"Sejak kapan kamu aku izinkan keluar dari rumah? Apa kamu meminta ijin dariku!" teriak Rangga yang balik bertanya ke Anggi untuk mengalihkan cerita dengan nada yang cukup kencang.
"Tidak usah mengalihkan pembicaraan, Mas. Kamu tinggal jawab pertanyaanku saja. Apa hubunganmu dengan Dina. Kamu tahu dia itu sahabatku tapi kenapa kamu tega, mengkhianati aku, Mas. Apa salahku padamu, sampai membuatmu menghianatiku dan dengan sahabatku sendiri!" teriak Anggi balik membuat Rangga naik pitam
Plak!
Tamparan Rangga yang cukup keras hingga membuat kepala Anggi yang tadinya menghadap Rangga harus miring ke samping dikarenakan kuatnya tamparan Rangga di pipi kanannya. Sudut bibir Anggi mengeluarkan darah, tangan Rangga terlihat bergetar karena dirinya sudah menampar Anggi dan ini pertama kalinya dia melakukan hal itu.
Anggi menoleh perlahan sambil memegang pipinya dan mengusap darah yang ada di sudut bibirnya. Dan Anggi berusaha tersenyum menatap Rangga yang terlihat sedikit panik. Tapi, Rangga berusaha bersikap setenang mungkin agar tidak membuat Anggi mendapatkan celah melawannya balik.
"Kamu menamparku, Mas? Dan ini kali pertama kamu melakukan itu, apa perempuan itu sudah berhasil merubahmu. Kamu sampai lupa janjimu dulu yang tidak akan pernah menyakitiku, sekarang bukan hanya hatiku yang kamu sakiti. Kamu bahkan berani menamparku," tukas Anggi menatap tajam suaminya.
"Diam kamu! Harusnya kamu ngaca dan introspeksi diri, kenapa aku menampar kamu. Istri yang baik dan soleha itu tidak membangkang terhadap suaminya dan menuduh suaminya selingkuh." Rangga balik menyalahkan Anggi yang telah menudingnya selingkuh.
Senyum mengejek terlihat di sudut bibir Anggi yang terluka. Rangga yang melihat senyum Anggi mengepalkan tangannya.
"Aku pembangkang? Sejak kapan aku jadi pembangkang? Sejak kapan, hah! Aku berhenti kerja karena permintaan kamu, aku diharuskan mengabdi jadi istri seutuhnya juga karena kamu, sekarang kamu katakan aku pembangkang. Kamu harusnya berpikir, Mas. Aku seperti ini juga karena kamu, karena kamu!" pekik Anggi yang sudah tidak tahan dengan semua beban yang dia rasakan di dalam hatinya.
Rangga yang tersulut emosi mengangkat tangannya dan mencengkram rahang Anggi hingga Anggi merasakan rahangnya sakit.
"Eh, perempuan tidak tahu diri. Dengar baik-baik, jangan ikut campur urusan aku. Aku ingin pergi dengan siapa, tidur dengan siapa, aku mau pulang atau tidak sekalipun, itu urusanku. Jadi, kamu sebagai istri hanya harus patuh kepada suami kamu, jika tidak ...." Rangga menghentikan ucapannya sejenak.
Tatapan keduanya saling bertubrukan, amarah jelas di mata keduanya. "Jika tidak apa? Kamu mau ceraikan aku dan pergi dengan perempuan jalang itu? Iya! Kamu mau bersama dengan dia?" tanya Anggi dengan suara yang tercekat akibat cengkraman tangan Rangga yang cukup kuat.
Rangga melepaskan tangannya dengan kasar hingga Anggi terhuyung ke belakang. Rangga meninggalkan Anggi tanpa sepatah kata pun.
Rangga melangkahkan kaki menuju kamar tamu dengan cepat Rangga membuka kenop pintu dan masuk dengan membanting pintu dengan cukup keras. Hingga Anggi terlonjak mendengar suara pintu yang tertutup kencang.
"Kenapa Mas, kenapa harus dia yang kamu pilih. Dia sahabatku!" Tangis Anggi pecah dia menumpahkan semua rasa sakit di hatinya begitu saja.
Rangga tidak peduli mendengar jeritan Anggi. Rangga yang berada di dalam kamar tamu hanya diam mendengar Anggi yang menangis dan berteriak tidak ada sedikit pun niatnya untuk menenangkan Anggi.
"Aku harus segera menceraikan dia, wanita itu sudah tidak berguna lagi. Dia selalu membuat aku tidak nyaman di rumahku sendiri. Aku terlalu malu untuk mengakuinya sebagai istri. Sial, kenapa aku nikahi dia dulu," rutuk Rangga yang mengumpati dirinya karena terlalu bodoh menikahi Anggi.
Suasana rumah menjadi hening, tidak ada lagi suara tangisan Anggi, Rangga menoleh ke belakang dia ingin lihat apakah Anggi baik-baik saja atau bunuh diri.
"Apa yang perempuan itu lakukan, kenapa sudah tidak ada suara tangisan dia. Apa dia bunuh diri? Akhh, terserah ngapain aku memikirkan wanita tidak berguna itu. Lebih baik aku tidur dari pada memikirkannya," cicit Rangga yang melangkahkan kaki ke ranjang dan merebahkan dirinya.
Tidak butuh waktu lama, Rangga sudah tertidur pulas sedangkan Anggi masih di luar dan terdiam. Tubuh Anggi luruh ke bawah dirinya tidak sanggup lagi untuk berdiri akhirnya Anggi menjatuhkan dirinya ke ubin lantai dan tertidur.
Esok harinya, Rangga bangun lebih awal. Saat membuka pintu, terlihat olehnya Anggi tertidur di lantai. Langkah kaki Rangga mendekati Anggi yang tertidur dengan mata bengkak.
"Coba lihat pemalas ini, suaminya sudah bangun, dia masih tidur." Rangga mencibir Anggi yang masih tertidur.
Rangga tidak memperdulikan Anggi dan balik ke kamar untuk segera mandi dan berangkat kerja. Anggi perlahan membuka matanya melihat kepergian Rangga yang tidak memperdulikan dirinya.
"Apa aku tidak ada dihatimu lagi hingga sikapmu seperti ini. Apa kesalahanku di matamu, Mas. Hingga kamu berkhianat di belakangku," ucap Anggi pada dirinya.
Anggi menghapus air matanya, segera dia bangun dan berjalan ke arah dapur. Hari ini Anggi akan membuat sarapan untuk dirinya sendiri. Dia lelah untuk bersikap baik dengan pria yang berstatus suami. Masa bodoh dengan sikap dan penilaian dari Rangga toh dirinya sudah tidak dipedulikan lagi.
Rangga yang masih di dalam kamar, mencium aroma yang sangat wangi hingga cacing di dalam perutnya berbunyi untuk di isi.
"Euhmm, wangi sekali. Dasar tidak tahu malu, dia mau membujuk aku dengan masakkannya. Dia pikir aku akan memaafkan dia, tidak akan. Aku punya harga diri," cicit Rangga yang menduga jika apa yang Anggi lakukan hari ini untuk membujuknya.
Rangga dengan percaya dirinya berjalan menuju pintu dan membuka kenop pintu. Saat berada di luar, Rangga melangkahkan kaki menuju meja makan yang kosong.
'Tadi aku mencium aroma makanan, tapi kenapa di meja ini tidak ada. Aku yakin sekali itu makanan kesukaan aku yang sering di suguhkan oleh Anggi, tapi kenapa tidak ada' bathin Rangga yang tidak menemukan makanan sama sekali di meja.
Rangga melangkah kaki menuju dapur. Saat langkah kakinya berhenti di sisi pembatas dapur, Rangga mencondongkan kepalanya untuk mengintip dan terlihat Anggi sedang menikmati makanannya. Nasi goreng pedas dengan telur dadar di santap Anggi tanpa peduli sedikit pun dengan dirinya yang keroncongan.
'Istri tidak tahu diri, apa seperti ini ajaran orang tuanya, mengabaikan tugas untuk melayani suaminya.' bathin Rangga.
Rangga benar-benar murka karena melihat Anggi yang tidak peduli dengan dirinya. Rangga yang sudah emosi keluar dari persembunyian dan menatap Anggi dengan tajam.
"Coba lihat ini, makan sendiri, semuanya serba sendiri, tidak sedikitpun kamu memikirkan aku. Pantas saja aku tidak betah, kelakuan kamu yang tidak menghargai aku sebagai kepala keluarga. Itu lah kenapa aku tidak betah di rumah dan memilih wanita lain, karena lihat lah mempunyai istri yang kurang ajar dan tidak patuh terhadap suaminya." Rangga berusaha menumpahkan kesalahan pada Anggi.
Mendengar perkataan Rangga, Anggi hanya bisa diam, dia terlalu malas untuk ribut. Masih pagi pikirnya dan dia tidak mau tetangga mendengar keributan mereka. Tidak mendapatkan respon dari Anggi, Rangga memilih untuk pergi dan melampiaskan kekesalannya dengan meninju dinding dapur.