Bab 38 Conan Lorenzo

1530 Words
Entah kenapa, tiba-tiba saja perasaan Yana menjadi tidak enak. Matanya melirik ke arah kaca spion dan terkejut melihat pelat mobil yang tidak asing baginya. Ketika dia mengedipkan mata, mobil itu tiba-tiba menghilang dari pandangannya. "Apakah aku hanya berhalusinasi?" gumamnya dalam hati, merasa jantungnya berdebar cepat. "Ada apa? Kenapa kamu tampak pucat?" tegur Ryan, meliriknya sekilas karena merasa wanita itu seketika menjadi tegang. "Tidak, tidak ada apa-apa," Yana terkekeh canggung, menggeleng cepat. "Mungkin hanya terlalu lelah dengan kejadian hari ini." "Masuk akal. Baiklah, kalau begitu, istirahat saja. Kamu boleh tidur sebentar. Aku akan membangunkanmu saat kita sudah sampai di sana." Yana memang sangat lelah dan sepertinya butuh tidur untuk menenangkan pikirannya. Maka dia pun mengangguk setuju, lalu bersandar ke jendela dengan mata perlahan terpejam. Dia benar-benar kelelahan sampai salah mengenali mobil yang ada di luar sana. Kalau itu adalah Kafka, dia benar-benar dalam masalah besar. Tetapi untunglah, dia hanya salah lihat. Tidak berapa lama kemudian, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah makan bergaya Barat. Karena Ryan telah melakukan reservasi terlebih dahulu, seorang manajer segera datang menyambut dan mengarahkan mereka ke sebuah tempat pribadi. "Silakan, Tuan dan Nyonya. Jika sudah memutuskan untuk memesan sesuatu, tolong beritahu kami," kata manajer tersebut, sangat sopan. Kedua orang itu mengangguk cepat, lalu berjalan bersama menuju ruangan yang telah ditunjukkan. "Apakah kamu sudah lama menunggu?" tanya Ryan kepada orang yang sudah ada di dalam sana. "Ya," jawab seorang pria tampan berpakaian kasual. Yana mengerjapkan mata melihat pria itu. Dia mencoba untuk tersenyum lembut, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. Entah kenapa, dia tersipu malu dan merasa sedikit canggung. Wow! Dia sangat tampan! Ryan Wilson segera memperkenalkan mereka sambil menarik Yana untuk mendekat. "Kenalkan, namanya resminya adalah Conan Lorenzo, keturunan Amerika-Indonesia. Dia sudah lama tinggal di luar negeri dan baru-baru ini pulang ke Indonesia untuk ikut terlibat dalam pengembangan program kesehatan." Conan berdiri dari duduknya, mengulurkan tangan dengan wajah tersenyum tampan. "Halo, salam kenal. Aku adalah Conan Lorenzo. Aku sudah mendengar tentangmu. Namamu adalah Yana Jazada, bukan?" Yana mengangguk cepat, lalu menjabat tangan yang diulurkan kepadanya. "Panggil saja Yana. Salam kenal." Conan tersenyum lebar. Dia adalah pria bertipe dingin yang memakai kacamata dengan bingkai emas tipis. "Senang berkenalan denganmu juga, Yana." Ryan Wilson menepuk sebelah bahu Conan dengan gaya bersahabat. "Ayo, duduk dulu, pria besar!" ucapnya dengan nada jenaka. Yana melirik diam-diam ke arah pria berkacamata. Dia memiliki tubuh tinggi dan sangat proporsional. Bahunya lebar dan pinggangnya ramping. Dia benar-benar definisi kesempurnaan pria sejati. Bisa dibilang, nilainya bisa menandingi Kafka Bimantara. Entah kenapa, tiba-tiba saja Yana membayangkan mantan suaminya memakai kacamata seperti itu. Pasti pesonanya akan meningkat berkali-kali lipat! "Hei, jangan melamun saja. Aku tahu dia itu sangat tampan. Jangan membuatku merasa patah hati. Aku juga memiliki wajah tampan, loh!" goda Ryan yang duduk di sebelahnya. Yana tersenyum canggung. "Kamu bicara apa? Aku hanya berusaha untuk bersikap ramah, ingin mengingat wajahnya. Kalau aku lupa wajahnya bagaimana?” Ryan tertawa terbahak-bahak, menepuk meja sembari berpura-pura mengusap sudut matanya yang tidak berair. "Yana, kamu ini lucu sekali! Orang setampan itu, bagaimana bisa kamu melupakannya dengan mudah?" Conan hanya tersenyum lembut ke arah Ryan, tidak mengucapkan apa pun. "Ada apa? Apakah aku sudah bicara terlalu banyak?" lanjut Ryan dengan nada menggoda. Yana hanya bisa menghela napas berat, menatap Ryan dengan tatapan putus asa. "Kalau kamu hanya ingin menggodaku, mungkin sebaiknya aku pergi saja." "Tidak, tunggu dulu! Baiklah, maafkan aku!" kata Ryan cepat. Dia segera mengalihkan percakapan ke topik yang lebih serius mengenai pengobatan yang sedang dikembangkan oleh Conan. "Jadi, seperti itu. Bagaimana, apakah kamu bersedia menjadi kelinci percobaannya?" Yana mengerutkan kening, menatap pria berkacamata di seberang meja. Conan menanggapi dengan nada yang lebih lembut. "Yana, kamu bisa mempertimbangkannya selama seminggu. Tetapi perlu diingat, semakin cepat kita memulai pengobatan, semakin baik hasilnya. Untuk masalah biaya, jangan khawatir, aku akan membantumu. Selama kamu bersedia menjadi kelinci percobaan untuk pengobatan terbaru kami, ini adalah kesempatan bagus untukmu. Bisa dibilang, tidak ada biaya yang perlu kamu keluarkan." "Bagaimana dengan efek sampingnya?" tanya Yana cemas. "Aku tahu kamu akan bertanya seperti itu. Jangan khawatir. Kami sudah melakukan uji coba sebelumnya dan aku akan mengawasi semua perkembanganmu. Jika ada ketidakcocokan terhadap obat kami, kita akan langsung berhenti," jelas Conan meyakinkan. "Dokter Conan, baru-baru ini saya mencoba obat baru yang ternyata tidak cocok. Saya mengalami muntah darah dan tubuh saya sangat lemas. Kalau harus melalui hal seperti itu lagi, sepertinya saya tidak akan sanggup. Mungkin malah membuat penyakit saya semakin parah," ucap Yana dengan nada khawatir. Conan mengelus dagunya pelan, menatap Yana dengan serius. "Bagaimana kalau aku pelajari kasusmu terlebih dahulu? Aku tidak bisa menilai apakah kamu cocok atau tidak hanya dari satu kali uji percobaan. Kalau hanya bertaruh tanpa persiapan matang, risikonya terlalu besar. Namun, seperti yang kamu katakan sebelumnya, jika ada efek samping seperti itu, kita harus lebih berhati-hati memilih dalam melangkah." "Hei, Conan. Aku tahu kamu sangat berambisi dalam pengembangan obat yang luar biasa ini. Tapi, kalau risiko yang harus ditanggung terlalu besar, bukankah itu justru terlalu berbahaya?" sela Ryan dengan nada khawatir. Conan tersenyum tipis, menatap Ryan dengan sedikit mengejek. "Kamu tidak bilang kalau dia sempat muntah darah karena mencoba obat baru. Kenapa malah menyalahkanku sekarang?" Ryan tersenyum canggung, lalu melirik Yana yang menatapnya dengan tidak percaya. "Jangan salahkan dia, dokter Conan," potong Yana cepat, membalas senyum tipis Conan dengan tenang. "Panggil saja Conan, tanpa embel-embel dokter. Saat kamu memanggilku begitu, bukankah itu tanda kita sudah teman? Teman Ryan juga adalah temanku," ujar Conan tulus. Yana tersipu malu. Dia tidak pernah membayangkan akan memiliki teman setampan dokter Conan. Selama setengah jam ke depan, mereka membahas banyak hal mengenai penyakit Yana. Setengah jam berikutnya, mereka berbicara tentang persahabatan Conan dan Ryan serta prestasi sang dokter selama di luar negeri. Mereka bertiga makan dengan lahap sambil berbincang santai ketika makanan hampir habis. "Yana, makanlah ini. Kamu harus menjaga tubuhmu," ujar Ryan sambil menyodorkan lauk. Yana tersenyum lebar dan mengangguk serius, menerima lauk dari Ryan. Pria di seberang meja juga tidak tinggal diam, dia segera menambahkan lauk ke mangkuk Yana. "Kamu harus menjaga asupan gizimu dengan baik. Jika kamu harus menjalani kemoterapi lagi, tubuhmu tidak akan sanggup kalau kamu sekurus lidi," ucap Conan dengan nada setengah bercanda, tapi tetap serius. Kata-kata Conan terasa cukup menggelikan, tetapi memang benar adanya. Jika dia harus menjalani kemoterapi lagi, selera makannya akan sangat terganggu dan akan mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis. Yang paling parah, rambutnya akan mulai rontok satu per satu. Saat sudah seperti itu, dia tidak akan punya pilihan lain selain harus memotong semua rambutnya untuk kedua kalinya. Ya, bukan pertama kalinya Yana harus menggunduli kepalanya. Pada tahun kedua pernikahannya, Yana pernah menjalani sesi kemoterapi beberapa kali. Karena merasa sangat ketakutan setiap kali melihat rambutnya rontok, dia memilih untuk mencukurnya sampai habis. Sejak saat itu, Yana selalu meninggalkan rumah dan terpaksa membiarkan rumah tangganya semakin terabaikan karena harus menjalani pengobatan sendirian dengan alasan pekerjaan. Dia hanya pulang sesekali untuk menemui keluarga dan melihat keadaan Kafka. “Apakah kamu sudah memiliki rambut palsu?” tanya Ryan Wilson ketika hidangan penutup dihidangkan ke ruangan tersebut. “Rambut palsu?” Yana mengerutkan kening. Ryan mengangguk. “Ya, bukankah kamu akan mencukur habis rambutmu? Atau mungkin kamu tidak berniat melakukannya? Apakah kamu masih punya koleksi rambut palsu sebelumnya?” Yana tersenyum saat mendengar pertanyaannya. “Tidak, aku tidak punya rambut palsu lagi.” “Oh, benar juga. Mungkin sudah lama sekali, ya? Aku tidak akan heran kalau kamu sudah membuangnya atau menjualnya. Kalau kamu mau membeli rambut palsu yang bagus, biasanya memang harganya tidak main-main,” kata Ryan sambil bercanda. “Penampilan seorang wanita sepertimu, kan, nggak mungkin sederhana. Tapi, sayangnya, kondisi finansialmu sekarang sedikit terganggu.” Yana hanya bisa tersenyum kecut, tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Conan segera menengahi pembicaraan mereka. “Yana, maksud Ryan tadi, kebetulan aku punya kenalan yang memiliki toko khusus yang menjual berbagai macam rambut palsu. Kalau kamu tidak keberatan, aku bisa mengantarmu ke sana suatu hari nanti.” Ryan menepukkan tangannya di udara dengan semangat. . “Benar sekali! Itu yang sebenarnya ingin aku sampaikan sebelumnya. Yana, kalau kamu pergi ke toko kenalannya, mungkin saja bisa dapat diskon. Siapa tahu pemiliknya terkesan dengan kehadiran pria setampan dia!” “Ryan!” tegur Conan dengan nada sedikit malu-malu, tapi tetap tenang. Yana tersenyum canggung, menjawab cepat, “Aku akan pertimbangkannya. Tapi, aku berharap bisa benar-benar mendapatkan diskon itu. Kalau tidak, tidak apa-apa, aku akan mencari toko yang lebih murah.” Conan tersenyum tipis dan menyodorkan ponselnya di atas meja. “Ini nomorku. Simpan saja. Hubungi aku kapan pun kalau ingin bertanya tentang program pengobatan atau rambut palsu yang kamu butuhkan.” Yana menjilat bibirnya yang sedikit kering, merasa gugup saat melihat ponsel di meja. “Apakah aku benar-benar boleh menghubungi Anda, Dokter?” “Conan saja, panggil aku Conan.” “Baiklah, Conan. Apakah aku boleh menyimpan nomormu?” tanyanya malu-malu. “Tentu saja. Jangan ragu-ragu. Sudah seharusnya jika kita mau bekerja sama, bukan?” Ryan lalu menyenggol bahu wanita di sampingnya sambil tersenyum menggoda. “Gugup, ya? Aku tahu kamu pasti sedikit risih karena harus berinteraksi dengan pria setampan Conan. Kalau aku jadi kamu, aku juga pasti gemetar di dekatnya.” “Kamu bicara apa, sih?” omel Yana sambil menendang kaki Ryan di bawah meja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD