1. Tidak Mudah

2240 Words
Aila masuk ke dalam ruangannya setelah menempelkan sidik jari jempolnya pada alat finger print yang menempel pada dinding depan ruang marketing sebuah perusahaan produk sayur dan buah organik. Di dalam ruangan masih tampak sepi karena jam kerja baru akan dimulai 20 menit lagi. Ia meletakkan tas tangannya pada pojok kubikel kemudian kembali melangkah keluar ruangan untuk menuju pantry yang ada di lantai itu. Suasana lengang ia dapati ketika kakinya berhasil menginjak ruangan pantry. Aila segera merebus air. Ia kurang menyukai air panas yang ada di dispenser sehingga dirinya lebih suka menyiksa dan merepotkan diri untuk merebus air ketika akan membuat minuman hangat. Berjalan ke arah lemari kayu kecil yang berada pada sudut pantry, ia mengambil minuman sachet rasa cokelat yang selalu dibeli dan disimpan setiap tanggal muda. Tanggal di mana baru saja mendapat gaji. Selanjutnya, bungkus itu ia buka dan ia tuangkan bubuk cokelatnya ke dalam gelas putih, salah satu souvenir dari pernikahan temannya semasa SMA. Saat air dalam panci sudah mendidih, Aila mematikan kompor kemudian menuangkan air ke dalam gelas yang telah berisi bubuk cokelat tadi. “Sudah di pantry aja kamu, Ai,” ucap sebuah suara orang yang berada di belakangnya saat ia sedang khusyuk mengaduk minumannya. Aila memutar tubuhnya dengan membawa secangkir cokelat panas yang ia genggam dalam dua telapak tangannya. Ah ternyata Raihan, salah satu anak marketing juga. “Iya. Tumben kamu sudah datang ke kantor jam segini? Masih kurang 20 menit lho jam kerjanya. Biasanya kamu kan datangnya suka mepet,” sindir Aila dengan nada rendah. Urusan sindir menyindir memang Aila ahlinya. “Bukannya bersyukur temennya datang lebih awal. Eh masih saja kamu nyinyiri,” ujar Raihan dengan nada sebal. “Namanya juga manusia terutama perempuan kayak aku, kalau nggak nyinyir itu nggak asyik, Han. Lagian dengan nyinyiran, seseorang itu akan menjadi kuat.” “Ya terserahlah. Suka ngelantur kemana-mana kamu kalau ngomong.” Aila tidak peduli. Ia memilih menyesap cokelatnya yang masih panas pada sofa warna abu-abu. Sedangkan Raihan, ia berjalan ke arah meja tempat meletakkan gelas untuk mengambil gelasnya. Kemudian tampak Raihan sedang sibuk berkutat membuat kopi. “Aku ada rapat dengan pemasok buah-buahan baru. Makanya aku datang lebih awal,” ucap Raihan sambil berjalan ke arah Aila. Ia hendak bergabung untuk menikmati kopinya bersama Aila. Aila hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sebenarnya tidak suka ikut campur urusan orang lain, tetapi masalah sindir menyindir jika ia tidak suka akan pekerjaan seseorang maka ia akan langsung mengatakannya. Lebih baik terus terang mengatakannya dari pada memendam dalam hati dan akan menimbulkan penyakit dalam dirinya. Begitu prinsip Aila. Yah, meskipun akan banyak orang yang sakit hati karena ucapan nyablak Aila. “Kamu kenapa suka banget datang pagi?” tanya Raihan. “Nggak juga sih. Hanya saat nebeng ayah atau adek makanya datang lebih awal,” jawab Aila sambil berdiri dari duduknya. Ia berjalan ke arah wastafel untuk mencuci panci yang tadi ia gunakan untuk merebus air dan gelas keramik putihnya yang masih terdapat sisa endapan bubuk cokelatnya. “Aku duluan ya, Han,” pamit Aila setelah ia mengeringkan tangannya pada mesin pengering tangan. Raihan hanya menjawabnya dengan gumaman. Ia menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan sikap Aila yang sering membuatnya kesal dan juga kagum secara bersamaan. Aila kembali masuk ke dalam ruang marketing, ruangan sudah mulai penuh oleh pegawai. Rekan-rekan Aila tampak sedang berbincang satu sama lain. Aila mengucapkan selamat pagi kepada semua orang yang terdapat dalam ruangan sehingga membuat perbincangan rekan-rekannya terhenti karena menjawab sapaan Aila. Ada pula yang acuh dan tetap sibuk dengan urusannya masing-masing. “Aila,” panggil Mas Ridho—salah satu editor—membuat Aila harus menghentikan langkahnya yang hendak menuju kubikelnya. Aila memutar tubuhnya menghadap ke arah Ridho. “Kenapa, Mas?” tanya Aila dengan pandangan menyelidik. Perasaannya menjadi tak enak karena Ridho sudah memanggilnya sebelum jam kerja. Jarum jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul 7:56, masih ada waktu empat menit untuk para pegawai bersantai sebelum disibukkan dengan pekerjaannya. Ridho memasang cengiran sejenak sebelum menjawab pertanyaan Aila. “Progress Si Merah sudah berapa persen, Ai?” Aila menghela napas sejenak. Ia tidak boleh memaki Ridho di pagi harinya yang tenang ini. Cukup Raihan saja yang mengganggu ketenangannya meminum cokelat tadi. “Ya ampun, Mas. Baru saja kemarin pagi aku ngirim si hijau. Sekarang mas sudah menanyakan progress Si Merah,” jawab Aila sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Ridho tertawa sungkan. Ia tidak ingin membuat Aila terbebani, tetapi Pak Bagyo—kepala marketing sudah memintanya agar bekerja lebih cepat. Sehingga ia mendesak Aila agar Aila segera menyerahkan konten tentang Si Merah. “Pak Bagyo minta cepet, Ai,” ucap Ridho pelan. Ia tidak ingin ucapannya didengar oleh orang lain, terutama Pak Bagyo yang mungkin sebentar lagi akan masuk ke ruangan. Aila sudah menduganya. Pak Bagyo memang suka sekali membuat anak buahnya kerja keras dan tidak boleh berleha-leha sejenak untuk menikmati ketenangan di tengah padatnya deadline. “Kuusahakan besok siang selesai, Mas,” janji Aila. Meskipun ia tidak yakin hasilnya akan baik. “Do the best as always ya, Ai,” semangat Ridho kemudian ia segera meninggalkan Aila secepat mungkin sebelum ia mendapatkan semprotan hangat. “Do the best, do the best. Enteng banget kamu mas kalau ngomong. Sedangkan diriku ini harus tertatih-tatih dalam merangkai kata persuasi,” gerutu Aila sambil menyalakan laptopnya. Pekerjaan yang dibebankan kepada pegawai memang selalu diluar nalar, tetapi yang menguntungkan adalah, setiap karyawan mendapatkan fasilitas laptop yang akan terus dimiliki meskipun resign. Selain itu, gaji yang diberikan juga tidak tanggung-tanggung. Hal itu tentu saja menguntungkan. Namun kadang kala juga sering membuat pegawai kesal karena atasan yang selalu minta semuanya serba cepat. Aila segera membuka lembar kerja yang berisi tentang deskripsi Si Merah. Si Merah yang dimaksud adalah paket sayur dan buah organik yang berwarna merah atau merah keunguan. Dan si si warna yang lain itu adalah ide Pak Bagyo. Meskipun Pak Bagyo menyebalkan, idenya selalu cemerlang dan kekinian. Sebagai pegawai Aila merasa kagum dengan ide dan segala yang dicanangkan oleh beliau, apalagi di usia Pak Bagyo yang sudah hampir menginjak 50 tahun. Aila fokus memperhatikan buku tentang flora yang bermanfaat di Indonesia dan sesekali matanya beralih ke layar laptop. Layar laptop juga menampilkan gambar produk Si Merah. Pada gambar itu terdapat selada merah, kubis merah, buah pulm, dan anggur merah. Produk yang selalu dikemas setiap hari. Selain itu, produk tersebut juga akan selalu dicek kualitasnya setiap dua jam sekali. Tentu saja agar kualitas dan kesegarannya terjaga. Sebenarnya produk ini harganya tidak jauh beda dengan tiap barang yang dijual eceran. Hanya saja tampilannya yang unik dan menarik, diharapkan lebih banyak pembeli yang berminat. Selisih harga sedikit pun tidak dipermasalahkan. Karena kebanyakan seseorang akan langsung jatuh cinta dengan tampilan visual yang menarik. *** Waktu terus berjalan hingga jarum jam sudah akan menuju pukul 16.30. Kantor tempat Aila bekerja mempekerjakan pegawainya selama 8 jam setengah dengan satu jam setengah digunakan sebagai waktu istirahat, sholat, dan makan. Menyenangkan sekali, bukan? Getar handphone Aila membuat fokus Aila sedikit teralihkan dari layar laptop. Nama Angga terpampang nyata di layar, memunculkan sebersit senyum bahagia di bibir Aila. Tanpa berpikir panjang, ia segera menerima panggilan itu. “Assalamu’alaikum, Ngga,” ucap Aila. “Wa’alaikumsalam Tante Aila,” jawab sebuah suara kecil yang menggemaskan. Senyum Aila semakin merekah lebar. “Ada apa, Cantik?” “Rena pingin jalan-jalan ke mall sama tante. Tante mau nggak?” tanya Rena dengan suaranya yang menggemaskan. “Kenapa enggak sama ayah?” “Ayah sibuk dengan pekerjaannya. Nenek katanya mau nemenin tapi kalau tante mau bergabung,” jelas gadis kecil itu. Angga ternyata masih sama saja. Lebih mementingkan pekerjaannya dari pada kebahagiaan putrinya. Yah meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa Angga bekerja untuk memenuhi keperluan Rena, akan tetapi tak elok rasanya jika semua waktunya—kebanyakan waktunya—ia habiskan untuk pekerjaan. Apalagi dengan usia Rena yang masih sebelia itu, kasih sayang orang tuanya masih sangat dibutuhkan. Aila menghembuskan napasnya, ia kesal dengan kelakuan Angga yang tidak berubah. “Hem, ya sudah. Bilang ke nenek ya kita langsung ketemuan di mall saja. Soalnya tante kan dari kantor,” putus Aila akhirnya. Ia tidak tega melihat gadis kecil itu murung dan sedih. Mungkin dengan berjalan-jalan sebentar di mall, entah untuk bermain di game zone atau membeli aksesoris lucu bisa membuat keceriaan Rena kembali karena diabaikan oleh ayahnya. Di balik sana Rena berseru senang. Ia berteriak heboh karena Aila menyanggupi ajakannya. Kemudian terdengar teriakan Rena yang memanggil neneknya dan meminta untuk segera bersiap. “Thank you ya, Ai. Sorry ngerepotin kamu terus,” ucap Angga tak enak hati setelah Rena berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian. “Kamu itu harusnya lebih bisa me-manage waktu kerjamu, Ngga. Kasihan Rena. Kasihan juga Tante Widiya yang harus menghadapi kesedihan Rena seorang diri. Emang apa sih yang kamu kejar dari kerja terus menerus itu?” tanya Aila dengan kesal. Ia tidak mempedulikan bahwa ia masih berada di kantor. “Buat nikah, Ai. Nyari ibu baru buat Rena,” jawab Angga enteng. “What?!” pekik Aila dengan suara yang cukup keras. Dan pekikan itu berhasil menyedot perhatian rekan-rekan kerjanya. Aila segera memasang senyum dan menundukkan kepalanya singkat sebagai permohonan maaf karena telah mengganggu konsentrasi teman-temannya. “Yah meskipun nggak tahu juga aku bakal ketemu sama calon ibu barunya Rena kapan,” jelas Angga. “Hem.” Aila hanya berdeham malas. “Doain kenapa Ai,” cebik Angga kesal karena tidak mendapat dukungan dari sahabatnya itu. “Mendoakan orang kan bisa dari dalam hati. Nggak perlu kuumbar-umbar,” semprot Aila. “Iya deh iya. Ya sudah, aku mau lanjut kerja lagi. Tadi pulang awal soalnya Rena ngerengek pingin jalan-jalan. Kan kamu tahu sendiri, tanggung jawab yang kuemban tidak kecil,” bujuk Angga. “Bodoh. Aku juga nggak tanya,” sewot Aila. Angga cengengesan di seberang sana. “Ya sudah, sekali lagi terima kasih ya Aila yang baik hati. Aku tutup dulu.” “Wa’alaikumsalam,” sindir Aila karena Angga tidak mengucapkan salam. Yang kemudian membuat Angga segera mengucapkan salam. Dan Aila juga segera mematikan sambungan teleponnya. Aila mematikan laptopnya setelah menyimpan hasil kerjanya. Ia juga merapikan mejanya dari barang-barang berserakan yang tadi ia gunakan. “Langsung pulang, Ai?” tanya Sonya—salah satu rekan kerjanya yang cukup dekat dengannya saat Aila melakukan finger print sebelum meninggalkan kantor. “Enggak. Mau ke mall sebentar,” jawab Aila. Mereka berjalan bersama menuju lift untuk turun ke lobi. “Jalan-jalan mulu.” “Nemenin Rena,” jawab Aila agar Sonya tidak berkomentar banyak lagi. Sonya manggut-manggut. Ia paham siapa Rena. “Jadi tadi pekikanmu itu karena bapaknya si Rena itu?” “Heem. Katanya sibuk kerja buat biaya nikah.” “Nikahin kamu kali, Ai.” “Tahu sendiri hal itu kemungkinannya kecil, Son. Jadi jangan bikin aku berharap banyak deh.” “Ya makanya kamu juga jangan muter di circle itu terus biar nggak makin berharap. Wong kamunya betah di situ. Jadi ya mau gimana lagi,” peringat Sonya keras. Sonya dan Aila sudah sering memperdebatkan masalah ini. Dan Aila masih stuck untuk bertahan dan tidak beranjak dari circle keluarga Angga. Aila menghembuskan napasnya lelah. “Entah. Aku belum sanggup, Son,” jawab Aila dengan putus asa. “Rasanya masih berat.” “Kamu juga sering berkata kayak gitu. Coba kamu membuat circle baru, Ai. Aku tahu mungkin ini terkesan menggurui, tapi aku juga ikut lelah tiap lihat kamu kayak gini. Banyak meluangkan waktu buat keluarganya Angga sedangkan Angga saja sibuk dengan dunianya.” Sonya selalu ikut kesal jika membahas masalah ini. Mengenal Aila sejak bergabung bersama dalam perusahaan ini membuat mereka sudah saling tahu dengan keadaan masing-masing. Mereka saling cocok dan pas dalam segala hal. “Terima kasih ya, Son. Kamu selalu ada di sampingku,” ucap Aila tulus. “Nggilani* tahu nggak sih, Ai. Aku nggak bakal termakan rayuanmu itu.” Aila tertawa. “Tuh sudah dijemput sama masmu,” ujar Aila sambil menunjuk orang yang dimaksud dengan dagunya. “Kalau gitu aku duluan ya. Hati-hati kamu.” “Iya. Kamu juga.” Kemudian tersisa Aila seorang diri di lobi kantor. Masih banyak pegawai yang berlalu lalang, tetapi hanya Aila seorang diri yang sedang duduk pada salah satu kursi besi yang digunakan sebagai kursi tunggu. Aila sedang menunggu ojek online yang ia pesan untuk mengantarkannya ke mall tempat ia janjian dengan Rena dan Widiya. Tak berapa lama, ojeknya tiba di depan lobi. Ia segera naik ke atas boncengan. Widiya mengabarkan bahwa dirinya dan Rena telah tiba di mall. Aila ditunggu di salah satu restoran ayam goreng yang terletak di dekat pintu mall. Aila melepas helm yang menutupi kerudungnya dan menyerahkannya kepada driver ojek. Ia mengucapkan terima kasih kemudian melangkah ke dalam mall. Tak perlu membayar dengan uang cash, karena Aila selalu rajin top up dompet digitalnya untuk membayar ojek. Baru saja Aila menginjakkan kakinya di pintu restoran, ia sudah disambut dengan teriakan heboh Rena. Aila berjalan cepat ke arah meja Rena dan Widiya, tidak ingin terlalu lama menjadi pusat perhatian pengunjung restoran yang sedang fokus makan. “Sore, tante,” sapa Aila sambil mencium punggung tangan Widiya. Kemudian dilanjutkan dengan saling memeluk singkat dan cipika cipiki. “Sore, Rena sayang,” sapa Aila ke arah Rena. Kemudian ia memeluk gadis kecil itu. “Sore, tante,” balas Rena dengan senyum lebar mengembang. Aila kemudian duduk pada kursi yang masih kosong. Kemudian mereka memutuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum jalan-jalan menemani sang ratu cilik ke mana pun kakinya ingin melangkah. Catatan: *Nggilani (Bahasa Jawa) artinya menjijikkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD