Empat I I Radista Pov

1412 Words
“Tante Melisa yuhuuu..” Seruku saat memasuki rumah Ivan yang bahkan lebih nyaman dari rumahku sendiri. Entah kenapa rasa-rasanya aku ingin bertukar keluarga dengan Ivan, namun sayang dia tidak mau karena sudah tau sifat dan sikap kedua orang tuaku yang annoying. Astaga, sudah berapa kali aku mengatakan kedua orang tuaku annoying? dasar mulut durhaka. Seharusnya judul cerita ini diganti saja dengan 'Radista si Anak Durhaka' Ivan mengusap wajahku dengan tak berperikemanusiaan “Lo kebiasaan deh, masuk rumah ucap salam kek, ini rumah bukan hutan!” “Yeu, tante Melisa aja nggak marah kok” jawabku, lantas menjulurkan lidah, lalu memasang wajah semenyebalkan mungkin agar Ivan semakin kesal padaku. “Lagian gue kan beda kepercayaan sama lo, agak kaku aja mau ucap salam” lanjutku menjelaskan. Tak berselang lama wanita yang umurnya nggak jauh beda dengan mama tersayang keluar sambil merentangkan tangan. Menyambutku dengan hangat. “Udah nih, jadi teletubbies aja berdua” gerutu Ivan yang memang rada iri dengan kedekatan ku dan Tante Melisa. “Kamu anak siapa sih? nggak pernah diajarin sopan santun kalo ngomong sama orang tua.” teguran tante Melmel mampu membungkam mulut rese Ivan, aku bergelayut manja di lengan tante Melisa kini menjulurkan lidah lagi, mengejek Ivan. “Fix! aku bukan anak mama” katanya “Aku anak papa” lanjut dia dengan bangga. Suara bariton datang dari arah dapur, “Siapa sih Ma, kok rame banget” itu suara yang aku yakini adalah suara om Riki, saat melihatku senyum om-om itu mengembang, “Astaga, anak perempuan papa toh ternyata” Tawaku pecah, wajah Ivan kalo lagi ngambek luar biasa ganteng. Sialan, jangan menertawakanku yang lagi terjebak friendzone ini, lebih baik kasih saran gimana cara confess ke Ivan oal perasaanku ini. “Fix! aku cari orang tua baru besok” lalu dia kembali berjalan menuju kamar, agaknya dia mulai menyesal mengajakku ke rumah ini karena om Riki dan tante Melmel pasti membelaku, hahaha. Sementara aku tertawa, tante Melisa dan om Riki menggeleng-gelengkan kepala kompak. “Oh iya, Ra mau makan apa? biar tante masakin” “Opor aja deh, tan. Ivan sama Ra kan sama-sama suka makanan itu” Tante mengangguk, “Yaudah, kamu ikut Ivan aja gih. Tante masak dulu, sekalian minta maaf kayaknya kesel banget dia sama kamu” Aku tertawa “Biarin ajalah, tan. Manja banget kek anak perawan” jawabanku mengundang kekehan dari tante Melisa. Aku menyusul Ivan di kamarnya, pintu aku biarkan terbuka agar tidak menimbulkan kecurigaan apapun. Tante Melisa sudah percaya sepenuhnya kalau aku dan Ivan tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak. Toh kalau kami sampai melakukan hal itu, besoknya pasti langsung dinikahkan. Halu aja dulu yekan. Saat aku masuk, Ivan lagi tengkurap di ranjang. Aku ikut merebahkan tubuh di ranjang milik Ivan, dia menoleh. “Ngapain? gue lagi nggak bisa di bujuk ya” Aku terkekeh, “Nggak ada yang mau bujuk elo juga” Hening, hanya deru pelan Ac yang terdengar, Ivan kembali berbicara. “Ra” suara Ivan benar-benar deep banget, sampai aku bisa merasakan getaran aneh yang tiba-tiba muncul. “Gue cuma mau mengingatkan sih, sebelum lo sakit hati. Jangan salah paham sama sikap gue ke elo, soalnya gue udah anggap lo sebagai adik sendiri" Jujur saja, aku merasa dipukul mundur sebelum berjuang. Ivan benar-benar menyiram bunga yang lagi mekar-mekarnya di hatiku menggunakan kompos beracun membuat semua bunga-bunga itu langsung lunglai tak berdaya. Apakah selama ini Ivan tau kalau aku menaruh rasa lebih padanya? Untuk itu dia mengatakan hal sedemikian rupa? Sumpah, kok sakit ya? “Gue nggak ngerti maksud lo apa" dahlah, pura-pura g****k jalan ninjaku. “Otak kecil lo emang gak akan ngerti sih” Tanganku sudah terangkat hendak memukul cowok sialan itu, tapi dengan sigap dia menangkap lengan kecil mungilku. Tatapan mata Ivan menghujam tepat ke arah netra hitam legam ku. “Gue sayang sama lo, Ra. Tapi bukan sebagai pasangan, melainkan sebagai saudara. Dihati gue saat ini hanya ada satu nama, Rahel” Entah kenapa mataku sepertinya terasa panas, dadaku bergemuruh mendemokan rasa sakit yang luar biasa. Di tolak secara implisit itu ternyata lebih sakit daripada doi ngomong terang-terangan kalau dia tidak ingin berpacaran dengan kita. Aku mencoba menahan rasa sakit dan juga air mata dengan mengembangkan senyum. “Santai aja kali, lagi pula gue nggak akan punya kesempatan buat suka sama lo” Ra menepis cekelan tangan Ivan. “What do you mean?” Aku menghela nafas, menatap langit-langit kamar Ivan. “Kita nggak pernah tau akhir dari sebuah takdir, Van.” “Kok gue ngerasa lo lagi nyembunyiin sesuatu dari gue, Ra. Iyakan?” Tante Melisa datang di saat yang tepat, aku buru-buru berdiri dan mengekor turun kebawah meninggalkan Ivan yang masih kebingungan di atas sana. Biarlah semua berjalan layaknya air mengalir, biarlah Ivan tau dengan sendirinya kalau aku akan dijodohkan dan menikah sebentar lagi. “Ra..” tante Melisa mengelus punggung tanganku. “Kok ngelamun? makanannya nggak enak ya?” Aku buru-buru menggeleng, “Eh, nggak kok tan. Enak banget malah, Ra lagi banyak pikiran aja sih” Ivan yang tengah asik makan kini mendongak menatapku. Aku buru-buru memalingkan wajah sebelum dia mulai mengintrogasiku lagi dan lagi. Tante Melisa berdehem. “Yasudah, kamu habiskan makanan nya sebelum pulang ya. Tante nggak mau lihat anak cantik sakit” Aku tersenyum, “Siap, mama Melisa!” “Hm? Sejak kapan nih?” tanya om Riki seraya menahan senyum. “Jadi, papa punya dua anak sekarang?” Aku dan tante Melisa tertawa, sementara Ivan hanya tersenyum tipis. Inilah keluarga yang aku inginkan. Dimana aku diterima, di mana keberadaanku di anggap dan dimana aku di hargai. Dimana aku bisa tertawa, di mana aku bisa menumpahkan segalanya tawa dan lara. Di sela tawa kita tante Melisa berbisik. “Kalo kamu mau, kamu bisa cerita ke tante. Siapa tau tante bisa bantu masalah kamu, Ra” Aku tersenyum canggung, dan mengangguk “Semuanya terlalu rumit buat aku ceritakan sekarang, tan. Mungkin butuh waktu tujuh hari tujuh malam buat ceritanya selesai” “Kamu lagi ngelucu, Ra?” “Nggak tan, aku lagi marah” jawabku kesal, aku melirik ke arah Ivan yang sesekali tertawa oleh joke om Riki. Ternyata aku tidak pulang setelah makan malam, hari ini aku memutuskan untuk menginap di rumah tante Melisa. Nggak usah khawatir, papa sama mama pasti udah tau kemana aku pergi. Toh rumahku hanya berjarak tiga rumah dari rumah Ivan, kita tetangga btw. Saat ini aku tengah menonton tv di sofa sendiri, Om Riki berada di kamar begitupun dengan Ivan. Tante Melisa sibuk membuatkan sesuatu untukku, entah apa. Tak berselang lama wanita berpiyama itu datang membawakan semangkuk salad buah untukku. Tante Melisa duduk di sebelahku, aku menyandarkan kepala di pundak tante Melisa “Tan, aku udah siap cerita nih. Tante mau dengerin nggak?” “Apapun buat kamu, kayaknya masalah kali ini berat ya, Ra. Sampai kamu harus mikir dulu buat cerita ke tante” Aku mengangguk. “Mungkin, Tan” Aku menghela nafas, lalu semuanya mengalir begitu saja. Aku bercerita soal keluargaku yang semakin tak acuh, semakin hari mereka semakin jarang berada di rumah dan bahkan lebih sering tinggal di luar negeri. Menurut postingan Mama yang aku lihat di IG, mereka berdua bukan seperti orang yang tengah melakukan perjalanan bisnis melainkan lebih kepada orang yang berlibur atau bulan madu. Setelah itu aku juga bercerita tentang rencana kuliah dan sudah mendaftarkan diri di kampus yang sama dengan Ivan, kedua orang tuaku menyetujuinya namun dengan syarat yang bahkan tidak bisa diterima dengan akal sehat. Aku menghela nafas, “Jujur aja aku bingung, tan. Di umur yang masih muda kenapa aku harus dihadapkan pada pilihan yang sulit?” Ekspresi tante Melisa menunjukan sedikit keterkejutan, beliau mengusap bahu ku dengan lembut, menyalurkan rasa hangat dan nyaman. “Kita nggak pernah bisa mengendalikan orang lain, Ra. Tapi tante sangat percaya di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan” “Tapi kenapa harus pernikahan, tan?” Tante Melisa mengecup keningku dengan sayang. “Mungkin ada alasan dibalik semua ini, Ra. Mungkin ada hikmah yang bisa kamu ambil setelah pernikahan itu” Aku memejamkan mata, dan seketika aku menangis. “Tante akan tetap disampingmu, meskipun nanti kamu akan menikah dengan orang lain. Bukan dengan Ivan, lagian kalian beda kepercayaan. Hehe..” "Umurku baru sembilan belas, tan" "Tahun depan kan udah dua puluh" tante Melisa merangkum wajahku, "Mungkin ini kesempatan yang tuhan kasih buat kamu, Ra. Bukankah selama ini kamu tersiksa tinggal di rumah itu? Kalau kamu menikah dan ikut suami, maka kamu akan keluar dari sana, 'kan?" "Iya, semoga semuanya baik-baik saja tan" "Amiin"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD