2. Nasihat Mama

2104 Words
Rena mengajak Widiya dan Aila berjalan-jalan ke toko aksesoris yang terletak pada lantai yang sama dengan restoran ayam goreng tempat mereka makan. Rena menggenggam erat telapak tangan Aila. Sedangkan Widiya hanya memandang cucunya itu dengan senyum dan gelengan kepala. Kamu bisa selengket itu sekali dengan Aila ya, Ren. Semoga kalian tidak terpisahkan oleh apa pun. Nenek tidak tega jika suatu saat nanti kamu akan kehilangan Aila, Ren. Semoga ayahmu tidak menjadi laki-laki yang bodoh. Ucap Widiya dalam hati. “Rena kalau ada Tante Aila nenek dilupakan, ya,” canda Widiya. Rena hanya terkekeh kecil. “Soalnya kalau sama nenek, Rena suka dilarang-larang.” Widiya tersenyum maklum. Dirinya memang sedikit menyortir keinginan Rena. Ia tidak ingin Rena terlalu manja jika semua keinginannya dikabulkan dengan mudah. “Tante! Rena mau topi kelinci itu,” seru Rena dengan heboh. Ia menarik lengan Aila lebih kuat. Seakan-akan menyeret Aila. Rena juga menunjuk topi yang ia inginkan dengan tangan kanannya. “Iya, sayang,” jawab Aila pelan. “Pelan-pelan jalannya, Ren. Topinya juga nggak akan kabur,” peringat Aila. Kondisi mall sedang cukup ramai, ia tidak ingin Rena tertabrak oleh pengunjung lain. “Rena mau yang warna putih dan telinganya warna pink itu.” Rena menunjuk topi itu dengan heboh. Ia sungguh tidak sabar. “Iya. Itu namanya bunny hat, Sayang.” “Iya. Rena mau itu pokoknya.” “Sabar, Rena. Biar diambilkan mbaknya dulu,” sahut Widiya yang dari tadi hanya menyaksikan kedekatan cucunya dengan sahabat putranya. Rena mengangguk. Ia mengketuk-ketukkan kakinya tidak sabar. Saat pramuniaga toko aksesoris itu menyerahkan bunny hat, Rena menerimanya dengan antusias. Ia segera mengenakan topi itu di kepalanya. Ia juga menekan-nekan bulatan pada ujung juluran topi yang mampu membuat telinga kelincinya berdiri. Gadis cilik itu semakin heboh ketika lampu topi itu menyala. Rena yang melihat bagusnya topi itu pun berseru senang. Wajah riang ia tampilkan. Ia juga menggeleng-gelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Aila dan Widiya tersenyum lebar. Mereka ikut merasakan kebahagiaan yang Rena rasakan. Aila hendak membayar menuju kasir. Namun, Widiya sudah lebih dulu membayarnya. Widiya tahu diri, ia sudah merepotkan Aila begitu besar. Aila juga sudah sering membayarkan mainan yang diinginkan Rena. Maka ia akan merasa tak enak hati jika membiarkan Aila yang membayar belanjaan Rena lagi kali ini. “Tadi nggak papa biar Aila saja yang bayar, Tante,” ujar Aila. “Enggak. Kamu sudah sering membelikan Rena sesuatu saat jalan-jalan di mall. Lagi pula tadi Angga sudah memberikan uang saku untuk jajannya Rena.” Aila pun akhirnya memilih mengangguk. Ia tidak ingin berdebat lebih panjang tentang hal ini. “Rena setelah ini mau ke mana?” tanya Aila setelah mereka keluar dari toko aksesoris. “Ehm.” Rena tampak berpikir. Ia bergaya dengan jari telunjuknya ia ketuk-ketukkan pada pelipisnya. Bak orang dewasa. Dan hal itu mengundang tawa Aila juga Widiya. “Gimana kalau beli es krim. Boleh?” tanya Rena dengan gaya centilnya. Aila yang gemas pun menjawil hidung Rena. “Gimana, Tante? Boleh?” tanya Aila pada Widiya. Urusan es krim, ia harus ijin kepada Widiya atau Angga. Ia tidak ingin menjadi penyebab Rena terserang flu. Widiya mengangguk. Anggukan itu membuat Rena memekik senang. “Terima kasih, Nek.” Rena pun berlari kecil ke arah kedai es krim. Ia sudah sering ke kedai itu sehingga ia hapal letak dan menu yang dijual. Rena dengan percaya dirinya memesan es krim yang ia inginkan. Beruntungnya kasir kedai es krim itu sudah hapal dengan bocah kecil itu. “Mau yang rasa apa adek?” tanya mbak kasir itu. “Ehm. Rasa cokelat ya, Mbak,” jawab Rena centil. Mbak kasir itu tertawa. Menurutnya, Rena sangatlah lucu dan pintar. Membuat yang melihatnya ingin mencubit pipi tembam gadis cilik itu. “Sudah pintar pesan sendiri ya sekarang,” puji Aila yang sudah berdiri di samping Rena. “Iya dong, Tante. Kan Rena anak pinter.” “Pinter banget sih, Dek,” sahut mbak kasir tadi. Rena hanya cengengesan saja. Aila mengusap rambut Rena pelan. Sedangkan Widiya hanya melihat interaksi mereka di salah satu kursi yang disediakan kedai. Setelah menerima pesenan mereka, Rena dan Aila berjalan menghampiri Widiya. Aila meletakkan roti bakar yang juga ada pada menu kedai es krim itu di hadapan Widiya. Widiya menolak makan es krim karena giginya akan ngilu jika ia makan makanan dingin atau asam. “Terima kasih, Ai.” “Sama-sama, Tante.” “Rena, bilang apa ke tante?” peringat Widiya. “Terima kasih Tante Aila,” ucap Rena dengan bibir yang belepotan oleh es krim. “Sama-sama, Sayang.” Aila mengusap rambut Rena. Ia tidak akan bosan mengelus rambut Rena yang begitu halus itu. Saat Aila sedang asyik dengan es krimnya. Tas yang ia letakkan di kursi kosong sebelahnya mengeluarkan suara getaran. Pertemuan antara getaran handphone dengan benda sekitarnya membuatnya mengeluarkan bunyi “dleret-dleret”. Nama Mama muncul di layar handphone-nya. Ah, iya. Dirinya lupa mengabari mamanya jika ia keluar dulu bersama Rena setelah dari kantor. “Assalamu’alaikum, Ma.” “Wa’alaikumsalam, Sayang. Kamu kok belum pulang? Sudah hampir Isya’ ini. Masih ada pekerjaan di kantor?” tanya mama Aila beruntun dengan nada khawatir. “Ehm. Enggak, Ma. Aila sedang di mall bersama Rena dan Tante Widiya,” jawab Aila dengan suara pelan. Terdengar helaan napas dari mama Aila. “Ya sudah. Jangan malam-malam pulangnya. Apa mau dijemput sama adekmu?” tawar mamanya. “Nggak perlu, Ma. Kasihan adek. Nanti Aila pesan ojek online saja. Habis ini Aila pulang setelah es krim Aila habis,” tolak Aila. Ia tidak ingin merepotkan adiknya. Radit—adiknya, saat ini sedang kuliah di semester akhir. Ia pasti sibuk dengan proses pengerjaan skripsinya. Radit berkata bahwa saat ini sedang sibuk di laboratorium untuk proses mengumpulkan data skripsi. “Kamu itu setiap keluar sama Rena pasti beli es krim terus. Kan kamu tahu kalau kamu gampang flu kalau makan es krim, Kak,” tegur mama Aila. “Iya, Ma. InsyaAllah ini yang terakhir deh,” janji Aila. Meskipun di dalam hati ia juga tidak yakin apakah bisa menepati janjinya itu. Ia sangat menyukai es krim. Yah, walaupun ujung-ujungnya ia akan terserang flu esok harinya. “Terserah kakak saja kalau begitu. Segera pulang. Sudah dicariin papa,” tegasnya. “Iya, Mama.” “Hati-hati kalau pulang. Assalamu’alaikum.” “Siap, Ma. Wa’alaikumsalam.” Aila memasukkan handphone-nya kembali ke dalam tas. Kemudian ia melanjutkan menghabiskan es krimnya yang sudah mulai mencair. “Sudah dicari sama mamamu, Ai?” “Iya, Tante,” jawab Aila tak enak hati. “Ya sudah. Setelah ini kita pulang ya. Kamu nggak perlu pesan ojek. Bareng sama tante saja.” “Haduh. Nggak perlu tante. Malah buat tante muter-muter di jalan nanti. Aila gak apa kok naik ojek.” “Jangan! Sudah sama tante saja. Jangan nolak!” tegas Widiya. “Baik, Tante,” jawab Aila pasrah. “Sudah mau pulang ya, Nek?” tanya Rena dengan wajah sendu. “Iya, Sayang. Sudah malam. Tante Aila juga perlu istirahat. Apalagi tadi tante kan langsung dari kantor, jadi tubuhnya capek. Kapan-kapan masih bisa bertemu dengan Tante Aila lagi,” jelas Widiya. Rena pun menundukkan kepalanya. Raut mukanya tampak sedih. “InsyaAllah nanti kalau tante nggak sibuk, tante main sama Rena lagi kok,” hibur Aila. “Beneran ya tante?” “Iya.” “Janji?” tanya Rena sambil menyodorkan jari kelingkingnya. Aila pun menautkan jari kelingkingnya dengan kelingking Rena. “Iya, janji.” Rena pun kembali ceria. Mereka segera menghabiskan makanan mereka masing-masing sebelum meninggalkan mall. *** “Terima kasih ya, Tante. Maaf merepotkan, membuat tante harus lebih larut sampai rumah,” ucap Aila saat mobil yang mengantarkannya telah sampai di depan rumahnya. “Enggak. Tante yang malah merepotkan kamu karena harus menemani Rena padahal kamu baru pulang kerja.” “Nggak papa. Aila senang kalau ketemu Rena, Tan. Aila merasa terhibur,” jujur Aila. Widiya tersenyum. Baik sekali kamu, Nak. Bahkan disaat Angga tak peduli denganmu, kamu masih sangat sayang dengan Rena. Dan sepertinya rasa sayangmu untuk Rena lebih besar dari pada rasa sayang Angga pada Rena. “Kalau begitu Aila turun ya, Tante.” Ia mengecup punggung tangan Widiya. Tak lupa kemudian mereka cipika cipiki. Sebelum turun, Aila mengelus rambut Rena yang sedang tertidur. Aila menunggu mobil yang membawa Rena dan Widiya melaju hingga cukup jauh kemudian ia masuk ke dalam rumah. Mobil papanya sudah terparkir rapi di car port. Di samping mobil itu, berdiri gagah motor ninja hitam milik Radit. “Assalamu’alaikum,” ucap Aila saat sudah masuk ke dalam rumah. Ruang tamu dan ruang tengah tampak sepi. Tak ada siapa pun. Aila melanjutkan langkahnya lebih dalam. Ternyata mama, papa, dan Radit berkumpul di ruang makan. Mereka sedang makan malam. “Assalamu’alaikum,” ulang Aila. “Wa’alaikumsalam,” jawab mereka semua serentak. Aila menghampiri mama dan papanya. Kemudian ia mencium tangan mereka. Aila mengacak-acak rambut Radit saat ia sudah duduk di kursi sebelah Radit. “Tumben sudah pulang, Dek?” “Cuci tangan dulu, Kak,” tegur papa Aila ketika Aila hendak mencomot telur gulung dengan irisan sayur buatan Sang Mama. “Hehehe.” Aila pun segera bangkit dan berjalan ke arah kamar mandi, bukan ke wastafel. Ia hendak mencuci muka dan kakinya sekalian. “Kamu itu kebiasaan, Kak. Kalau dari luar itu harus segera cuci tangan dan kaki. Kalau bisa sekalian mandi, biar nggak bawa kuman dari luar,” peringat papanya ketika ia kembali ke meja makan. “Siap, Komandan,” jawab Aila. Meskipun Aila diingatkan setiap hari, ia pasti akan lupa dan terus mengulangi kesalahan yang sama. “Kakak nggak makan?” tanya Radit. “Cie, perhatian nih ye. Sudah lama jomblo jadi kakaknya yang diberikan perhatian,” ledek Aila. Radit hanya mendengus kesal. Sedangkan mama dan papanya memasang senyum serta menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kayak situ nggak jomblo saja,” ledek Radit balik. “Wah, berani ya sama kakaknya.” “Sudah-sudah. Ayo dihabiskan dulu yang ada di piring kalian. Jangan malah ribut. Heran deh mama sama kalian berdua itu. Kalau nggak ribut nggak seru ya?” “Iya, Ma. Soalnya kalau ketemu sama Radit itu bawaannya pingin ribut aja.” Mamanya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan kelakuan putri dan putranya. Mereka melanjutkan makan malam. Aila hanya memakan sayur dan beberapa potong telur gulung. Lambungnya masih terasa penuh. *** Aila saat ini sedang sibuk berkutat dengan spons yang dipenuhi dengan busa sabun dan juga perkakas dapur. “Kamu nggak capek kak tiap pulang kantor harus nemenin Rena main atau jalan-jalan?” tanya mama Aila yang sedang membersihkan meja makan. “Enggak, Ma. Aila malah seneng. Soalnya tiap lihat Rena itu bawaannya selalu seneng gitu. Ikut ceria.” “Enggak! Maksud mama itu hati kamu nggak capek? Melihat Rena pasti mengingatkan kamu dengan ayahnya.” Aila berhenti dari kegiatannya mencuci perkakas. Ia memandang ke arah mamanya. “Entah, Ma. Aila juga bingung. Di satu sisi Aila sudah biasa saja, tetapi terkadang Aila juga kembali berharap.” “Saran mama, sudah kak lepaskan saja Angga. Mama juga kurang setuju kalau kamu dengan Angga. Apalagi papamu.” Aila diam. Ia hanya mengangguk. “Mama tahu nggak? Tadi saat Angga telepon, Aila kan tanya apa sih yang dikejar Angga dari pekerjaannya itu dan memilih mengabaikan Rena. Mama tahu dia jawab apa?” Mama Aila menggeleng. “Katanya dia ngumpulkan uang buat biaya nikah dengan calon ibu barunya Rena. Dan saat Aila tanya siapa, dia malah jawab Aila.” “Jangan terlalu berharap, kak. Bisa saja itu hanya candaan. Jika memang Angga ingin kamu jadi ibu sambungnya Rena seharusnya sudah sejak lama,” ucap mama Aila mengingatkan. “Bukan mama mematahkan harapan kamu. Tapi mama nggak mau kamu berharap terlalu besar kepadanya,” tegasnya. “Sedangkan usaha yang dia lakukan untuk mendekati kamu nol besar.” “Iya, Ma. Aila sedang berusaha untuk tidak terlalu berharap.” “Dan saran mama lagi, kurangi intensitas kamu bertemu dengan Rena. Jangan langsung mengiyakan keinginannya. Jika suatu hari nanti Angga menikah dengan perempuan lain, kamu sudah tidak bisa seenaknya bertemu dengan Rena lagi. Jadi biasakan mulai sekarang untuk mengurangi pertemuan kamu dengannya. Jangan buat Rena berharap terlalu besar kepadamu.” “Iya, Ma. Doakan Aila bisa ya.” “Mama selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Dan kamu juga harus berusaha. Percuma mama doakan kamu kalau kamu tidak ada usaha.” “Iya mamaku sayang. Terima kasih.” “Iya. Itu nyuci dilanjutkan.” “Siap, Nyonya.” Aila pun melanjutkan kembali kesibukannya berhadapan dengan busa sabun dan perkakas dapur. Ia harus mulai menyibukkan diri dengan sesuatu agar pikirannya tidak hanya terfokus pada Angga atau pun Rena. Bismillah. Mudahkan ya Allah. Pinta Aila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD