Sebuah mobil sedan yang dikemudikan oleh seorang wanita tampak oleng sehingga membuat gadis yang duduk di sebelah kursi kemudi berteriak histeris atas kejadian tersebut. Gadis itu tidak ingin nyawanya melayang begitu saja hanya karena perdebatan yang baru saja terjadi di antaranya dengan wanita yang mengemudikan mobil tersebut.
"Mbak, jangan gila! Kita bisa mati!" pekik gadis itu dengan ekspresi panik yang sudah tidak bisa disembunyikan dari ekspresi wajahnya.
Sementara itu, wanita yang duduk di balik setir kemudi menoleh sejenak untuk menatap ke arah gadis yang menumpang di mobilnya. "Biarin! Lebih baik kita berdua mati di sini!" balas wanita itu dengan nada suara yang tidak kalah tingginya dengan pekikan gadis sebelumnya. "Itu 'kan yang kamu mau? Kamu sengaja mau membocorkan rahasiaku, 'kan? Daripada aku yang mati sendiri setelah kamu membocorkan rahasia itu, mending kita sama-sama mati di sini. Sekarang!"
Belum sempat gadis yang duduk di kursi penumpang itu membalas ucapan wanita yang dipanggilnya dengan sebutan 'Mbak' tadi, mobil yang ditumpang oleh mereka sudah keluar dari jalur dan menabrak pohon yang berada di sepanjang jalanan sepi itu. Kecelakaan yang disebabkan oleh kesengajaan itu sukses membuat mobil sedan berwarna putih tersebut hancur lebur setelah menubruk pohon yang cukup besar. Asap tampak keluar dari kap mobil yang sudah tidak berbentuk itu, menandakan bahwa sebentar lagi akan ada jago api yang datang melahapnya.
Wanita yang mengemudikan mobil itu tampak terhimpit di antara roda kemudi dan kursi yang ditempatinya. Entah apa yang terjadi sampai kantung udara keselamatan tidak keluar dari tempat seharusnya. Tubuh wanita itu sudah dipenuhi oleh cairan pekat berwarna merah gelap, mengingat betapa hancur mobilnya saat ini akibat kecelakaan yang dibuatnya sendiri.
Sementara itu, gadis yang duduk di kursi penumpang tadi berusaha melepaskan sabuk pengaman yang menyilang di tubuhnya. Dengan tubuh yang lemas dan sisa tenaga, gadis itu berusaha keluar dari mobil sedan yang sudah tidak berbentuk itu. Ia mengabaikan rasa nyeri dan perih yang menjalar di sekujur tubuhnya. Bahkan ada beberapa pecahan kaca mobil yang mengenai bagian tubuhnya hingga darah pekat meluncur dari sana.
Kecelakaan itu akan membuat siapapun yang melihatnya langsung meringis perih yang memilih untuk menolehkan kepala ke arah lain karena tidak sanggup melihat betapa naas-nya kejadian tersebut.
"Mbak, bertahanlah. Aku akan bantu Mbak keluar dari sana," ucap gadis itu dengan nada terbata-bata akibat luka yang bersarang pada sekujur tubuhnya.
"Maaf ...," gumam wanita yang masih terhimpit di antara roda kemudi dan kursi mobil itu dengan mata yang sudah setengah terpejam. Namun, tangan wanita itu berusaha meraih tangan gadis di sebelahnya seolah-olah ingin menggenggam erat tangan tersebut dan tidak ingin melepaskannya. "Mbak nggak akan bisa menanggung konsekuensi kalau sampai rahasia itu terbongkar, Karinka. Jadi, inilah jalan terbaik untuk kita. Mati. Hanya kematian yang bisa menolong kita dan tidak akan ada nama Ravel lagi di antara kita."
Setelah ucapan tersebut terlontar, mobil sedan yang sudah hancur lebur itu pun akhirnya meledak dan menghasilkan kepulan asap pekat akan membuat siapapun terbatuk-batuk ketika menghirupnya.
*
Kecelakaan yang terjadi tempo hari sukes menghebokan jagat raya. Namun, atas kuasa tinggi seorang Ravel yang memiliki banyak pundi-pundi uang, pria itu akhirnya bisa membuat para awak media berhenti memberitakan mengenai kecelakaan naas yang terjadi pada malam itu.
Ketika kecelakaan itu berlangsung, Ravel sedang dinas di Singapura untuk mengurusi cabang perusahaannya yang ada di sana. Begitu mendengar kabar kecelakaan tersebut, pria itu langsung buru-buru memberi titah pada anak buahnya untuk segera jet pribadi yang harus segera membawanya ke tanah air.
Namun, sayangnya ketika Ravel sudah sampai di rumah sakit tempat korban kecelakaan dilarikan, hanya ada satu dari dua korban yang selamat. Rasanya sungguh berdosa ketika Ravel berharap bahwa korban yang selamat itu adalah istrinya. Namun, bukan berarti ia tidak ingin Karinka selamat. Kalau bisa, pria itu ingin kedua korban dari kecelakaan itu selamat tanpa ada satupun yang meninggalkan dunia ini. Namun, Ravel bukan Tuhan yang bisa menentukan dan mengubah takdir.
Rasanya separuh nyawa Ravel ditarik dari dalam tubuhnya ketika mendapatkan kabar bahwa istrinya, Karinna, tidak bisa diselamatkan dari kecelakaan tersebut, mengingat kejadian itu terjadi di sisi kanan sehingga membuat mobil di sisi yang sama mengalami kehancuran yang lebih parah daripada sisi sebelahnya.
Ravel jatuh berlutut di sisi ranjang rumah sakit yang terisi oleh jenazah istrinya. Tangan pria itu terangkat untuk menggenggam tangan Karinna yang sudah terasa dingin dan kaku. Ravel tidak sanggup menahan laju air matanya agar tidak jatuh membasahi kedua pipinya. Pria itu benar-benar terpukul dengan kecelakaan yang menewaskan istrinya, apalagi ketika mengingat ucapan seorang perawat sebelum ia masuk ke dalam ruang jenazah tersebut untuk melihat keadaan Karinna.
"Sangat disayangkan, Pak Ravel, Ibu Karinna saat ini sedang mengandung delapan minggu, tetapi janinnya tidak bisa diselamatkan, mengingat posisi kecelakaan itu menghimpit bagian tubuh mendiang istri Anda, Pak."
Ravel ingat sekali dengan ucapan itu. Fakta bahwa bukan hanya istrinya yang tidak bisa selamat, tetapi juga calon bayi mereka yang berada di dalam perut wanita itu sukses membuat Ravel semkain terpukul.
"Karinna, bangun, Sayang. Bangun!" Ravel mengguncang kecil tubuh istrinya yang sudah terbujur kaku dan tertutupi kain berwarna putih sampai sebatas dagu. "Jangan hukum aku begini! Aku janji nggak bakal sibuk sama kerjaanku lagi kalau kamu bangun," lanjut pria itu dengan tangisan yang sudah pecah. Namun, sayangnya sosok wanita yang bernama Karinna itu sudah tidak bisa mendengarkan bisa ke pilu yang meluncur dari suaminya karena keduanya sudah berada di alam yang berbeda.
*
Pemakaman Karinna hanya dihadiri oleh orang-orang terdekatnya saja, kecuali Karinka. Gadis itu masih terbaring menyedihkan di ranjang rumah sakit dan Belum menunjukkan tanda-tanda akan membuka matanya. Kecelakaan yang dialami oleh gadis itu membuatnya koma dengan alat bantu medis yang terpasang di sekujur tubuh untuk menopang hidupnya.
"Rav, pulanglah. Sebentar lagi mau hujan," kata seorang pria berkemeja hitam, Kennedy, sahabat Ravel sejak kuliah. Pria itu hanya bergeming di tempat tanpa membalas ucapan yang baru saja terlontar dari mulut sahabatnya. Hanya sebuah gerakan kepala yang dapat Ravel berikan sebagai balasan pada Ken.
"Karinna pasti akan sedih kalau melihatmu di sini terus dari atas sana," ujar Ken lagi.
"Nggak. Karinna pasti marah sama gue," gumam Ravel dengan suara lirih yang langsung dihembus oleh angin, mengingat langit yang sudah tampak mendung saat ini. "Gue memang b******n, Ken. Jangan bini sama calon anak gue aja ... gue nggak bisa," lanjut pria itu dengan suara bergetar sembari menahan tangis dan airmata yang sudah hendak meluncur untuk membasahi kedua pipinya.
"Ini udah takdir Tuhan, Rav. Kita sebagai manusia nggak bisa berbuat apa-apa untuk melangkahi takdir," balas Ken menguatkan sahabatnya dan memberikan tepukan kecil pada pundak Ravel.
Ravel bergeming sejenak. Tatapan pria itu beralih dari makam sang istri yang tanahnya masih basah. Ekspresi sendu yang terlukis di wajah pria itu langsung berubah menjadi ekspresi bengis dan penuh dendam seolah-olah sudah tidak sabar ingin menghabiskan mangsa sudah diincarnya sejak lama.
"Bukan! Ini semua salah Karinka. Gadis sialan itu yang udah buat gue kehilangan istri dan calon anak gue! Dan gue bersumpah akan membalasnya dan membuat gadis itu merasakan hal serupa seperti yang gue rasakan sekarang," desis Ravel dengan aura kelam yang menguar dari sekujur tubuhnya.