Karinka terperanjat dari posisi duduknya ketika sedang menikmati mie instan di dalam mangkuk yang masih mengepulkan asapnya. Gadis itu baru saja hendak menyuapkan makanan bertekstur kenyal itu ke dalam mulut. Namun, sosok yang paling dihindarinya saat ini malah muncul di hadapannya.
"Siapa yang kasih izin kamu untuk makan?" tanya Ravel dingin. Salah satu tangan pria itu dimasukkan ke dalam saku celana, sementara yang lainnya memegang tas kerjanya.
Karinka berdecak di dalam hati, tidak berani menunjukkan protesnya terang-terangan di hadapan Ravel, takut-takut kegilaan pria itu akan semakin menjadi-jadi nantinya.
"Nggak ada, Mas ...," jawab Karinka lugas. Ada jeda dalam ucapan gadis itu sebelum ia melanjutkan, "Tapi kalau aku nggak makan, nanti aku mati, terus Mas nggak bisa nyiksa aku. Nanti ceritanya jadi nggak seru."
"Berani melawan kamu sekarang?" Ravel bertanya lagi.
"Nggak, Mas," gumam Karinka kemudian melepaskan pandangan dari sang lawan bicara. Gadis itu memilih untuk menatap mangkuk di hadapannya.
Ravel berdecak. Pria itu sudah cukup puas dengan jawaban Karinka yang tidak berusaha menyulut argumen seperti sebelumnya. "Lanjutkan makanan murahan dan tidak sehatmu itu. Semoga kamu nggak cepat mati supaya bisa aku siksa habis-habisan." Setelah berkata demikian, Ravel langsung berjalan keluar dari ruang makan dan masuk ke dalam sebuah kamar yang berada di lantai bawah, meninggalkan Karinka yang misuh-misuh seorang diri di sana.
"Dasar, Sinting," gumam Karinka mengumpat setelah memastikan sosok Ravel sudah benar-benar hilang dari pandangannya dan tidak akan mendengar umpatannya.
*
Hari Sabtu yang cerah, begitulah pikiran Karinka ketika tangannya menyibak gorden jendela kamarnya. Gadis itu merenggangkan ototnya di depan jendela sambil menatap pantulan sinar matahari yang mengarah langsung ke kamarnya.
Karinka sudah bersiap untuk memulai harinya. Gadis itu akan mencari aktivitas apa saja yang bisa dilakukannya hari ini, mengingat ini adalah hari Sabtu, artinya tidak ada jadwal perkuliahan atau acara yang perlu dihadiri.
Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Karinka untuk membersihkan diri. Gadis itu keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Aroma khas bangun tidur pun sudah lenyap tak bersisa.
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan yang berasal dari pintu kamar Karinka membuat sang pemilik kamar mengernyitkan dahinya. Heran dengan suara ketukan di pagi itu. Karinka tebak, itu tidak mungkin Ravel. Pria itu pasti tidak akan pernah mengetuk pintu kamarnya, mengingat betapa etika pria itu yang hampir mencapai ambang batas minimum.
"Ya, siapa?" tanya Karinka yang masih setia berdiri di ujung tempat tidur tanpa bergerak sedikit pun dari posisi awalnya.
"Saya make up artist. Boleh masuk nggak, Mbak?"
Setelah mendengar jawaban sosok yang mengakui dirinya sebagai make up artist itu, Karinka buru-buru melangkah menuju pintu dan membuka benda berbahan kayu tersebut. Indra penglihatan gadis itu langsung menemukan sosok seorang pria berperawakan tinggi dengan rambut gondrongnya. Pria itu memakai pakaian serba hitam, seperti hendak menghadiri acara pemakaman, sementara kedua tangannya tampak menenteng koper rias.
"Mau riasin siapa, Mas?" tanya Karinka penasaran.
"Mbak Karinka, 'kan?" balas pria itu bertanya.
"Saya Mario, disuruh Mas Ravel buat make up-in Mbaknya."
Kening Karinka kembali mengerut. "Untuk?" tanya gadis itu heran.
Mario tampak tersenyum canggung. "Wah, kalau itu saya kurang tau, Mbak," jawab pria yang berperawakan sedikit kemayu itu.
Karinka mengangguk singkat kemudian mempersilahkan Mario untuk masuk ke dalam kamar. Gadis itu tidak menolak ataupun protes, membiarkan Mario mengerjakan tugasnya sesuai dengan titah Ravel. Karinka membebaskan Mario melakukan apapun, ia tidak ingin mengambil resiko dengan melayangkan protes dan berakhir semakin disiksa oleh Ravel si Titisan Iblis.
Tangan Mario bekerja memoleskan riasan pada wajah Karinka. Wajah gadis itu bagaikan kanvas yang sedang dilukis oleh Mario. Selama proses pengerjaannya, Karinka memilih untuk menutup mata.
Karinka sudah hampir terlelap dalam tidurnya ketika suara Mario terdengar memenuhi seisi ruangan. "Mbak, tolong buka mata sebentar," pinta pria gemulai itu. Karinka menuruti tanpa protes. Gadis itu membuka kedua netranya dan langsung menemukan pantulan dirinya sendiri di depan cermin.
"Lihat ke atas, Mbak," pinta Mario sebelum memoleskan riasan pada bagian mata bawah Karinka.
Hanya butuh waktu singkat setelahnya sampai seluruh bagian wajah Karinka mendapatkan polesan dari tangan Mario. Setelah menyemprotkan cairan untuk menahan riasan agar tetap awet di wajahnya, Mario memerintahkan Karinka untuk membuka matanya sekali lagi.
"Mbak, udah boleh dibuka matanya," kata Mario sembari tangannya bekerja membereskan alat-alat rias.
Karinka menurut. Ia membuka mata dan melihat pantulan sosok seorang gadis yang hampir tidak dapat dikenalinya, padahal sosok itu adalah dirinya sendiri. Tangan gadis itu terangkat, hendak menyentuh wajahnya saking tidak percaya dengan riasan yang mampu mengubah wajahnya sedemikian rupa.
"Eits ... jangan disentuh-sentuh, ya, wajahnya," tegur Mario sambil menahan tangan Karinka. "Takutnya nanti ada yang kegeser," tambah pria itu dan dibalas dengan anggukkan singkat oleh Karinka.
"Ini beneran ... aku?" gumam Karinka pada dirinya sendiri.
Mario yang mendengar pertanyaan konyol gadis itu lantas terkekeh. Tangannya yang sedari tadi aktif memasukkan barang ke dalam koper rias pun terhenti. Tubuh pria itu berbalik untuk menatap Karinka.
"Iya, itu Mbak sendiri loh," Mario meyakinkan.
"Mas pakai sihir apa sampai mukaku bisa beda begini?" tanya Karinka.
"Itu bukan sulap, bukan sihir. Itu namanya skill," jawab Mario dengan nada jenaka yang diiringi oleh suara tawa. Karinka ikut tertawa, meskipun hanya tawa tipis.
Setelah Mario membereskan seluruh barang bawaannya, pria itu berpamitan pada Karinka dan keluar dari kamarnya. Belum sampai lima menit kemudian, pintu kamar Karinka tiba-tiba terbuka dari luar tanpa diketuk terlebih dahulu.
"Mas bisa ketuk pintu dulu nggak sebelum masuk?" tanya Karinka pada Ravel. Nggak punya sopan santun nih orang, lanjutnya mencibir dalam hati.
"Aku nggak minta komentarmu," balas Ravel ketus. Tangan pria itu kemudian melemparkan kain berwarna putih ke atas tempat tidur Karinka. Belum sempat sang pemilik kamar bertanya mengenai benda tersebut, Ravel sudah kembali bersuara. "Pakai itu dan jangan tanyakan apapun. Tutup mulutmu. Aku nggak mau mendengar suaramu." Pria itu berkata dengan nada tegas yang tidak ingin dibantah.
Ravel bahkan tidak mau repot-repot menunggu respon dari sang pemilik. Ia melangkah keluar dari kamar Karinka, meninggalkan gadis itu seorang diri di dalam sana.
Sepeninggal Ravel, Karinka melangkah mendekati tempat tidurnya. Tangan gadis itu terjulur untuk meraih kain yang dilempar oleh Ravel tadi. Keningnya mengerut ketika benda berwarna putih itu dibentangkan di atas tempat tidur.
"Ngapain Mas Ravel kasih gaun putih begini?" gumam Karinka bermonolog pada dirinya sendiri. "Aku disuruh cosplay jadi kuntilanak gitu?" lanjut gadis itu bermonolog.
Karinka masih sibuk dengan spekulasi di dalam benak ketik terdengar notifikasi dari ponselnya yang berisi pesan dari Ravel.
Ravelio Panduwinata:
Cepat ganti bajumu sebelum aku yang menggantikannya!
"Bisa nggak, sih, orang ini agak waras dikit? Otaknya pasti udah ketinggalan di tempat lain. Kok bisa-bisanya aku suka sama orang begitu, ya?" gumam Karinka sebelum masuk ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya dengan gaun putih yang dibawa Ravel tadi.