Bab 18 Pagi Pertama di Mansion Matahari

1032 Words
Seorang pelayan wanita muda segera menambahkan perkataan Bibi Jelita, "Mana mungkin Yana tahu itu, kan? Yana, kami sudah sering melakukannya sejak dulu. Ini tidak ada masalah. Jadi tidak apa-apa.” Yana hanya bisa tersenyum canggung. Dia tidak tahu tentang pesta kecil yang diadakan oleh para pengurus mansion di tempat rahasia mereka. Seandainya dia tahu, seharusnya dulu dia bisa lebih baik dalam menyediakan hal semacam itu agar mereka lebih senang bekerja di Mansion Matahari. Sebenarnya, Yana bukanlah orang jahat atau pelit. Dia hanya benci kepada Kafka karena telah merusak rencananya. Dia benar-benar tidak menyangka malam itu akan dihabiskan dalam situasi liar dan panas bersama seorang pelayan klub malam. Ketika terbangun dan menyadari perbuatannya, Yana merasakan dunianya hancur luar dalam. Bayangkan saja, seorang nona kaya raya yang terkenal arogan, angkuh, dan berkuasa, tiba-tiba saja tertangkap basah tidur dengan seorang pelayan rendahan. Harga diri Yana kala itu seolah jatuh ke jurang. Untungnya, ketika Paparazzi memergokinya dengan ponsel kamera yang sedang disiapkan untuk siaran langsung, Yana berhasil mengatasi situasi itu dengan cepat. Dia mengaku bahwa Kafka adalah kekasih barunya. Pengakuannya saat itu jelas banyak yang tidak percaya, terlebih lagi setelah mereka menikah, sikap Yana sangat buruk. Ada yang mengatakan bahwa Kafka dijadikan sebagai kekasih hanya sebagai pelampiasan atas patah hati yang dialami oleh Yana akibat pengkhianatan Lucas Bayanaka yang melakukan pertunangan secara tiba-tiba. Itu sebabnya Yana dengan mudah memperlakukan kafkah semena-mena. Bahkan ada yang mengatakan kalau Kafka Bimantara hanyalah anjing peliharaan keluarga Jazada. Namun, siapa yang menyangka kalau anjing peliharaan itu sekarang menggigit majikan yang telah bersikap kasar kepadanya? Tidak hanya itu, dia juga telah menjadi anjing yang sangat ditakuti oleh semua orang. Pesta penyambutan Yana berlangsung cukup meriah dan sangat bersahaja. Pada tengah malam, saat Yana membantu Bibi Jelita membersihkan sisa-sisa pesta, dia segera mendapat teguran darinya. "Jangan khawatir, biarkan aku saja yang menyelesaikan semuanya," kata Bibi Jelita dengan nada tidak enak hati. Yana menggeleng cepat. "Tidak, ini sudah bagian dari tugasku. Sekarang, aku sama seperti kalian. Sudah seharusnya aku melakukannya. Jika kalian memperlakukanku secara berbeda, maka Kafka pasti akan menghukum kita semua." Bibi Jelita menatapnya dengan kasihan, lalu mengangguk mengiyakkan perkataannya. Sebelum kembali ke kamar, wanita tua itu memberikan sebungkus coklat untuknya. "Ini, makanlah jika kamu lapar." Yana merasa terharu. Itu adalah coklat kesukaannya. "Tidak, Bi. Aku tidak menginginkannya." Bibi Jelita menggeleng cepat, mendorong kembali coklat tersebut ke arahnya. "Ambillah. Ini bukan persediaan di gudang. Kadang aku membelinya untuk menyenangkan diri sendiri. Ini adalah milikku. Makan saja. Tidak apa-apa." Tiba-tiba saja, Yana terisak, lalu meneteskan air mata. Bibi Jelita merasa panik dan segera memeluknya dengan erat. "Sudah, jangan menangis lagi. Kamu terlihat sangat jelek jika menangis." Yana membalasnya sambil tertawa kecil. "Terima kasih, Bi! Terima kasih banyak!” "Anak bodoh, jangan berkata seperti itu. Kamu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri," kata Bibi Jelita dengan tulus. Dia melanjutkan dengan nada yang sangat baik, "dan terima kasih juga karena mau mengizinkanku berbicara santai seperti ini denganku setelah sekian lama." Yana tidak bisa menahan rasa sedih di hatinya dan memeluk Bibi Jelita lebih erat. Sejak kejatuhan keluarga Jazada, dia tidak pernah menerima perlakuan selembut ini dari siapapun. Kedua orang tuanya, yang belum bisa menerima kenyataan, selalu marah dan memakinya dengan banyak kata-kata kasar. Sementara itu, kakaknya, Arzaka Jazada, tidak tahu bagaimana cara menghibur orang lain. Adiknya, Tera Jazada, bukanlah orang yang pandai berkata-kata atau berbicara kepada orang lain. Maka dari itu, perlakuan Bibi Jelita malam ini sangat berarti baginya. Dia seperti baru saja melepaskan beban berat di kedua pundaknya. *** Keesokan paginya, Yana terbangun dengan perasaan lebih segar. Walaupun tubuhnya belum 100% bertenaga penuh seperti biasa, hari ini sudah cukup untuk memulai aktivitas baru agar bisa segera melunasi hutangnya kepada Kafka Bimantara. "Kemarilah, semua orang sedang sarapan," panggil Bibi Jelita saat Yana mengintip malu-malu ke dalam dapur yang luas tersebut. Mansion itu memang adalah peninggalan kakeknya, tetapi dia sangat jarang memasuki bagian dapur. Semua kebutuhannya selalu dipenuhi dengan mudah oleh para pengurus mansion. Maka dari itu, Yana jarang sekali mengeksplorasi semua sisi mansion Matahari. Semalam, ketika mereka mengadakan pesta penyambutan di belakang mansion, Yana tidak menyangka ada tempat semacam itu. Sepertinya, dia tidak terlalu menghargai pemberian kakeknya, tapi tidak masalah. Semakin banyak kenangan, maka semakin besar rasa sakit yang akan menikam jantungnya, bukan begitu? Hal baiknya, dia memiliki sifat cuek selama ini, yang bisa menyelamatkan hatinya dari kehancuran yang lebih besar. "Cobalah ini," kata Bibi Jelita sembari memberikan semangkuk bubur untuknya. "Terima kasih, Bi. Baunya sangat enak," balas Yana jujur. "Tentu saja, cobalah. Ini benar-benar sangat lezat. Semua bahannya adalah bahan berkualitas tinggi. Dapur mansion Matahari tidak pernah gagal dengan bahan-bahannya yang berkualitas." Yana mengamininya dalam hati. Memang, selama mereka memperkerjakan para pengurus dengan kekayaan keluarga Jazada, makanan mereka selalu yang terbaik. "Nona, kamu pasti sangat kesulitan selama ini, bukan? Sekarang, kamu bisa makan makanan enak seperti dulu lagi," ucap salah satu wanita muda yang semalam ikut menghiburnya dengan beberapa patah kata. Yana mengangguk dengan senyum lebar penuh rasa terima kasih. "Sebenarnya, kalian tidak perlu bersikap seramah ini. Aku merasa tidak enak hati. Kita sekarang sudah memiliki kedudukan yang sama. Aku harap kalian bisa memperlakukanku seperti teman atau keluarga sendiri. Aku sudah bukan majikan kalian, jadi tidak perlu merasa ragu atau tidak enak hati." Semua orang di ruangan saling pandang dalam diam, jelas-jelas merasa tidak enak hati karena bagaimanapun, Yana Jazada adalah putri dari mantan majikan mereka. Semua telah lama mengabdi pada keluarga tersebut selama bertahun-tahun dan jika harus menghadapi situasi sekarang, pasti sangatlah canggung. Bibi Jelita segera membuat suasana menjadi lebih baik. "Sudah! Sudah! Ayo nikmati makananmu dulu." Yana mengangguk pelan, lalu mulai menikmati semangkuk bubur yang sangat enak. Mereka berbincang beberapa hal sebelum akhirnya semuanya bubar untuk mengerjakan pekerjaan masing-masing. "Kamu ingin keluar?" tanya Bibi Jelita dengan tatapan cemas. "Hanya sebentar, aku ingin memberi kabar di tempat kerjaku dan mengambil barang-barangku yang tertinggal di sana." "Apakah kamu bisa melakukannya sendirian? Perlu ditemani tidak?" tanya Bibi Jelita, suaranya terdengar terburu-buru. "Tidak usah, Bi. Aku bisa sendiri." Ketika Yana hendak keluar dari mansion, tiba-tiba saja seseorang menegurnya. "Anda ingin pergi kemana?" Yana tertegun, kaget dengan suara penuh kecurigaan yang terdengar dari belakang punggungnya. Ketika berbalik, dia berhadapan dengan wajah dingin dan datar dari pria berpakaian hitam yang selama ini berjaga di depan pintu rumah sakit tempatnya menginap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD