Pembicaraan mereka bertiga akhirnya selesai. Setelah bersiap untuk meninggalkan restoran, tiba-tiba saja di tengah jalan, Yana tidak sengaja bertemu dengan sosok yang sangat tidak asing baginya.
"Loh, Kak Yana, kebetulan sekali kita bertemu di sini!" seru Mala Nasram dengan wajah berseri-seri. Di sampingnya berdiri seorang pria dingin dengan wajah yang sangat menakutkan.
Jantung Yana seperti berhenti berdetak!
Wajahnya memuram, sangat kelam. Kenapa mantan suaminya ada di sini juga?
Apa jangan-jangan mobil yang dilihatnya sebelumnya bukanlah halusinasi semata?
Ryan Wilson segera mendekat, menyapa pria di depannya sambil mengulurkan tangan. "Kafka Bimantara, lama tidak bertemu."
Kafka mengabaikan sapaan Ryan, lalu menatap dingin ke arah Yana. "Bukankah kamu berniat untuk mengunjungi keluargamu? Sepertinya keahlianmu berbohong semakin meningkat, ya?"
"Aku tidak berbohong," balas Yana cepat. Nadanya dingin dan sedikit gemetar.
Kafka mengejek geli, lalu melirik pria tampan berwajah tenang di sebelahnya. Keningnya berkerut tajam, suaranya sangat dingin,"Apakah sekarang satu pria tidak cukup untukmu? Kamu ingin disenangkan oleh dua pria sekaligus? Tidak menyangka, seleramu sungguh unik.”
"Apa yang kamu katakan? Tuan Bimantara, tolong jangan memfitnah orang sembarangan!" teriak Yana kesal.
Dia menatap Kafka berang karena berpikir ucapannya sangat tidak masuk akal. Sungguh sial dia bertemu dengannya di rumah makan ini.
Ryan segera mengambil alih. "Kafka, jangan marah. Nanti kekasihmu merasa tidak nyaman. Bukankah begitu, Nona?"
Ryan menoleh ke arah Mala Nasram yang menunduk malu. Dengan gerakan lembut, Mala segera memeluk lengan Kafka erat-erat, menempel padanya seperti wanita yang sangat rapuh.
Yana merasa jijik melihatnya entah kenapa, tetapi dia tidak berdaya. Bagaimanapun, Mala berada di bawah perlindungan Kafka. Dia adalah wanitanya. Apapun yang dilakukannya di mata pria itu, bukanlah masalah besar.
"Apakah ada yang salah? Dia sangat suka mendekati pria kaya, lalu membuangnya saat sudah bosan. Apa kamu ingin menjadi sukarelawan berikutnya?"
Kafka melanjutkan dengan nada dingin, menyunggingkan senyum menghina sambil menatap Yana tajam tanpa mengedipkan mata sama sekali. "Seseorang berkata bahwa dia akan mengunjungi keluarganya, tetapi malah berada di tempat mahal ini untuk makan bersama dua pria. Kalau tidak ada yang mencurigakan, kenapa dia tampak terkejut ketika melihatku?"
Yana menghela napas suram. "Kamu salah paham. Aku hanya tidak menyangka bertemu denganmu di tempat ini."
"Kenapa? Berharap tidak melihatku lagi, begitu?" Kafka menyeringai tajam.
Yana hanya terdiam murung. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang diinginkan oleh mantan suaminya. Dia sudah mencoba melupakannya selama ini, berharap pria itu puas dengan kejatuhannya. Tidak ada niat balas dendam sama sekali dan hanya berharap dia bisa menikmati kehidupannya sendiri. Sejauh mana dia akan terus menekannya dan menghina dirinya di hadapan orang lain?
Conan segera menyahut dengan nada pelan, "Maaf, Tuan. Saya tidak mengerti apa yang Anda maksud, tapi sepertinya ada kesalahpahaman. Kami bertemu di sini untuk membahas penyakit kakak Yana, Arzaka Jazada. Dia memiliki penyakit bawaan yang sulit untuk disembuhkan. Maka dari itu, dia meminta bantuan saya untuk mencari solusinya."
"Benarkah?" Kafka tersenyum sinis. "Memangnya penyakit seperti itu bisa disembuhkan?"
Yana menatapnya tajam, tampak kesal. Dia sudah berasumsi terlalu jauh dan sekarang seolah-olah ingin menghina kakaknya lagi. Ucapannya tadi terdengar seperti menyumpahi kakaknya mati. Kafka sungguh keterlaluan!
Untungnya, selama percakapannya dengan kedua pria itu, Yana sudah menjelaskan alasan yang tepat jika saja ada yang bertanya tentang hubungan mereka bertiga.
"Tolong, Tuan Bimantara, jaga kata-kata Anda!" sembur Yana geram, berusaha menahan diri.
"Cukup sudah memprovokasiku. Pulanglah, jangan berkeliaran lagi."
Yana sebenarnya ingin melawannya, tetapi Ryan segera menahannya agar tetap di tempatnya.
"Kafka, ayolah! Kenapa kamu harus mempermalukan mantan istrimu terus? Sekalipun dia memiliki utang yang sangat banyak kepadamu. Bukankah ini sangat tidak manusiawi? Bagaimana dia bisa melunasi hutangnya jika kamu bersikap otoriter seperti ini? Jangan-jangan kamu sengaja menjebaknya dengan hutang setinggi langit hanya untuk bisa mempermainkannya sampai mati?”
"Ryan Wilson," balas Kafka dingin, lalu melirik Yana sekilas dengan tatapan penuh ancaman. "Kamu tidak berhak ikut campur. Jadi sebaiknya tutup mulutmu. Yana, turuti kata-kataku, atau kamu akan melihat ayahmu kembali dalam masalah."
Yana membeku kaget dalam diam.
Dia seperti melihat monster di depannya. Jika Kafka mengancamnya seperti itu, maka itu bukanlah ancaman kosong belaka. Dia bisa melakukan apa pun hanya untuk membuat keluarganya menderita.
"Masih tidak mau pergi juga? Apakah kamu bisu? Tuli? Tidak bisa menanggapi perkataanku barusan?" sindir Kafka dingin.
Dia hendak maju ke depan untuk meraih tangan Yana, tetapi tiba-tiba saja Mala Nasram memegang perutnya dan mengerang kesakitan. "Kak Kafka, perutku... perutku sakit sekali."
Kafka panik, menggenggam kedua bahunya erat. "Ada apa?"
"Perutku sakit. Sepertinya aku harus ke dokter lagi," ucapnya sambil merintih kesakitan.
Ryan tersenyum sinis. "Sayang sekali. Di sini ada dua dokter, tapi karena kami tidak sedang bertugas, maka kami tidak memiliki tanggung jawab untuk menolongnya. Kenapa Tuan Bimantara tidak segera membantunya? Bukankah dia adalah calon istrimu? Menurut kabarnya lagi, dia sudah mengandung anakmu. Benar, kan?"
Kafka memasang wajah suram mendengar ucapannya, lalu melirik ke arah Yana. Wanita itu hanya menundukkan kepalanya dengan bibir terkatup erat. Kedua tangannya mengepal hingga menyakiti kulitnya sendiri. Itu adalah topik yang sangat tabu. Apa yang akan dikatakan oleh Kafka?
Ketika Yana mencoba melirik adegan di depannya, mantan suaminya tiba-tiba menggendong Mala Nasram ala pengantin, lalu berlari keluar terburu-buru dari hadapan mereka tanpa mengatakan apapun.
"Wah, mantan suamimu benar-benar luar biasa. Yana, kamu harus bisa melunasi hutangmu sampai lunas. Kalau tidak, hidupmu pasti akan terus menjadi neraka."
Yana hanya diam, menatap murung ke arah pria tampan yang membawa wanita yang sedang kesakitan dalam gendongannya.
Conan Lorenzo menaikkan sebelah alisnya, bertanya dengan penasaran, "Kamu berhutang keadanya? Jadi, dia adalah mantan suamimu?"
Yana mengangguk pelan, seolah napasnya terasa sangat berat.
Melihatnya, Ryan segera menyarankan dengan nada tegas, "Yana, jika kamu ingin pengobatanmu sukses, ada baiknya kamu segera melunasi hutangmu dan memutus semua hubungan dengannya. Jika tidak, emosimu pasti tidak akan pernah stabil. Walaupun kamu mengikuti pengobatan terbaik apa pun, kalau kamu selalu stres hingga depresi, maka semua perjuangan kita akan sia-sia belaka.”
***
Setelah ketegangan di restoran berlalu, Yana tidak langsung pulang ke Mansion Matahari.
Kemarahan wajah Kafka yang dilihatnya tadi membuat Yana merasa tak ingin berhadapan lagi dengannya untuk sementara. Maka, dia memutuskan kembali ke asrama, tempatnya tinggal sesekali saat bekerja di klub malam Blue Diamond.
"Heh, akhirnya kamu kembali juga. Aku pikir kamu tidak akan pernah menunjukkan dirimu lagi di sini," ujar seorang wanita muda, teman sekamar Yana.
"Aku ada beberapa urusan belakangan ini, makanya tidak sempat bekerja," jawab Yana sambil melepas sepatunya.
"Oh, ya? Aku dengar kamu sempat bertengkar dengan Karmila. Kamu baik-baik saja?" Wanita itu menatapnya penuh rasa ingin tahu, mengamati gerak-geriknya.
Yana terdiam sejenak sambil fokus membereskan lemari seolah-olah sedang bersiap untuk pergi.
Temannya berkata lagi, "Kamu mau pindah? Apa pertengkaran kalian sangat serius?"
Yana menutup kopernya dengan cepat. "Tidak, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Mungkin aku harus mencari tempat tinggal lain."
"Kenapa? Kamu tidak betah denganku, ya? Hei, meskipun aku suka bermulut tajam, bukankah aku yang paling baik keadamu di sini?" ujarnya dengan sedikit congkak.
Yana tersenyum lembut, menatapnya dengan penuh terima kasih. "Anna, kamu memang sangat baik. Aku bukannya ingin pergi karena tidak nyaman denganmu, tetapi aku punya masalah keluarga yang harus kuselesaikan."
"Oh, benarkah? Selain masalah Karmilla, aku juga dengar kamu sempat membuat marah tamu VIP," kata Ana lagi, semakin penasaran.
Yana terdiam, duduk termenung di tepi ranjang, memandangi koper butut di depannya.
"Sepertinya, gosip tentang diriku semakin buruk saja di tempat ini," gumamnya.
Anna duduk di sebelah Yana sambil meraih sebatang rokok dari kotak perak di atas meja. "Ya, memangnya karyawan seperti kita bisa punya gosip yang bagus macam apa?"
Matanya melirik ke arah Yana, mencoba menangkap reaksinya yang sejak tadi tampak tenang.
Anna menghela napas berat. "Yana, aku tahu kalau reputasimu sangat buruk, tetapi bagaimanapun kita tetap harus hidup, bukan? Kalau ada orang yang sengaja menjatuhkanmu, kamu harus tetap tegar. Kamu sudah memutuskan untuk mencari makan di sini. Jadi, kamu harus bisa menerima apa pun yang terjadi. Kalau tidak tahan, berhenti saja. Mungkin aku bisa membantu mencari pekerjaan lain di luar kota."
Yana mengangkat pandangan, menatap Anna dengan penuh harap. "Benarkah kamu bisa membantuku mencari pekerjaan baru?"
Wanita berambut pendek menyesap rokoknya sekali, lalu mematikannya di asbak. "Bisa saja. Sebenarnya, aku juga berpikir untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Lagi pula, pacarku sebentar lagi akan pindah ke luar kota. Tidak mungkin aku menjalani hubungan jarak jauh, bukan? Kalau bukan aku yang menjaga hubungan ini, pasti ada wanita lain yang datang menggodanya. Wanita seperti kita yang bekerja di klub malam sangat rentan untuk putus.”
Yana mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega setelah mendengar ucapannya.
Anna menyuruh Yana untuk beristirahat di kamar, tetapi Yana perlu melapor kepada Bella mengenai pemutusan kontraknya, jadi dia harus menemuinya sebentar.
"Yana, Yana, kamu pikir ini tempatmu sendiri? Kamu selalu saja muncul tiba-tiba, lalu hilang tiba-tiba. Siapa pun yang melihatmu akan berpikir kamu ini sombong. Kamu lupa kalau kamu bukan orang kaya lagi? Kamu tidak bisa bersikap seenaknya begitu," kata salah seorang manajer dengan nada sinis.
Dia adalah pria yang terakhir kali membawa Yana memasuki kamar VIP di mana mantan suaminya berada.
Yana hanya bisa menundukkan kepalanya, merasa cemas. Sebenarnya, dia juga tidak ingin terlihat seperti itu, tetapi keadaan tak memberinya pilihan.
Setelah kesalahan-kesalahan terakhir, dia merasa mempertahankan pekerjaannya di sini sangat sia-sia. Memohon pun tampaknya tak akan berguna.
"Bolehkah aku berbicara dengan manajer Bella?" tanyanya dengan nada pelan.
"Hah! Kamu masih ingin bicara dengan manajer Bella? Untuk apa? Memohon agar diberi keringanan, begitu?" sindirnya lagi dengan kesal.
Yana berusaha tetap tenang dan menjawab cepat, "Bukan, aku hanya ingin membicarakan tentang pemutusan kontrak dan masa kerjaku. Aku tahu sudah banyak masalah yang kutimbulkan bagi kalian. Aku hanya ingin meminta nasihatnya sebentar."
Manajer pria itu tampak meremehkan Yana dan menatapnya dengan jijik. "Kamu benar-benar merepotkan. Pergilah, manajer Bella akan datang sebentar lagi. Tunggu saja di ruangannya."
Yana mengangguk paham dan segera menuju ruangan manajer Bella. Di tengah jalan, tiba-tiba saja dua karyawan wanita menghadangnya dengan sindiran kasar.
"Oh, lihat siapa ini? Kupikir kamu sudah berhenti?," ejek salah satu wanita tersebut.
"Yang dikatakan orang memang benar adanya. Lihat penampilannya, sok polos dan sok suci. Tapi, siapa sangka kalau dia sebenarnya serigala berbulu domba? Pura-pura saja tidak ingin minum atau terlihat kotor, tapi sebenarnya sangat menjijikkan," tambah wanita di sebelahnya.
Yana hanya menahan amarahnya dan memilih untuk tidak melawan.
Dia berniat untuk berjalan melewatinya dengan langkah-langkah cepat, tetapi tiba-tiba salah satu wanita itu segera mendorongnya hingga punggungnya membentur dinding.
“Berani sekali kamu mengabaikanku! Dasar wanita sombong!” ujar wanita itu berang.
Yana kesakitan dan menetapnya kesal, “Aku tidak punya masalah denganmu. Untuk apa kamu mendorongku seperti itu?”