Ada Apa Dengannya?

1213 Words
“Amplop kita tertukar,” ucap pria yang ada di hadapanku sambil mengulurkan tangannya untuk memberikan amplop. “Oh maaf, Tuan,” aku langsung mengambil amplop yang berada di tangan pria tersebut dan menukarnya dengan amplop yang masih tersimpan di dalam tas milikku. Aku segera menghembuskan nafas lega setelah pria tersebut meninggalkanku tanpa berkata apa pun. Dan aku pun tidak peduli pria tersebut mendengar apa yang aku katakan atau tidak. Karena pikiranku terpenuhi dengan bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi ibuku yang harus segera di lakukan. “Kak aku bersumpah. Bukan aku yang memberi tahu tentang pekerjaan kakak. Aku juga tidak tahu ibu mengetahuinya dari siapa,” jelas adikku yang sekarang ikut duduk di sampingku. “Tidak perlu dibahas lagi Aya. Lupakan saja, kita doakan agar ibu cepat pulih,” ujar ku saat aku tidak ingin membahas tentang pekerjaanku yang sudah ibu ketahui dan membuat ibu menjadi kritis seperti sekarang ini. “Aya kamu jaga ibu. Kalau ada apa-apa langsung telepon kakak, mana titipan kakak? Kakak ingin bekerja,” “Tapi Kak,” ujar Cahaya sambil memberikan paper bag titipan ku. Yang Cahaya ambil dari kontrakan. “Aya. Kalau kakak tidak kerja kita makan apa? Biaya pengobatan ibu bagaimana?” ucapku sambil beranjak dari tempat duduk dan aku langsung menuju toilet rumah sakit dengan terburu-buru saat jam ponselku sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dan aku harus mendapatkan uang tiga puluh juta malam ini juga. *** “Vier kamu membuat mama cemas. Mama kira, mama terkena kanker p******a sungguhan," ujar wanita paruh baya yang ada di ranjang perawatannya, tak lupa menghembuskan nafasnya lega. Saat sang putra kembali dan menunjukkan amplop yang baru saja ditukarnya. “Mama saja yang sudah paranoid duluan. Oh ya Ma, aku tinggal tidak apa-apa kan? Aku ingin menemui calon istriku, sudah hampir tiga bulan aku belum menemuinya,” “Pergilah. Salam dari mama untuk Jeni ya sayang, kamu bawa mobil sendiri atau dengan Mana asisten kamu?” “Dengan siapa lagi Ma, kalau bukan dengan Mana. Tepatnya Lesmana. Oke Ma, kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa nanti,” ujar Xavier sambil mencium pipi sang mama dan langsung pergi meninggalkan ruang perawatannya. “Mana antarkan aku ke apartemen Jeni. Sudah lama aku tidak menemuinya," ujar Xavier pada Lesmana saat dirinya sudah berada di lobi rumah sakit. “Ok siap Pak. Pak Vier tunggu disini aku akan mengambil mobil,” ucap Lesmana membuat Xavier langsung mengangguk dan tatapan matanya tertuju pada seseorang, lalu Xavier mengerutkan kedua alisnya. Saat mendapati orang yang sama tapi dengan penampilan yang berbeda seratus delapan puluh derajat, sedang berdiri di halte bus yang tidak jauh dari rumah sakit, kemudian Xavier langsung tersenyum sinis sambil menggelengkan kepalanya. Xavier segera masuk ke dalam mobilnya saat Lesmana menghentikan mobilnya tepat di depan lobi rumah sakit. Mata Xavier langsung menatap seseorang yang berada di halte saat mobil yang dinaikinya melewati halte tersebut. “Ada apa dengannya?” tanya Xavier pada dirinya sendiri saat mendapati wanita yang sedari tadi mengalihkan pandangannya, berdiri dengan tatapan kosong dengan wajah yang muram. “Siapa Pak?” “Tidak ada siapa-siapa. Kamu fokuslah mengemudi,” perintah Xavier. Kemudian dia langsung mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam kantong celananya untuk menghubungi seseorang. “Jeni ke mana kamu, dari tadi pagi susah sekali aku menghubungi kamu,” ujar Xavier sambil menatap ponsel miliknya, saat dirinya menghubungi calon istrinya tapi nomornya tidak aktif. *** “Faster oh no. Lebih cepat lagi sayang, aku sudah tidak tahan,” ucap seorang wanita di bawah kungkungan seorang pria sambil memeluk erat tubuh pria tersebut yang sedang menghentak-hentakan tubuh bagian bawahnya menghujami daerah inti wanita tersebut dengan cepat. Dan di akhiri dengan suara lenguhan dari bibir keduanya bergantian saat keduanya telah mencapai puncak kenikmatan sesaat. Dan di saat itu juga ada seseorang yang masuk ke dalam kamar apartemen tersebut dan menyaksikan pergulatan panas di atas ranjang. “Jeni!” teriak Xavier saat mendapati calon istrinya sedang melakukan pergulatan panas di atas ranjang dengan mata kepalanya sendiri dengan pria lain. Membuat Jeni langsung terkejut begitu pun dengan pria yang bersama Jeni di atas ranjang, dengan tubuh keduanya yang tidak menggunakan sehelai benang pun. Dan keduanya langsung memakai pakaian yang tercemar dilantai. Xavier mendekat ke arah Jeni sambil menampar kedua pipinya, dan pria yang bersama Jeni langsung mendorong tubuh Xavier, saat Xavier ingin menampar Jeni kembali. “Apa ini sambutan untukku Jen! Katakan padaku apa ini sambutan untuk aku, calon suamimu. Jawab Jen!” teriak Xavier dengan begitu emosi mendapati wanita yang dicintainya dan akan menjadi calon istrinya, mengkhianati dirinya. “Jeni!” “Iya ini sambutan untukmu Vier. Aku sudah lelah dengan kamu Vier,” ujar Jeni yang masih memegangi pipinya yang mendapat tamparan dari Xavier, dan masih berada di dalam pelukan pria yang bersamanya. “Apa yang kurang dariku Jen. Hingga kamu tega mengkhianati ku seperti ini. Apa pun yang kamu inginkan aku selalu mewujudkan Jen. Katakan padaku apa yang kurang dari ku Jen!” teriak Xavier sambil meneteskan air mata dari kedua pelupuk matanya. Saat hatinya serasa tertusuk seribu belati melihat wanita yang sangat dicintainya telah mengkhianatinya. “Hanya satu. Kasih sayang penuh kenyamanan. Aku tidak bisa merasakan itu darimu Vier. Kamu itu egois, dingin dan memperlakukan aku bukan layaknya kekasih, aku bagaikan boneka mu yang harus mengikuti apa pun yang kamu suruh, aku sudah bosan dan muak denganmu Vier, aku butuh kasih sayang butuh kenyamanan dan aku bisa merasakan itu dari Exel. Dan aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kita sekarang juga. Aku tidak ingin memiliki kekasih dan calon suami seperti dirimu,” jelas Jeni yang langsung meninggalkan Xavier di dalam apartemen miliknya. Xavier langsung berteriak sekencang mungkin, sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya selepas kepergian kekasihnya. Air mata terus membanjiri kedua pipinya. Dan dirinya beralih bersimpuh sambil memukul-mukul lantai saat dunianya benar-benar gelap dan berhenti, mendapati wanita yang dicintainya mengkhianatinya, membuat tubuhnya langsung tersungkur dilantai. “Ya Tuhan apa salahku. Jawab ya Tuhan!” teriak Xavier sambil terus terisak. “Pak. Apa yang terjadi Pak Vier?” tanya Lesmana saat sudah menghampiri Xavier, takut terjadi sesuatu dengan bosnya tersebut, saat dirinya melihat Jeni berjalan dengan pria lain keluar dari apartemen. Kemudian Lesmana membantu Xavier untuk berdiri. “Apa salahku. Hingga dia tega mengkhianati ku Mana, apa salahku? Katakan padaku Mana, katakanlah?” tanya Xavier tapi tidak dihiraukan oleh Lesmana yang langsung memapah tubuh Xavier keluar dari apartemen tersebut. Tahu kalau Xavier tidak sedang baik-baik saja. *** “Pak hentikan. Ini tidak baik untuk kesehatan pak Vier,” ujar Lesmana sambil menahan tangan Xavier saat akan menenggak minuman keras untuk yang ke sekian kalinya. Saat Xavier menyuruh Lesmana untuk membawanya ke klub malam. “Singkirkan tanganmu! Aku merasa lebih baik sekarang,” perintah Xavier sambil menyingkirkan tangan Lesmana. “Tapi Pak Vier tidak pernah minum sebanyak ini sebelumnya pak?” “Diam, dan jangan banyak bicara. Cepat kamu pesankan minuman lagi, dan jangan banyak bicara. Aku ingin minuman yang terbaik di klub malam ini. Cepat Mana!” “Baik Pak,” ucap Lesmana yang langsung keluar dari ruang VVIP klub malam di mana Xavier berada. “Mbak bawakan satu botol minuman yang terbaik di klub malam ini,” pinta Lesmana pada salah satu pelayanan klub malam tersebut yang kebetulan melewati depan ruang VVIP di mana Xavier berada. “Baik Tuan,” ujarnya sambil tersenyum manis pada Lesmana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD