Tiga Puluh Juta

1259 Words
“Mohon segera dilunasi ya Mbak, agar ibu Irma segera melakukan operasi,” ujar staf administrasi sambil memberikan amplop ke hadapanku, ketika aku sedang berada di ruang administrasi untuk menanyakan berapa biaya operasi ibu kali ini. “Terima kasih,” ucapku singkat sambil mengambil amplop tersebut dan aku langsung keluar dari ruang administrasi, tanpa aku sadari, air mata jatuh membasahi kedua pipiku, saat aku tahu biaya operasi ibu dua kali lipat lebih mahal dari operasi yang pertama. “Tari kamu tidak boleh menangis, kamu pasti bisa mendapatkan uang tiga puluh juta. Tari berpikirlah jangan jadi wanita lemah,” gumam ku menyemangati diriku sendiri. Saat aku benar-benar tidak tahu cara mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu satu minggu. Aku langsung menghapus air mataku, karena aku tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. “Maaf Tuan, aku tidak sengaja,” ucapku pada seorang pria yang baru saja aku tabrak. Tapi tidak ada tanggapan dari pria tersebut yang langsung pergi sambil mengambil amplop miliknya yang jatuh di atas lantai, dan begitu pun aku, yang juga mengambil amplop yang terjatuh di lantai, dan aku langsung memasukkan amplop tersebut ke dalam tas milikku. Kemudian aku segera meninggalkan rumah sakit. *** “Tari aku masih mengantuk, jangan bangunkan aku,” ujar Celin sambil menarik selimutnya kembali untuk menutupi tubuhnya, saat aku datang ke tempat kosnya yang tidak dia kunci. Karena Celin pasti tidak sadar pulang ke tempat kos dengan keadaan mabuk, tercium dari kamar kos Celin yang begitu menyengat bau minuman keras. “Celin ini sudah jam empat sore,” kataku sambil menarik selimut yang menutupi tubuh Celin. “Apa!” teriak Celin yang langsung membuka kedua bola matanya dan beranjak dari tidurnya sambil memegangi keningnya. “Untung kamu datang dan membangunkan ku. Aku lupa harus mengirim uang untuk ibu di kampung,” ujarnya sambil menyambar ponsel miliknya yang ada di atas meja tidak jauh dari tempatnya berada. “Tumben kamu ke tempat kosku. Ini masih jam empat?” tanya Celin sambil mengotak-atik ponsel miliknya tanpa menatapku. “Aku ingin meminjam uang darimu Cel,” ucapku membuat Celin langsung menghentikan aktivitasnya. Dan langsung menatap ke arahku sambil memicingkan matanya. “Kemarin kamu baru saja gajian Tari, apa uang itu sudah habis?” tanya Celin dan aku langsung menggelengkan kepalanya. “Terus, untuk apa kamu ingin meminjam uang? Apa ibumu masuk rumah sakit lagi?” tanya Celin lagi, dan aku langsung mengangguk. “Kamu ingin meminjam berapa?” “Tiga puluh juta,” “Kamu gila! Aku mana ada uang segitu. Semalam aku hanya di bayar sepuluh juta dan baru saja aku transfer ibu di kampung semuanya, kalau kamu ingin pinjam, aku masih ada uang di tabungan sekitar lima juta, kalau kamu mau pakai. Pakai saja dulu, nanti malam aku bisa mencari lagi,” “Sisanya aku harus mencari ke mana Cel, aku tidak punya siapa-siapa lagi, tidak ada yang bisa aku pinjami uang lagi selain kamu,” ucapku sambil merebahkan tubuhku di atas tempat tidur Celin, sahabatku yang bekerja di klub malam, dan hanya dengan Celin aku bisa dekat, karena Celin begitu baik padaku dan mengerti akan aku. “Kamu masih virgin Tar, kamu bisa mendapatkan uang lebih dari tiga puluh juta, tinggal kamu jual saja tubuhmu,” saran Celin dan aku langsung beranjak dari tempat tidurnya, dan menatap kearahnya sebelum aku turun dari tempat tidur, saat aku benar-benar tidak habis pikir, Celin bisa bicara seperti itu padaku. “Kamu pikirkan saja dulu. Tidak ada salahnya berkorban untuk ibumu sendiri Tar,” ucap Celin saat aku akan keluar dari kamar kos miliknya. Tapi aku tidak menghiraukan perkataan Celin. Dan langsung pergi meninggalkan kamar kosnya. “Apa aku harus mengikuti saran Celin? Tidak Tari, jangan kamu rusak dirimu sendiri. Masih banyak jalan lain untuk mendapatkan uang,” gumam ku pada diri sendiri, setelah aku keluar dari tempat kos Celin sahabatku selama bekerja di klub malam, dan sekarang aku tahu siapa lagi yang bisa membantuku. *** Sekarang aku di sini, berdiri tepat di depan rumah yang tergolong megah. Dan sudah berulang kali aku menekan bel rumah tersebut, tapi tidak ada tanda-tanda seseorang yang akan keluar dari dalam rumah tersebut. Saat aku memutuskan ingin meminjam uang dari pemilik rumah tersebut yang sudah sangat aku kenal. “Maaf Neng, Neng mencari siapa?” tanya wanita paruh baya yang tiba-tiba menghampiriku. “Nathan Bu,” “Oh nak Nathan. Apa Neng tidak diberi tahu, kalau sebulan lalu keluarga nak Nathan pindah ke Singapura?” tanya ibu paruh baya tersebut dan aku langsung menggelengkan kepalaku. Kemudian aku menghembuskan nafas, entah ke mana lagi aku harus mencari uang setelah tujuan akhir aku tidak membuahkan hasil. Dan aku langsung mengambil ponsel milikmu yang berada di dalam tas, saat ponsel milikku tidak berhenti berdering. *** “Mama,” ucap laki-laki yang baru masuk ke dalam ruang perawatan di mana ada seorang wanita paruh baya sedang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. “Vier sayang kemarilah,” ucap wanita paruh baya tersebut sambil merentangkan ke dua tangannya untuk memeluk sang putra. “Mama sangat merindukanmu Vier,” “Aku juga merindukan Mama, maaf Mama harus terbaring lemah. Pasti Mama kelelahan karena mengurus acara pernikahanku. Aku sudah mengatakan pada Mama, biarkan WO yang mengurus semuanya, Mama tidak pernah mendengarkan apa yang aku katakan,” “Mama hanya ingin memastikan semuanya berjalan dengan sesuai rencana sayangku Xavier Adi Barata, yang seminggu lagi akan melangsungkan pernikahan,” ucap wanita paruh baya tersebut sambil melepas pelukannya. “Terserah pada Mama, aku pasti kalah kalau bicara dengan Mama,” ucap Xavier sambil mencium kedua pipi sang mama. “Mama ingin lihat, Mama terkena penyakit apa, kenapa Mama tiba-tiba jatuh pingsan,” ujar Mama Xavier sambil merebut amplop yang berada di tangan putranya. “Ma jangan!” ucap Xavier tapi sang mama sudah terlebih dahulu membuka amplop tersebut. “Apa! Mama terkena kanker p******a. Sejak kapan?” ujar Mama Xavier terkejut sambil menatap sang putra, kemudian Xavier mengambil amplop yang berada di tangan sang Mama dan membacanya dengan teliti. Pasalnya dokter tadi menjelaskan jika sang Mama hanya menderita penyakit gula, bukan kanker p******a. “Atau jangan-jangan,” gumam Xavier sambil mengingat kembali jika dirinya tadi menabrak seseorang saat akan menuju ke ruang perawatan sang mama. “Ma, aku pergi dulu. Sepertinya ada yang salah,” ujar Xavier yang langsung pergi meninggalkan ruang perawatan sang mama. Xavier langsung menuju ruang administrasi untuk menanyakan di mana nama pasien yang tertera di selembaran kertas tersebut di rawat. “Apa Tuan ingin melunasi pembayaran milik ibu Irma?” tanya staf administrasi setelah Xavier menanyakan di mana ibu Irma dirawat. “Karena semakin cepat dilunasi semakin cepat ibu Irma ditangani. Jangan sampai seperti operasi yang pertama, anaknya baru bisa melunasi setelah dua minggu,” jelas staf tersebut membuat Xavier langsung mengerutkan keningnya dan langsung pergi meninggalkan ruang administrasi tanpa mengatakan apa pun. Aku langsung terduduk lemas di ruang tunggu yang tidak jauh dari ruang ICU di mana ibu mendapat perawatan. Entah apa yang harus aku lakukan untuk mendapat uang dan melunasi biaya administrasi, saat aku tidak mendapat uang sepeserpun. “Ya Tuhan, apa aku harus menjual tubuhku untuk biaya operasi ibu? Aku tidak ingin itu Tuhan, tolong tunjukkan jalan padaku Tuhan, tapi tidak dengan menjual tubuhku ini,” ucapku saat tidak ada siapa pun di ruang tunggu. Dan aku langsung meraup wajahku dengan kedua tangan karena aku benar-benar frustrasi, saat aku benar-benar tidak tahu harus mendapatkan uang untuk biaya operasi ibu dari mana. “Maaf Nona,” ucap seseorang tepat di hadapanku, membuat aku langsung terkejut, lalu menatap orang tersebut, berharap orang yang sekarang berada dihadapanku tidak mendengar apa yang baru saja aku ucapkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD