Chapter 2

1037 Words
BAB - 2 Sumi mengusap wajahnya yang basah. Menatap Bapak dengan pandangan sedih dan nanar. Apa lagi salahnya? Bahkan sejak pagi sudah susah payah memasakkan untuk keluarga calon suami Intan. Namun kenapa kini malah dirinya yang kembali disalahkan. Sumi menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca. Suaranya gemetar ketika bertanya. “Kenapa Bapak gitu, Pak? Aku dari tadi di sini … kenapa Bapak nyalahin aku?” Bapak membuang muka. Dia memutar tubuh dan meninggalkan Sumi tanpa kata. Dibantingnya pintu itu sehingga Sumi pun terkejut dibuatnya. Sumi mengelus d**a, berharap sesak ini hilang. Namun usianya yang baru Sembilan belas tahun belum cukup mampu bersikap dewasa. Sumi berlari ke kamar dan menumpahkan tangisnya di sana. Sumi masih terisak ketika derit pintu terdengar. Intan muncul dengan mata merah. Mereka tidur se kamar karena rumah mereka hanya ada dua kamar. Sumi menoleh pada adiknya yang tampak habis menangis juga. “Dek, apa yang terjadi? Kenapa Bapak nyalahin teteh, apa kamu beneran batal lamaran?” Sumi mengusap air mata dan menatap wajah cantik Intan yang mendung. Namun jawaban Intan yang biasanya lembut, mendadak ketus. Kedua bola matanya melirik penuh kekesalan. “Sudah deh, Teh! Gak usah sok baik! Ardi itu cintanya sama Teh Sumi bukan sama aku. Kenapa Teteh gak bilang, kenapa Teteh mempermalukan aku? Aku malu, Teh! Teman-teman semua sudah tahu kalau hari ini aku lamaran, tapi nyatanya Ardi membatalkannya, dia mengharapkan Teteh untuk jadi istrinya! Aku benci Teteh!” Intan menjelaskan sambil terisak. Hatinya hancur mendapati semua kenyataan di depan mata yang menyesakkan. Sumi menggeleng. Hatinya yang sakit tambah tersayat. Kenapa semua kini jadi menyalahkannya. Bahkan adik yang disayanginya dan biasa menghormatinya pun berucap demikian. “Dek!” Sumi mendekat dan hendak memeluk Intan. Namun tangan Intan menepisnya. “Mulai hari ini, jangan panggil aku Adek!” Intan melengos pergi dan membanting pintu kamar. Sumi menghela napas. Kembali ditangkupnya wajahnya dan membiarkan semua sesak ini tumpah. Kenapa kini semua jadi salahnya? Pikirannya yang kacau akhirnya abai, rencananya ke rumah Tita pun hampir batal . Dia membuarkan sesak itu menguap bersama tangisan. Ibu berkali-kali datang menghiburnya. Pelukannya sedikit membuatnya tenang. “Sudah, Teh … jangan diambil hati. Maafin sikap Bapak sama Intan. Teteh jangan sedih kayak gini, dong! Ibu sedih kalau Teteh nangis terus!” tukasnya sambil menyeka matanya yang ikut berkaca-kaca. Ya, selama ini Sumi lebih dekat dengan Ibu, sedangkan Intan lebih dekat dengan Bapak. Bahkan Intan sangat dekat. Sumi memeluk Ibu, menumpahkan kembali sesak yang ada hingga dering gawai membuatnya sadar jika ada janji hari ini dengan Tita. Dilihatnya ada pesan masuk dari Tita. [Aku sudah di rumah! Ditunggu ya, sekarang!] Sumi melepas pelukannya pada Ibu. Dia menyeka air mata, lalu mengambil amplop lamaran yang masih menumpuk di dalam laci. “Mau ke mana?” Ibu menatapnya. Sementara itu, sejak tadi Asril bermain-main sendirian bolak-balik ke ruang tengah. Dia hanya melihat ibu dan kakaknya menangis dan tak mengerti harus bertanya atau berbuat apa. “Mau ke rumah Tita! Ada lowongan katanya!” tukas Sumi sambil mengambil cardigan warna abu. Dia lalu mencium punggung tangan Ibu. “Doain Sumi, ya, Bu! Moga keterima kerja kali ini! Malu sama Bapak,” ucap Sumi. Setiap mengingat ucapan Bapak yang menyebutnya tak berguna, dirinya semakin minder dan jatuh dalam kepercayaan kalau dirinya memang benar-benar tak berguna. “Iya, Teh! Semoga lekas dapat kerja! Jangan terlalu dipikirin omongan Bapak! Ibu gak mau Teteh sakit.” Ibu mengusap pucuk kepala Sumi. Sumi berjalan meninggalkan rumah menuju rumah Tita. Rumah itu tak terlalu jauh , tetapi lumayan membuatnya berkeringat. Menyusuri jalanan aspal yang rusak sambil menunduk mencoba menepis rasa sakit yang masih tersisa. Setibanya di rumah Tita, diserahkannya lamarannya itu padanya. “Kamu yakin itu gak pakai tinggi badan?” Sumi menatap Tita. Tita tersenyum sambil menarik tangannya mengajak duduk pada bangku panjang di depan rumahnya. Rumah Tita cukup besar, terdiri dari empat kamar dan di depannya ada pohon mangga yang rindang. Ayah Tita memiliki sawah yang luas. Ketika pembebasan lahan oleh developer Kawasan industry dia menjual semuanya dengan harga tinggi dan membeli lagi di daerah yang agak jauh sehingga punya dua kali lipat luasnya. Semua sawahnya diurus orang, mereka hanya menunggu hasil panen saja pada setiap musim tanam. “Biasanya di sana pakai tinggi badan, sih! Minimal 155 senti!” tukas Tita. “Lah, terus?” Sumi menatap takut-takut. Khawatir jika dia kembali akan gagal karena tinggi badan. “Sekarang lagi ada perombakan system. Jadi mereka sedang menerima kedi part time … nah, karena butuh banyak dan kebetulan aku ada kenalan orang dalam, jadi bisa nitipin kamu!” tukas Tita lagi dengan yakin. “Syukurlah! Moga bisa!” Sumi tersenyum penuh harap. “Tapi ada syaratnya!” tukas Tita. “Apa?” Sumi menatap. “Ya, nanti kalau kamu sudah lolos training … kamu ngasih lah ucapan terima kasih sama orang kenalan aku itu! Gak usah besar sih, yang penting ada saja!” tukas Tita menjelaskan. Sumi mengangguk paham. Semoga dia bisa mengumpulkan uang dulu dan diberikan pada orang itu nanti. Sumi berjalan pulang dengan hati sedikit tenang, jika sudah kerja dia akan mengontrak saja. Tinggal di rumah hanya membuat luka hati setiap hari. Apalagi kini Intan pun tampak membencinya. Tak ada alasan lain lagi untuknya tinggal di rumah itu lebih lama. “Sumi!” Suara seseorang memanggilnya dari samping seraya berhentinya sebuah sepeda motor. Sumi menoleh pada lelaki yang tersenyum padanya. Ardi ada di sana sambil menatapnya. “Ardi?” Sumi menautkan alis dan menatap lelaki yang tersenyum padanya itu. “Sum, kamu mau ya nerima lamaran aku?” tukasnya enteng. Sumi membuang muka. Semudah itu lelaki yang ada di depannya bersilat lidah. Plin plan dan tak punya pendirian. “Kamu kenapa mainin Intan? Kamu pikir kami ini apaan? Seenaknya kamu gonta ganti orang!” bentak Sumi. Hilang sudah kelembutannya. Sumi berjalan meninggalkan lelaki itu yang mematung sendirian. Setengah berlari agar lebih cepat sampai rumah, tetapi rupanya Ardi mengejarnya. Ketika dia tiba di depan rumah, Ardi pun menghentikan sepeda motornya. Ada Bapak yang menatap tajam padanya. “Kamu itu bener-bener, ya! Kamu sengaja mau nyakitin adik kamu dengan jalan sama dia?!” Bapak menatap penuh amarah pada Sumi. “Aku gak jalan sama Ardi, Pak. Dia yang ngikutin aku!” tukas Sumi sambil menatap kesal pada Ardi. Lelaki itu malah turun dan mendekat. “Pak, kenapa Bapak nolak lamaran aku buat Sumi? Ternyata setelah kutanyakan pada hati, aku sukanya sama Sumi, Pak … bukan sama Intan! Kan sama-sama jadi mantu Bapak, kenapa harus dibeda-bedakan?” Ardi melempar komplen. “Sumi itu sudah saya sekolahkan SMA, saya keluarkan modal untuk sekolah! Jadi sebelum balik modal, dia gak boleh nikah dulu … kecuali, kamu mau ganti semua uang yang saya keluarkan buat nyekolahin dia!” Bapak bicara lantang, tega dan jelas. Membuat Sumi semakin benci tinggal di rumah itu. Dia berlari menuju kamar sambil menangis. Kenapa semua itu dianggapnya utang yang harus dilunasi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD