adalah kakak ipar Fabio. Istri dari kakak kedua Fabio yang bernama Fabian Limantara. Sementara itu Fabian yang duduk di salah satu kursi menunggui istrinya, berdecak dan beranjak dari duduknya berniat memanggil putranya yang ada di dalam kamar sang adik. Namun, segera dilarang oleh Aruna. "Biarkan saja, Bi. Mungkin Atta sedang rindu dengan Uncle-nya." Atta adalah anak satu-satunya mereka. Bocah lelaki yang usianya sekitar lima tahunan. Fabian menurut dan kembali duudky di kursinya. Menunggu mama yang sedang memangil papa di dalam kamar. Ya, pagi ini di kala weekend sudah menjadi rutinitas Aruna serta Fabian mengajak putra mereka mendatangi rumah omanya. Mereka memang tinggal di rumah sendiri sejak sebelum Atta lahir. Hanya saja mereka memang rutin membawa Atta untuk menyambangi opa-oma, serta nenek kakeknya di kala hari libur tiba. Menjalin silaturahmi dengan kedua keluarga besar. "Heran, kapan anak itu akan menikah padahal jika aku lihat sudah pantas punya anak. Kamu dengar sendiri bagaimana mereka berdua yang jika bertemu selalu ada saja tingkah lakunya." Yang Fabian maksud adalah hubungan dekat antara Fabio dengan Atta. Meski mereka jarang bertemu, akan tetapi tak menyurutkan kedekatan keduanya. Fabio yang memang sangat menyayangi para keponakannya begitu dekat menjalin hubungan dengan mereka. Menjadi Uncle kesayangan para cucu keluarga Limantara. "Biarkan saja. Mungkin memang Fabio belum menemukan jodohnya." Aruna yang sejak menikah dengan Fabian sangat akrab dengan Fabio, selalu saja membela adik iparnya itu. Karena bagi Aruna pasti ada alasan tersendiri kenapa Fabio masih melajang hingga sekarang. Aruna sempat juga berpikir dalam hati, apa mungkin Fabio belum move on dari cinta masa lalu. Dulu, memang Fabio sempat menaruh hati pada Nirmala, adik kandungnya yang ternyata menikah dengan asisten Fabian. Dan terlihat jelas kala itu bahwa Fabio sangat patah hati karenanya. Mungkinkah Fabio masih kesulitan mengenyahkan rasa cintanya? Entahlah. Aruna tak paham dan tak berani menanyakan. Yang selama ini Aruna lakukan adalah mendoakan adik iparnya agar segera menemukan jodohnya. Menggantikan posisi Nirmala yang sudah hidup berbahagia bersama anak dan suaminya. "Kamu kan dekat dengannya, sayang. Coba tanyakan apakah dia sudah punya pasangan? Jika memang sudah suruh cepat-cepat mengenalkan pada keluarga. Jujur aku takut jika Fabio punya perilaku menyimpang mengingat di usia yang sekarang belum juga menemukan pasangan." "Hush, kamu itu, Bi. Jangan suka berpikir yang bukan-bukan. Seharusnya kamu ini mendoakan agar Bio lekas menemukan jodohnya." "Apa kita jodohkan saja?" Ide Fabian hanya ditanggapi Aruna dengan gelengan kepala. "Memangnya siapa wanita yang mau kamu jodohkan dengannya?" Fabian mengangkat bahu. "Belum tahu. Nanti aku carikan." "Jangan suka mencampuri urusan orang. Biarkan Bio mencari sendiri wanita yang dia inginkan." "Kamu ini selalu saja membela dia. Sebenarnya yang suami kamu ini aku atau Bio?" Aruna geleng-gelengkan kepalanya. Sejak dulu Fabian suka sekali cemburu jika melihat kedekatannya dengan sang adik ipar. Dan parahnya lagi Bio malah suka melihat kakaknya yang belingsatan sehingga sengaja makin menggodanya. Obrolan mereka terjeda akan kedatangan papa dan mama. Mereka duduk di kursi masing-masing. "Fabio sudah datang?" Johan Limantara bertanya. "Sudah, Pa. Sedang dibangunkan oleh Atta." Kali ini Aruna yang menjawab. Johan menganggukkan kepala karena memang lelaki tua itu sangat irit bicara. Bahkan Daisy tak berani bercerita pada suaminya pasal Scarla dan Fabio. Daripada nantinya mengundang tanya yang makin memperburuk suasana. "Kita tunggu Fabio sekalian." Putus Johan kemudian. Mereka akan sarapan bersama mengingat adanya Fabio yang juga pulang ke rumah hari ini. ••• "Selamat pagi, Ma ... Pa!" Fabio yang memasuki ruang makan dengan Atta dalam gendongan menyapa semua anggota keluarganya yang sudah berkumpul bersama di ruang makan demi menunggunya. Fabio sudah segar sehabis mandi. Untungnya ad Atta yang merecoki tidurnya jadi dia bisa ikut sarapan pagi ini bersama mereka semua. Mendudukkan sang keponakan di kursi dekat dengan Fabian dan Aruna. "Hai, kakak ipar!"sapanya pada Aruna sembari mengedipkan sebelah mata. Fabian yang melihat hanya melotot pada adiknya. "Kau tak mau menyapaku?" Fabio tergelak. "Selamat pagi kakakku yang paling tampan sedunia? Apa kabarmu, bro!" "Ck, kau ini. Sudah sana duduk." Fabio menyeret kursi dekat dengan mamanya. Mencondongkan wajah untuk dapat mencium pipi wanita yang telah melahirkannya itu. "Jam berapa kamu pulang semalam?" Johan bertanya. "Lewat tengah malam, Pa. Karena semalam aku harus lembur dulu. Baru setelahnya langsung perjalan pulang." "Jika capek sebaiknya kau jangan memaksakan diri menyetir. Ada baiknya pulang apartemen dan tidur. Baru paginya kau bisa pulang." Nasehat Jodi yang sebenarnya sangat perhatian. "Iya, Pa. Lain kali aku tak akan memaksakan diri." Mereka mulai dengan acara makan pagi yang biasanya sepi karena hanya ada pasangan Johan dan Daisy, sekarang begitu ramai terutama dengan celotehan Atta. "Bio, nanti malam ikut kami, ya. Kamu jangan ada acara apa-apa," titah Daisy yang membuat kening Fabio mengernyit. "Ikut ke mana?" "Ke rumah Vero. Keluarga kita diundang dalam acara tasyakuran empat bulan kehamilannya." "Oh. Kak Runa dan Kak Bian ikut juga?" "Iya. Kita semua diundang. Makanya mama ajak kamu sekalian. Selagi kamu pulang." Fabio hanya menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Aku akan ikut kalian."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD