beneran nggak mungkin

2201 Words
Andrew melampiaskan semua rasa frustasinya dengan menghajar Jo yang sudah tak punya tenaga lagi untuk menyerangnya. Frustasi karna ketika dia kerumah Diva untuk pergi menjemputnya ke sekolah, yang dia dapatkan adalah Diva pergi duluan tanpanya. Membuat dirinya langsung tak enak dan membawa motornya dengan kecepatan gila – gilaan. Seketika sampai di kelas setengah berlari karna hatinya semakin menjerit, dia melihat kejadian itu sekali lagi. Kejadian yang membuatnya kalap dan menarik Jo dari tubuh Diva dan menghajarnya brutal. Jo terkekeh geli sambil menyeka darah yang menetes di bawah bibirnya. Baginya, pukulan Andrew tak sebanding dengan kenikmatan ciuman kedua kalinya dengan Diva yang membeku di sudut sana. Dia menatap Andrew yang siap membunuhnya dengan tatapan meremehkan. Tatapan Jo membuatnya semakin kalap. Dia memegang leher Jo kemudian mencekiknya hingga seringai kepuasan itu berubah menjadi sesak napas. “Gue... bakal... bunuh... lo! Gue... bakal... bikin... lo... ngerasain... siksaan... neraka... saat... ini... juga...,” ucap Andrew dengan penekanan kata pada setiap ucapannya. Emosinya sudah mencapai ubun-ubun. “b*****t!” “Silahkan,” balas Jo disela napasnya yang mulai habis. Tapi senyum jahat itu hadir lagi membuatnya serasa ingin merobek wajah Jo menjadi dua. “Balasan dari gue akan jauh lebih menyakitkan, Ndrew. Bukan dengan permainan fisik seperti yang lo lakuin saat ini tapi,” Matanya melirik Diva yang memandangnya penuh ketakutan. Ketika tatapan mereka beradu, dia melempar tatapan melecehkan. “gue akan membuat lo menderita sampai nyaris mati karena gue akan mengambil apa yang gagal gue ambil malam itu!” Andrew semakin tersulut emosi ketika melihat tatapan Jo yang merendahkan Diva dengan ancaman penuh penghinaan. Tanpa buang waktu, dia melepas cekalan di lehernya dan menonjok keras wajah Jo hingga darah merembes keluar dari hidung dan bibirnya. Tak puas, dia kembali menghadiahi sebuah pukulan keras di wajah Jo hingga cowok itu meluruh tak berdaya. Dia melihat Jo terengah-engah karena kebrutalannya dan mengusap darah yang keluar dari hidung juga bibirnya dengan tenang. Seperti mengusap saos tomat yang tercecer. Matanya menatap Andrew dengan tatapan menantang. Bibirnya menyunggingkan senyum mengejek. “Kalau sampai gue liat lo berani nyentuh Diva lagi Jo. Menyentuh Diva walau hanya sehelai rambutpun,” Andrew menatap tajam Jo tepat di manik mata. “Gue akan bunuh lo detik itu juga! Ingat itu!” Dia menunjuk wajah Jo tepat di hidung dan berjalan ke arah Diva yang masih diserang rasa ketakutan yang amat sangat itu. Tanpa mempedulikan Diva mengernyit ketakutan melihatnya, dia menarik tangan dingin gadis itu dan membawanya keluar kelas. Meninggalkan Jo yang tertawa keras karena ucapan Andrew beberapa saat yang lalu. “Gue bakal rebut sahabat lo itu, Ndrew...,” ucap Jo dengan nada rendah dan berbahaya. Kejadian tadi pagi membuat Diva semakin trauma. Membuat tak bisa jauh – jauh dari sisi Tiara. Yah, dia sengaja duduk dengan Tiara karna ketakutan di dekat Andrew. Tiara menatap iba pada Diva yang asyik melirik semua temannya satu persatu. Seolah menandai mana yang boleh didekati, dan mana yang harus dijauhkan. Dia tau semuanya dari Andrew tentang percobaan perkosaan yang hampir sukses dilakukan Jo kalau saja sahabatnya tak datang saat itu. Membuatnya kaget dan dendam setengah mati karena tak menyangka bahwa Diva akan mengalami peristiwa seperti itu. Tiara melirik Diva yang melirik semua murid laki-laki dengan tatapan takut. Kemudian dirinya menoleh ke arah Andrew dan menghela napas panjang. Kalau sahabatnya sedang ketakutan setengah mati, maka Andrew kacau setengah mati melihat tingkah Diva sekarang. Tiara bisa melihat Andrew menatap sahabatnya penuh luka. Dia sangat paham bagaimana frustasinya Andrew melihat Diva yang tak bisa didekati karna ketakutan gadis itu “Diva...,” panggil Tiara pelan. Diva tersentak dan refleks menjauhkan tubuhnya. Tiara mengerutkan kening dan menggenggam tangan Diva yang gemetar. “Diva... ini gue, Tiara....” Butuh beberapa detik untuk menyadarkan Diva siapa disampingnya. Dia mengerjapkan matanya dan tersenyum karna mengenali lalu mengangguk pelan. Tiara ikut tersenyum meskipun hatinya sedih melihat perubahan sikap Diva yang sangat drastis. Tiara juga sudah mendengar dari Andrew perihal kejadian tadi pagi. Dan saat ini, Jo sendiri menghilang entah kemana. Cowok itu tidak hadir didalam kelas. “Baguslah dia tak ada. Setidaknya gue butuh tenaga cadangan untuk menghajarnya nanti.” “Gue tau itu lo, Ta...,” ucapnya dengan nada lelah. Kemudian, Diva kembali fokis membaca kalimat yang tertulis rapih di hadapannya. Tiara melirik sekilas ke arah Andrew dan mendapati cowok itu tersenyum pahit ke arahnya dan Diva. Tanda melihat semuanya. Tiba – tiba tatapannya teralih ketika melihat seorang cowok bertubuh tegap atletis sedang berdiri didepan pintu dan seisi kelas dengan senyum ramah. “Maaf... cari siapa, ya?” tanya Reinhard, ketua kelas didalam kelas tersebut. Andrew fokus menatap murid baru itu dengan kening berkerut. Dia penasaran. “Oh... nggak cari siapa-siapa,” jawab laki-laki itu dengan ramah. “Gue murid baru di kelas ini.” “Murid baru?” tanya Reinhard lagi yang dijawab dengan anggukan kepala oleh laki-laki itu. “Ya udah, masuk aja. Tuh, ada bangku kosong di belakang Andrew. Salam kenal.” Reinhard menyalami tangannya dan anak baru itu dengan senyum manis membalasnya uluran tangan itu tanpa ragu dan mengucapkan terima kasih. Dan dia melihat Andrew, teman sebangkunya itu melempar senyum sambil menepuk kursi kosong. Langkahnya ringan menuju bangku yang ditunjuk, hingga tak sengaja dia ditubruk Arny dari belakang dan tersandung kakinya hingga hampir jatuh tersungkur kalau saja dia tak menarik lengannya. Mereka bertatapan. “Sorry...,” kata Arny dengan ekspresi menyesal. “Gue nggak sengaja.” “No problem,” jawabnyaseraya tersenyum dan menarik tangannya. “Kenalin, nama gue, Thomas Falevi. Gue sering dipanggil Tom, sih. Kalau lo?” “Arny.” Dia menyambut uluran tangan Arny dan menjabatnya dengan ramah. “Arny Debora. Tapi panggil saja Arny.” “Tom...,” Tiba – tiba dia mengulang namanya dan melepas uluran tangannya dengan senyum geli. “Just like my favorite cartoon. Tom and Jerry.” “Oh ya?” tanya Tom antusias. “Sama. Gue juga suka sama Tom and Jerry! Mungkin, kita jodoh.” Senyum Tom merekah lebar ketika kalimat tanpa rencana itu lolos dari bibirnya dan membuat Arny tertawa. Gadis itu sampai – sampai menggelengkan kepalanya dan menepuk pundak Tom beberapa kali. “Hari gini lo masih percaya sama yang begituan? Gue nggak percaya sama yang begituan. Dari hal-hal yang kebetulan seperti itu. Kalau misalkan lo satu hobby sama Reinhard, cowok yang tadi nanyain lo siapa, apa lo masih bisa berpikir kalau lo dan Reinhard itu jodoh, Tom?” tanya Arny sambil tersenyum geli. Tom hanya mengedikkan bahu dan menatap Arny dengan tatapan ramah. “It’s different...,” balas Tom santai. Dia menilai bahwa Arny gadis yang baik dan ramah. Dia suka dengan sifat Arny yang mudah bersosialisasi dengan orang baru. “What kind of different?” tanya Arny. “Tell me.” “Reinhard itu cowok, sama seperti gue. Jadi, gue nggak mungkin berjodoh sama Reinhard, meskipun gue mempunyai hobby yang sama dengan dia. Berbeda kalau gue mempunyai hobby, selera musik, bacaan, dan lain sebagainya, yang sama dengan lo. Itu baru dikatakan kalau kita jodoh. Karena lo cewek, dan gue cowok.” Tom menyeringai puas dan melipat kedua tangannya di depan d**a ketika menyelesaikan argumennya. Menarik sekali. Di hari pertama dia menjadi murid baru di sekolah ini, dia sudah harus berdebat dengan seorang siswi di kelas barunya dengan tema yang klasik. Jodoh. “Tetap aja, gue nggak percaya dengan hal-hal yang terjadi secara kebetulan lalu disangkut-pautkan dengan kata jodoh. Bagi gue, jodoh itu ditentukan oleh tangan sendiri. Kita mencarinya dan mempertahankannya ketika kita sudah mendapatkannya. Lagipula, you’re not my type. No offense, loh, ya... kalau lo berniat merayu gue barusan, lebih baik lo kubur aja niat lo itu. Gue udah punya cowok yang gue taksir dan gue sukai. Gue akan dapetin dia dan nggak akan pernah gue lepas.” Arny tersenyum ketika wajah Andrew terbayang di otaknya. “By the way, nice to meet you, Tom.” “Nice to meet you too...,” balas Tom. “And for your information, you’re not my type either.” Tom nyengir kuda lalu pergi ke bangkunya yang bersebelahan dengan Andrew. Untuk sesaat, dia memperhatikan Tom yang sekarang sudah duduk dan berkenalan dengan Andrew serta Roy. Gadis itu menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis ketika tiba-tiba saja Tom menoleh ke arahnya dan mengangkat sebelah tangannya, memberi sapaan. Dan dia spontan membalasnya dengan senyum manis ketika tatapan matanya bersirobok dengan Andrew yang meliriknya. *** “Hai,” Tom mendekati meja Diva – Tiara dan mengulurkan tangannya. Dia mengajak semua anak dikelas ini berkenalan dan bercakap – cakap sebentar. Hingga akhirnya sampai dimeja mereka berdua ini, yang asyik sendiri hingga tak sadar dengan kehadirannya. “Hai juga. Gue Tiara.” Dia tersenyum manis dan membalas uluran tangan Tom dan tersenyum. Wajah yang tampan dan ramah, pikirnya. Hidungnya yang mancung, kulit sawo matangnya terlihat eksotis untuk cowok sepertinya, tatapan mata coklatnya lembut dengan alis tebal memanjang menaunginya, bulu matanya terlihat lentik dan panjang, serta senyumnya yang memikat membuat cowok didepannya ini sempurna fisiknya. “Walau tak sesempurna Roy.” Batinnya berbisik dan dia mengiyakan penuh semangat dalam hati. “Thomas Palevi. Panggil saja Tom.” Dia tersenyum dan melepas uluran tangannya lalu melirik Diva yang asyik membaca buku. Seolah tak menyadari kehadirannya. Atau pura – pura tak sadar. Dia melihat gadis itu gemetar memegang buku. Matanya terus – menerus menatap isi buku itu tanpa membalik halamannya. Entah karna gadis itu tipe lambat membaca suatu buku atau karna alasan lain. Dia tak tau. Tapi mencurigakan. Dia memutuskan mendekati Diva dan mengulurkan tangannya di atas buku yang dibacanya. Keningnya semakin berkerut semakin dalam ketika gadis itu terpaku menatap tangannya yang terulur. “Hai, Gue Tom. Lo siapa?” Dia tersenyum ramah ketika gadis itu mendongkakkan wajah dan menatapnya. Tak mengerti kenapa tatapan mata indahnya itu seperti ketakutan. Seolah dia melihat hantu. Tanpa membalas ulurannya. Dia mendengar suara bergetar itu menyebutkan nama. “Diva.” Satu kalimat sepertinya sangat susah dikeluarkan oleh gadis itu. Karna setelah menyebutkan nama, dia seperti mendesah lega. Entah apa yang membuatnya seperti ini, tau – tau dia mengambil tangan Diva yang mencengkram erat pinggiran buku itu dan menyalaminya. Membuat gadis itu melotot kaget dan hendak menarik tangan yang dipegangnya. Tapi dia memegang kuat. “Salam kenal, Diva. Senang berkenalan dengan lo.” Dan dia langsung melepaskan pegangan tangannya ketika keringat dingin membasahi telapak tangannya. Gadis ini ketakutan tanpa alasan yang jelas. “Sorry. Cuma gue kadang gatal gitu kalau ada ngajak kenalan ga balas rangkul tangan. Serasa ada yang kurang aja.” Dia meminta maaf dan cewek itu hanya mengangguk saja tanpa melihat sekalipun kearahnya. Tepukan di pundak sebelah kanan agak keras membuatnya menoleh ke belakang dan melihat Andrew yang tersenyum samar. “Kenapa, Ndrew?” “Bagaimana kalau lo gue ajak keliling sekolah disini beserta ekskul yang ada? Siapa tau lo tertarik untuk mengikuti salah satu.” “Boleh juga.” Dia tersenyum. Yah, setidaknya dia menemukan teman baik di hari pertama sekolah. Teman sebangkunya yang tersenyum ke arahnya, namun tatapan matanya tajam dan waspada. “Gue cabut dulu, Tiara, dan ... Diva.” Ucapnya dan dia melihat Diva meliriknya takut dan tersenyum canggung. Tanpa disadarinya, Andrew melihat perubahan Diva dengan sedih dan memutuskan untuk menarik Tom keluar agar gadis itu tidak menunjukkan gelagat penolakan yang semakin melebarkan jarak antara mereka. *** “Gue aneh.” Itu saja yang diucapkannya ketika dia memutuskan lari kerumah Tiara setelah pulang sekolah untuk menenangkan pikiran. Dan dari tatapan Andrew yang sedih semakin membuatnya tertekan. “Aneh bagaimana?” Tiara baru saja datang dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman dingin untuk sahabatnya yang terlihat seperti mengalami tekanan batin yang luar biasa menyiksa. “Gue merasa merinding pas didekati cowok dan rasanya ingin lari saja kalau dekat dengan mereka. Oke, semua cowok tak segila Jo, tapi...” Dia terdiam dan sibuk membuat pola – pola aneh di karpet Tiara dengan jemarinya. “Kenapa gue juga takut dengan Andrew? Dia menolong gue, tapi.. gue takut setiap dia mendekati gue. Padahal otak gue tau, dia bukan Jo. Tapi ketakutan ini membuat gue gila, Tiara. Belum lagi...” Dia terdiam. Ucapan cinta Andrew yang ternyata hanya lelucon belaka itu menyakiti hatinya. “Dia bilang cinta sama gue beberapa hari lalu.” Ucapan Diva membuatnya tersedak. Andrew menembak Diva? Serius?! “Serius lo, Diva? Terus, terus lo jawab apa? Iya, kan?” Dia bingung karna tau – tau Diva memeluknya erat. Sangat erat hingga rasanya menyakitkan. Dan dia bisa merasakan air mata Diva membasahi bajunya sekarang. “Dia bilang lelucon untuk membuat gue gak ketakutan lagi, Tiara. Dia bilang gitu supaya gue bisa didekati dan kembali seperti dulu. Tanpa dia tau...” Dia terisak sekarang karna hatinya sakit hingga ingin membelah diri menjadi dua. “Dia tak mencintai gue, Tiara. Dia hanya anggap gue sahabat dia. Itu aja. Dan bahkan gue pikir. Dia nolong gue dua kali itu karna gue sahabat dia. Itu aja.” Ucapnya lambat dan dia melepas pelukan Tiara lalu menatap sahabatnya pedih. “Dia takkan mencintai gue.” Ulangnya lagi membuat Tiara terdiam. “Kenapa?” “Karna...” Dia terdiam. Hatinya serasa ditusuk pecahan kaca ketika siang tadi dia melihat Andrew dan Arny saling merangkul pundak dan tertawa bersama. Bahkan cewek itu tak tanggung – tanggung mengacak rambut Andrew dan membiarkan rambutnya diacak balik oleh cowok itu. Tatapan mereka terasa lain. Terasa... Menusuknya dari belakang. “Dia mencintai Arny, Tiara. Bukan gue. I’m invisible.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD