7. Pertemuan Yang Gagal

1519 Words
Qiara terlihat semangat memakan nasi bungkus yang Riani beli untuknya dan ibunya, Riani memang wanita yang baik, bahkan memberikan uang pada Devina jika wanita itu membutuhkannya, ia memang tidak diterima di panti asuhan ini, namun ia memilih bekerja tanpa di bayar dan hanya diberi makan bersama putrinya saja yang ia inginkan. Ia sudah lama bertahan diluar sana, dan dia benar-benar tidak sanggup melalui semuanya. Pada akhirnya ada Riani yang membawanya masuk ke panti asuhan ini dan bertemu dengan pemiliknya yang jahat dan disiplin. “DEVINA!” teriak Sinta membuat Devina beranjak dari duduknya. “Sayang, Mama ketemu Ibu Sinta dulu, ya, kamu tetap di sini dan habiskan makanannya,” kata Devina mengelus dagu putrinya. “Tapi kan Mama belum makan,” kaat Qiara. “Mama akan makan nanti, mama belum lapar,” jawab Devina. “DEVINA!” teriak Sinta lagi. “Mama pergi dulu, kamu habisin makanannya, ya,” kata Devina lalu melangkah meninggalkan putrinya yang tengah makan nasi bungkus. Riani hanya bisa membelikan satu bungkus, jadi Devina sudha biasa menahan lapar, yang terpenting Qiara bisa makan enak. “Iya, Bu?” tanya Devina menghampiri Sinta, lalu duduk berlutut dihadapan sang empunya. “Pijit saya, badan saya sangat pegal,” perintah Sinta. “Baik, Bu,” jawab Devina lalu duduk dilantai dan Sinta di kursi, lalu memijat kaki Sinta. Devina kuat dan tidak akan pernah mengeluh hanya karena masalah seperti ini, Devina sudah mengalami yang lebih parah dari ini, bahkan ketika hamil tua tak ada yang mau menumpanginya, sungguh kejam dunia, apakah ini yang dinamakan kehidupan sangat keras? Sehingga tak ada yang bisa menengadahkan tangan membantunya? Andai saja ia hidup bersama Zein, ia pasti tidak akan menderita seperti ini, bahkan Qiara akan sekolah di tempat mahal dan disekolah yang bisa mengajarkan pada Qiara tentang kerasnya hidup ini, semuanya pasti akan Qiara dapatkan, dari mainan dan semua yang bisa membuatnya senang bahagia, andai saja ia bisa hidup dengan Zein. . Flashback ON. Devina sampai di sebuah rumah yang ada dikawasan elit, Devina tengah hamil tua, dan usia kandungannya menginjak 7 bulan, Devina mengetuk pintu. Ia sudah menghafal alamat rumah suaminya itu diluar kepala, bahkan tempat mereka akan bertemu, namun Devina sudah ke tempat dimana mereka akan ketemu, namun Zein tidak ada ditempat. Keluarlah seorang gadis muda yang begitu cantik, penampilannya begitu menarik bak model, sungguh jauh seperti dirinya. “Siapa kamu?” tanya wanita itu. “Aku mau bertemu Zein Winata,” jawab Devina. “Izinkan aku bertemu dengannya.” “Kamu siapanya Zein? Kamu gembel jangan kemari, Zein itu udah mau nikah sama aku, jadi jangan pernah kemari. Gembel kok bangga sih ah,” celetuk wanita itu yang tak lain tak bukan  adalah Rahelia. “Aku benar-benar harus bertemu dengannya.” “Udah ya, kamu pergi sana, jangan pernah kemari lagi, Zein itu udah mau nikah, jadi gembel kayak kamu nggak usah gangguin orang.” “Aku istrinya, aku yang pernah bersamanya di Spanyol, aku hamil anaknya. Lihat aku mengenakan cincin, Zein juga pasti mengenakannya,” kata Devina memperlihatkan cincinnya, Rahelia membulatkan mata dan melihat penampilan Devina. Sungguh diluar dugaannya, jadi ini wanita yang Zein dambakan, bahkan mampu membuat Zein sulit bernapas meski hanya sekali. Rahelia menganggukkan kepala. “Oh jadi kamu wanita itu?” “Ya. Izinkan aku bertemu dengannya, tadi aku ke taman bermain, namun dia tidak datang.” “Kamu tahu rumah ini dari mana?” “Aku tahu dari dia, dia yang memberiku alamat ini.” “Ini memang rumah Zein, namun tahukah kamu mengapa Zein nggak datang ditaman bertemu denganmu?” Devina menautkan alis. “Apa maksudnya?” “Zein tidak ingin kamu mengganggunya lagi, kamu harus pergi dari sini, dan jangan pernah mengganggu Zein, kami akan menikah sebentar lagi, dan kami akan bahagia, meski kamu datang bersama anakmu di sini, Zein nggak akan pernah mau bersamamu kembali, dia itu udah bahagia di sini, jadi jangan menambah bebannya.” “Apa maksudmu, kamu jangan mengatakan hal yang bukan-bukan biarkan aku bertemu dengannya, aku harus mengatakan bahwa aku datang.” “Pergi sana,” kata Rahelia mendorong Devina hingga terjatuh dilantai. “Awww,” ringis Devina. “Kamu kembali lah, jangan pernah kemari lagi, kamu hanya akan menjadi bebannya, sekarang ini Zein sedang nggak akur dengan ayahnya, bahkan semua milik Zein akan kembali pada ayahnya jika dia nggak menikah denganku, jadi kamu jangan pernah mengganggu kami, kedatanganmu hanya akan membawa petaka buat Zein,” tunjuk Rahelia sengaja berbohong agar Devina pergi dari sini sebelum Zein kembali. “Kamu nggak tahu kan mengapa Zein ke Spanyol? Dia sudah kehilangan segalanya sejak awal, jadi jangan pernah membuat semuanya kembali menghilang.” Setelah mendengar apa yang dikatakan Rahelia, Devina lalu melangkah meninggalkan rumah besar tersebut, dengan sunggingan senyum wanita itu. Devina menitikkan air matanya, jika saja ia ada uang ia akan kembali ke Spanyol, setidaknya ia bisa bekerja di sana dan menjalani hari di sana, namun semua tinggal abu, tak ada lagi yang bisa ia lakukan, keluarganya tak menerimanya, ditambah lagi suaminya sendiri. Devina berjalan kaki meninggalkan kawasan itu dan sebuah mobil melintasinya, Devina melihat suaminya itu, namun tidak berani berteriak atau pun berlari, ia pasti hanya akan menjadi beban. Devina menangis sejadi-jadinya hingga bahunya berguncang. Flashback OFF. . . Devina menitikkan air mata, andai saja bisa mengulang waktu, ia tidak akan pernah mau jatuh cinta apalagi menerima lamaran Zein, ia tidak akan pernah bisa mendapatkan apa pun dari pernikahannya ini, bahkan ia hanya dinikahi dan dihamili, setelah itu dibuang seperti ini, dan dengan entengnya menikah dengan orang lain. Devina sudah kehilangan harapan hidup, namun kelahiran Qiara ke dunia membawa semangat baru untuknya, ia harus berjuang setidaknya demi putrinya. “Duh. Kamu mijit yang bener donk,” kata Sinta. “Maaf, Bu.” “Kamu nangis?” tanya Sinta menarik kakinya. “Kenapa kamu menangis?” “Nggak apa-apa, Bu, aku hanya lagi nggak enak badan.” “Kalau nggak enak badan harusnya kamu tinggalkan panti asuhan ini. Aku nggak rela kamu ada di sini dan sakit di sini, kasihan anak-anak, mereka bisa terkena virus jika kamu tetap di sini, ajak anakmu pergi dan tinggalkan tempat ini,” kata Sinta sengaja menyindir Devina. “Maaf, Bu, saya nggak punya tempat lain selain tempat ini.” “Lalu kamu mau terus di sini dan bergantung pada kami? Kami sudah banyak tanggungan, kamu mau nambah lagi? Jika anakmu saja ya nggak apa-apa, namun dengan kamu itu yang membuatku nggak bisa terima.” “Ma, udah lah, jangan gituin Devina terus,” kata Burhan—sang suami dari Sinta. “Meski dia sakit, tapi dia udah banyak bantuin kita di sini. Tanpa di bayar pula.” “Dia kan numpang di sini, rumah ini rumah siapa? Rumah aku kan, jadi dengan bekerja bisa membayar sewa tempatnya tinggal dan belum dengan uang makannya, jadi nanti kamu harus kerja dan cari uang untuk membayarku. Atau kamu … mau ke luar negeri menjadi TKW?” tanya Sinta. Devina menggelengkan kepala. ‘Aku akan kerja untuk mencari uang tiket ke Spanyol.’ Devina membatin. *** “Oh iya, Rama, katakan pada klien bahwa aku akan melakukan rapat melalui panggilan video,” kata Zein berjalan beriringan dengan Rama sekretarisnya. “Dan … katakan pada Dina untuk tidak mengganggguku.” “Baik, Pak,” jawab Rama. “Oh iya, aku nggak terima proposal lagi ya, berikan langsung pada tim analisa.” “Baik, Pak,” jawab Rama lagi membuat Zein menganggukkan kepala. “Ya sudah. Siapkan semuanya,” kata Zein lalu masuk ke ruangannya, sedangkan Rama menghubungan dengan klien. Zein sedang kurang sehat, cincin ditangannya terus mengusiknya, cincin yang telah disematkan Devina. Zein mengiris hati, namun tak bisa berbicara, rasa sakit yang tidak bisa ia tahan, namun coba tegar dalam keadaan apa pun, Zein pasti akan bertemu Devina nanti. “Pak, semuanya sudah siap,” kata Rama. “Oke.” “Oh iya, Pak, mohon maaf sebelumnya, tapi saya di perintahkan oleh Pak Dante untuk memberitahu Anda bahwa ada jadwal makan malam bersama beliau.” “Kapan jadwalku ada makan malam?” “Maaf, Pak, namun Pak Dante memaksa, katanya ini demi Bapak juga.” “Rama, kamu bawahanku dan aku atasanmu, jangan menerima perintah dari siapa pun selain aku, kali ini aku biarkan, namun lain kali jangan terjadi seperti itu.” “Baik, Pak, maaf.” “Jam berapa makan malam yang di atur ayahku?” “Jam 8 malam.” “Oke. Kamu bisa menemaniku di sini dan berikan apa yang harus aku bicarakan pada para klien, aku sedang kurang sehat dan aku nggak bisa lama-lama untuk duduk.” “Satu lagi, Pak,” kata Rama. “Ya ampun, Rama. Ada apa lagi sih?” “Pak Temmy dan Ibu Pelinda akan kembali ke Jakarta, mereka akan liburan di sini,” kata Rama lagi, membuat mimik wajah Zein senang, namun tidak terlalu diperlihatkan. “Oke. Suruh seseorang untuk menjemput mereka, dan antarkan mereka ke rumahku.” “Baik, Pak,” jawab Rama. “Ada lagi?” “Nggak ada, Pak.” “Ya sudah. Mulai rapatnya, aku sedang buru-buru.” Rama lalu menghampiri monitor dan menghubungkannya pada layar klien, Zein memang sangat jarang menghadiri meeting, namun pekerjaannya tak ada yang meragukan karena semuanya sangat sempurna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD