Lima I I Author Pov

1435 Words
Waktu melesat cepat sekali, tau-tau satu minggu terlewati begitu saja. Malam ini, adalah malam dimana kedua keluarga akan bertemu untuk membicarakan perihal perjodohan lebih jauh. Keluarga Ken sampai di tempat janjian lebih dulu. Lihatlah cowok berwajah tampan itu, duduk dengan kemeja putih rapi, menunggu seseorang. Ken udah amat sangat yakin kalau gadis yang kemarin dia antarkan ke kampus adalah gadis yang akan di jodohkan dengan dia. Kalau mau di ambil sisi baiknya, setidaknya gadis itu rupawan. Segala cara sudah dilakukan Ken agar perjodohan ini gagal, mulai dengan berbicara baik-baik dengan orang tuanya, merayu mereka, hingga Ken terpaksa bilang kalau dia punya pacar. Padahal, sebelum ini Ken selalu menutup rapat-rapat kisah percintaan dia di depan kedua orang tuanya. Tapi semua usaha Ken tidak menghasilkan apapun, justru ancaman demi ancaman dia dapatkan, benar-benar menyebalkan. Alasannya klasik, janji konyol yang sudah di buat pada jaman SMA papa Nick dulu. “Harus banget, Pa, ditempat kayak gini? Perjodohan mah bisa di rumah atau dimana kek. Sayang duit kalau harus bayar ruang privat di restoran bintang empat kayak gini" cibir Ken, sejak tiba tadi segala hal dia komentarin. “Pa, aku pasti nikah kok. Aku juga udah punya pacar, ngapain sih-“ “Stthh, mereka datang” potong mama Liana dengan cepat saat pintu terbuka. Mama Liana dan papa Nick langsung berdiri tak lupa mereka tersenyum lebar, sementara Ken masih diam di tempat memandang kearah lain. Papa Johan tersenyum cerah membuat Radista seketika terpana, bahkan ia jarang sekali melihat kejadian langka itu. Disusul dengan mama Mirna yang langsung menyapa hangat mama Liana. Semenjak kegagalannya masuk Universitas di Aussie Radista belum pernah melihat papa dan mama tersenyum secerah itu kepada dia atau paling tidak di depan matanya, dasar pencitraan! “Mirna, selamat ya atas anak kedua. Laki-laki ‘kan?” Seketika Radista membatu, dia tidak tau harus bereaksi seperti apa saat mama Mirna hanya melirik sekilas kearah dia. “Ah, ini calon menantu saya, cantik sekali dia” lanjut mama Liana saat melihat raut wajah canggung Radista. Wanita itu memeluk Radista, hangat dan lembut, bahkan Radista bisa merasakan ketulusan mama Liana. Kendirc menatap mereka semua dengan gemas, ia tak suka situasi seperti ini. Dia tidak suka banyak drama. Setelah berbasa basi sejenak akhirnya mereka sampai pada tujuan datang kesini. Dalam hati mama Mirna sudah capek, kesal dan ingin segera pulang. Papa Nick menatap Radista dan juga Ken secara bergantian. “Radista Azzahra, untuk menunaikan janji yang telah saya dan Johan buat dulu maka, apa kamu siap untuk dijodohkan dengan anak saya Kendric Abraham?” Jantung Ra berdetak lebih cepat dari biasanya, seolah masa depan yang ia bangun sejak di bangku SD sampai dengan SMA sempurna runtuh. Radista bukan tipe orang yang pengen nikah muda, dan sekarang di usianya yang belum genap dua puluh dia terpaksa harus menikah, demi bisa kuliah. So f*****g destiny! “Dan kamu Kendirc Abraham, apakah kamu menerima perjodohan ini?” Ken mengangguk cepat, bukan karena dia semangat tapi karena dia memang sudah tidak betah terjebak dalam situasi dan kondisi kaku seperti ini. Dia ingin bebas. Akhirnya setelah persetujuan dari kedua belah pihak sudah diputuskan kalau dua minggu lagi mereka berdua akan menikah. Tidak secara besar-besaran tentu saja, karena baik Ra maupun Ken tidak ingin ada yang tau kalau keduanya akan terikat janji suci. "Nggak bisa ya di undur sampai tahun depan? Mana tau papa berubah pikiran" Ken mencoba mengulur, gelengan kepala dari Nick menjawab segalanya. -Batas- Tatapan mata Ra lurus kedepan, menikmati lampu kendaraan yang hilir mudik kesana kemari. Sedikit senyuman terukir, dia tengah menertawakan nasib yang berakhir seperti ini. “Tetangga gue kemarin ngelamun, esoknya kesurupan terus muntah beling, sorenya jadi reog" "Lo nyumpahin gue jadi reog?" tanya Ra dengan suara ketus. "Kaga tuh" “Lo doain gue supaya kesurupan?” tanya Radista lagi, sebelum ini Ra belum pernah bertemu dengan laki-laki setengah iblis kayak Ken. Mana ada cowok yang seenaknya makan jagung terus satu bijinya di tiup ke arah muka Radista. Kan jorok! Mana kalau Ra mulai kesal Ken semakin senang menggoda, sialan. "Ganteng-ganteng b***k, ngeselin, jorok! Iyuh banget!" “Thanks loh udah bilang gue ganteng, ya nggak jauh lah sama Manu Rios" balas Ken, tak peduli jika dia di katai b***k dan segala macam makian lain, asal dia ganteng, beres. Di Indonesia kan emang gitu, asal good looking, dan berduit, semua beres. "Wah, penghinaan orang ganteng nih. Mana ada muka lo kayak Manu?? Seujung kukunya aja kaga ada yang mirip" "Iri?? Bilang bos!" Radista sontak berdiri dengan emosi yang tersulut, siap untuk war dengan manusia jadi-jadian ini. “Wah, nggak terima gue. Lo pilih mana, kuburan atau rumah sakit?!” Tawa Ken meledak, di tepisnya kedua kepalan Ra itu dengan mudah “Tangan mungil kayak gini nggak akan sanggup bikin gue masuk rumah sakit, apalagi masuk kuburan. Impossible” “Ck. Sombong gila! gue ini at-“ Radista mendadak diam, dia tidak ingin mengungkit soal itu lagi. Kata atlet dan Renang menyimpan kenangan buruk tersendiri untuk Ra. “Gue nggak bisa bayangin bakalan hidup serumah sama lo” lanjutnya kemudian, mengalihkan pembicaraan. “Nggak usah kepedean deh, lagian siapa juga yang mau serumah sama lo” balas Ken tak peduli. Lusa, dia akan belajar rasa peduli dari sosok yang ada di sampingnya ini. Ken menghabiskan jagung bakarnya dengan santai, Radista yang awalnya sudah duduk kembali kini langsung berdiri masih dengan mood yang buruk. “Gue mau pulang sekarang. Anterin gue sampe rumah." Ken membuang bonggol jagung itu ke tempat sampah, lalu berjalan ke arah motor dengan santai “Sorry, lo pulang sendiri” Ra di buat menganga saat Ken benar-benar meninggalkannya begitu saja. Entah kenapa mata Ra jadi berkaca-kaca, manusia berhati apakah yang akan menikah dengan dia nanti. “Lo manusia ter-tega yang pernah gue temui” ucap Ra sembari menunduk. Tak lama kemudian sebuah helm mendarat di kepala Ra, bukan, bukan, tidak sekasar itu, hanya saja Ken memakaikan helm pada kepala Radista dengan tidak lembut sama sekali, disusul suara yang menyebalkan. “Pake!” “k*****t! sakit kepala gue!” teriak Radista kaget, tak menampik kalau dalam hati dia merasa lega karena Ken tak benar-benar meninggalkannya. Hanya saja..“Lah, motor lo mana?” “Tuh” tunjuk Ken dengan santai kearah motor yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Radista menghela nafas pasrah. “Niat banget lo usilin gue” Tak ada jawaban dari Ken, mereka berdua berjalan beriringan menuju tempat di mana motor Ken berada. Kini Radista merutuki kebodohannya karena tidak membawa jaket, sementara pakaian malam ini sangat terbuka, alhasil dia kedinginan di terpa angin malam. Ken melirik sekilas ke arah Ra yang mendekap tubuhnya sendiri. “Nggak usah ngode minta di pakein jaket.” “Pd gila! nggak ada yang ngode situ kali” jawab Ra ketus, meski bibirnya sudah kaku lantaran kedinginan. Mereka sampai di depan motor, namun Ken tak kunjung naik membuat Ra semakin menggigil kedinginan. “Dingin?” tanya Ken sembari menatap Ra yang menyilangkan tangan di depan d**a. Radista mengangguk, dia sudah tak kuat lagi. “Cukup kali ini aja lo buat gue repot” setelah berkata seperti itu Ken segera melepaskan jaket dan memakaikannya ke tubuh Ra. Bisa gawat kalau dia membiarkan anak orang mendadak sakit, lagi pula tadi Ken sendiri yang mengajak Ra keluar dari ruangan menyebalkan, tempat dimana dia menyetujui perjodohan itu. “Terus lo gimana?” Tanya Ra, jujur dia sendiri juga khawatir dengan Ken kalau cowok itu menyetir malam-malam tanpa mengenakan jaket. “Nggak usah sok perhatian.” “Serah cacing kermi deh! gue baik salah! gue banyak bacot salah!” Radista mulai frustasi menghadapi makhluk jadi-jadian di depannya ini. Dia bergegas naik, dan motor itu langsung tancap gas melenggang menembus kabut malam. Jaket yang diberikan Ken masih tak mengurangi rasa dingin yang menusuk tulang nya "Ken!" panggil cewek itu dari belakang. "Gue boleh peluk lo nggak?! Dingin banget!" Sebenarnya bukan hanya Ra saja yang kedinginan, Ken juga. Apalagi dia hanya mengenakan setelan kemeja tipis saja sekarang. Mungkin pelukan cewek-super-kyud itu bisa membantunya mengurangi rasa dingin meski hanya sedikit. "Peluk aja" jawab Ken akhirnya, Ra langsung melingkarkan lengan nya pada perut Ken, sementara sang empu mendadak berdebar saat merasakan sentuhan Radista. Motor yang dikendarai sampai di depan rumah Ra setelah lima belas menit menembus kabut malam kota Bogor. Sang pemilik rumah turun, “Thanks” ucap Ra kembali jutek, melupakan kalau beberapa menit yang lalu dia memeluk Kendric dengan sangat erat. “Ra!” panggil Ken, Ra menoleh. “Apalagi? helm? tuh udah. Jaket? nih” Ra melemparkan jaket hitam itu ke arah Kendirc. Netra mereka tak sengaja bertemu dan memandang satu sama lain. “Thanks buat malam ini,” ucap Ken sembari terus menatap manik mata Ra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD