BAB-3
“Sumi itu sudah saya keluarkan modal untuk sekolah! Jadi sebelum balik modal, dia gak boleh nikah dulu … kecuali, kamu mau ganti semua uang yang saya keluarkan buat nyekolahin dia!”
Bapak bicara lantang, tega dan jelas. Membuat Sumi semakin benci tinggal di rumah itu. Dia berlari menuju kamar sambil menangis. Kenapa semua itu dianggapnya utang yang harus dilunasi?
Sementara itu, Ardi melajukan kembali sepeda motornya, tak hendak berdebat lebih lama. Memang awalnya dia yang salah, akan tetapi entah kenapa setelah melihat Sumi lagi, hatinya memang tak menginginkan intan. Dia tak menyadari jika karena ulahnya kini Sumi tengah mendapatkan perlakuan tak menyenangkan oleh lelaki yang sejak kecil selalu Sumi panggil Bapak.
Entah kenapa Bapak itu seakan hanya sayang pada Intan, apa karena Intan mengalah untuk tak sekolah? Kalau Sumi tahu akan jadi seperti ini, mungkin lebih baik dulu dirinya berhenti saja dan membiarkan takdir menentukan jalan hidupnya. Awalnya dia berkeras ingin melanjutkan sekolah karena ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga. Sumi kasihan pada Ibu yang selalu harus kerja banting tulang.
Suara derit pintu terdengar. Sumi menoleh dan tampak Intan yang cemberut. Dia memasang wajah tak menyenangkan, jalan lurus dan tak menyapanya. Dia melewatinya begitu saja.
Intan langsung menuju lemari yang dibuat untuk menyimpan pakaian mereka berdua dan memasukkan beberapa potong pakaian itu ke dalam tasnya. Sumi mendekat dan bertanya padanya.
“Tan, kamu kok beresin pakaian?”
Pertanyaan Sumi hanya dianggap angin lalu. Tak ada jawaban dari mulut Intan. Sumi duduk di tepi ranjang dan kembali bertanya. Entah kenapa perih rasa dari ucapan Bapak, bertambah sakit melihat sikap Intan yang cuek padanya.
“Tan, kamu jangan gini dong ke Teteh? Salah Teteh apa?” Sumi menarik lengan Intan. Rasanya sakit sekali diperlakukan demikian.
Namun Intan menepisnya. Dia berpindah pada meja rias. Diambil semua perlengkapan makeup nya. Lalu tanpa kata dia bergegas keluar kamar dan membanting pintu dengan keras.
“Ya Allah, kenapa semua orang seakan memusuhiku? Apa salahku? Aku tak melakukan apa-apa tapi kenapa harus menanggung semua ini?” Intan menyeka air matanya yang kembali luruh.
Di luar terdengar deru sepeda motor yang menjauh. Apakah Intan pergi karena tak ingin lagi berbagi kamar dengannya? Kenapa dirinya merasa seakan sendirian dan tak punya sandaran. Kadang Sumi sangat berharap lelaki yang dipanggil Bapak itu menatapnya penuh sayang seperti yang dia lakukan pada Intan dan Asril, tetapi tak pernah. Bagi Bapak, dirinya seolah benalu yang menumpang.
***
Hari itu Sumi tersenyum ketika mendapatkan sebuah panggilan interview dari Golf Club. Meskipun di kampung Sumi ada beberapa konotasi negatif tentang pekerjaan itu, tak melunturkan tekad Sumi. Itulah pekerjaan yang kini diharapkannya agar tak selalu dihina Bapak.
Sumi berharap dirinya bisa segera punya uang sendiri sehingga bisa ngontrak dan meninggalkan rumah agar Intan bisa kembali pulang dan Bapak tak selalu memandangnya kesal. Sudah berhari-hari Intan menginap di rumah temannya untuk menghindarinya dan membuat tambahan biaya karena harus kasih uang makan.
[Ta, tapi aku pakai apa, ya ke sananya? Gak ada angkutan umum ‘kan?] Sumi mengirim pesan pada Tita.
[Hmm … iya gak ada! Bentar aku hubungi Zaki dulu. Biar dia anter kamu!] balas Tita cepat.
Sumi terdiam. Ya, dia ingat Zaki teman sekolahnya dulu yang sempat minta dicomblangin ke Tita. Namun kini mereka sudah tak pernah berhubungan dan Tita sudah punya pacar lagi katanya.
[Eh, kamu gak apa hubungi Zaki, Ta? Pacar kamu gimana?] Sumi khawatir membuat masalah untuk Tita.
[Hahaha. Dah, lah! Kamu nurut saja biar Zaki yang anter!] tulis Tita cepat. Dia gak bilang, jika sebetulnya yang Zaki sukai adalah Sumi, bukan dirinya. Zaki takut Sumi membencinya karena dia pernah mendengar jika Sumi suka lelaki yang religius dan dewasa, sedangkan dirinya kebalikannya.
[Ok.] Itulah jawaban Sumi pada akhirnya.
Hari yang dinanti, tiba. Sumi yang sudah mengenakan pakaian hitam putih dan menunggu Zaki di depan rumah setelah mencium tangan Ibu meminta restu. Ibu memeluk dan mendoakannya, semoga Sumi bisa keterima kerja. Katanya lapang golf itu baru buka, jadi butuh banyak sekali kedi.
Tak berapa lama, Zaki datang dengan sepeda motornya. Lelaki yang terkenal selengehan dan asbun ketika berbicara itu selalu berbeda ketika berhadapan dengan Sumi. Dia jadi suka tampak kikuk dan gugup. Meskipun memang kalau ngomong masih suka asal ceplos.
“Assalamu’alaikum, Umi!”
“Wa’alaikumsalam!”
Sumi dan Ibu yang tengah berada di teras menoleh. Sumi berpamitan sekali lagi pada Ibu. Namun baru saja Sumi mendekati Zaki, lelaki itu malah mematikan sepeda motornya dan turun.
“Eh, mau ke mana?” tanya Sumi heran.
“Pamit dulu sama calon ibu mertua!” ucapnya sambil tersenyum tengil.
“Eh?” Sumi melongo. Namun Zaki tetap berjalan santai dan mencium punggung tangan Ibu.
“Pamit, Bu! Doakan lancar hingga sampai ke KUA! Eh, ke tujuan maksudnya!” tukasnya sambil cengengesan.
“Iya, hati-hati ya, Zaki bawa motornya!” tukas Ibu. Zaki tersenyum dan mengangguk.
Dia berjalan mendekat dan membetulkan jaketnya. Lalu menyalakan sepeda motornya dan meminta Sumi naik.
“Umi, ayo naik!” tukasnya.
Dia menyodorkan satu helm yang dibawa pada motor bebeknya itu.
“Kok umi, sih?” Sumi melempar komplen sambil tangannya memakai helm yang diberikan oleh Zaki.
“Kan biar mesra, Umi dan Abi Zaki!” kekehnya.
Sumi hanya tersenyum simpul dan menggelengkan kepala. Sudah lama tak ketemu Zaki semenjak lulus. Namun dia tak pernah berubah. Sengkleknya masih sama.
“Sudah?” tanya Zaki sambil menoleh pada spion.
Dia menatap senyuman Sumi yang mendengar ocehannya. Wajah manisnya tampak sedikit bersinar karena mendung itu sedikit terusir oleh candaan.
“Sudah!” tukas Sumi datar. Dia membetulkan helm yang dipakainya.
“Ya sudah, turun!” tukasnya datar.
“Kok?” Sumi sudah mulai kesal.
“Katanya sudah?” Zaki terkekeh.
“Lah ‘kan kamu nanya!” timpal Sumi lagi.
“Hahaha, iya ayo kita pergi … semoga selamat sampai KUA!” tukasnya sambil melajukan sepeda motornya. Sumi tertawa, melupakan sejenak sesak yang menimpanya.