Fadhil dan Inaya

1299 Words
2. Fadhil - Inaya “Lo yakin ikut acara ini, Nay?“ “Iya, yakin banget“ Inaya Chairani, seorang dosen disebuah Universitas Swasta terbesar di Kota Jakarta. Di usianya yang sudah 29 tahun, Inaya sudah sangat ingin menikah. Dia sudah memimpikan hidup berumah tangga sejak dua tahun yang lalu. Segala upaya dia ikuti biar bisa menemukan sang pujaan hati yang siap menaungi bahtera rumah tangga bersamanya. Tapi, sejauh upaya yang dia lakukan, dia belum juga menemukan seseorang yang cocok untuk dijadikan suaminya. Siska, sahabat Inaya membolak balikkan brosur seminar yang barusan dibacanya. Dia menemukan brosur tersebut di atas meja Inaya saat mau keluar ruangan mereka menuju ruang kuliah dua jam yang lalu. Setelah jam perkuliahan selesai, Siska mengambil brosur tersebut dan membacanya. Inaya dan Siska memang berada di satu ruangan yang sama. Mereka saling mengenal sejak hari pertama menjadi mahasiswa baru strata 1 di kampus tempat mereka menjadi dosen saat ini. Kedua nya berhasil menjadi mahasiswa terbaik dan lulus dengan predikat cumlaude. Kemudian mereka sama-sama diterima menjadi dosen di kampus tersebut tentu saja dengan pengalaman menjadi asisten dosen sebelumnya. Untuk mengembangkan karirnya, beberapa bulan setelah mereka diterima menjadi dosen, keduanya kembali melanjutkan kuliah mengambil gelar master. Mereka kuliah di tempat yang berbeda. Inaya lebih memilih melanjutkan kuliah di luar negeri sementara Siska memilih mengambil gelar Strata-2 nya tetap di Indonesia. Awalnya Inaya kecewa dengan pilihan Siska, tetapi setelah mengetahui alasan Siska untuk tetap di Indonesia, Inaya menjadi paham. Siska tidak mau jauh dari pacarnya yang sekarang sudah menjadi suaminya. Setelah dua tahun tidak berjumpa, mereka kembali dipertemukan di satu ruangan yang sama. Persahabatan keduanya sudah melalui banyak hal sehingga tidak ada lagi yang mereka sembunyikan satu sama lainnya. Mereka sudah lebih seperti saudara kandung. Walaupun status Siska sekarang adalah seorang istri dan ibu dari satu orang anak sementara Inaya masih bertahan dengan status jomblo nya. Keduanya masih sering hangout bareng dan menghabiskan Weekend berdua. Beruntung sekali Siska memiliki suami yang sangat pengertian. Walaupun suaminya juga mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai Siska dan anaknya tapi dia tidak pernah menghalangi karir Siska sebagai seorang dosen. Begitulah menurut Inaya. “Sepertinya, lo belum butuh deh, Nay. Judulnya saja Seminar pra nikah sangat menekankan untuk tidak berlama pacaran. Lebih baik untuk segera membuat komitmen untuk serius ke jenjang pernikahan." Siska berkata sambil membaca judul seminar yang tertera di brosur yang masih dipegangnya. “Gak ada yang salah, 'kan?“ tanya Inaya. “Ya, menurut gue belum saatnya saja lo ikutan seminar ini. Atau... jangan-jangan lo sudah punya pacar dan lo menyembunyikan dari gue.“ tuduh Siska, ia kemudian berjalan mendekat menuju meja inaya dan meletakkan brosur tersebut pas di dekat tangan Inaya yang masih tertumpu di mejanya. Matanya penuh selidik memandang Inaya yang duduk tenang di depannya. “Lo doain aja gue punya pasangan secepatnya biar gue bisa cepat nikah dan punya anak seperti lo, Sis." “Duuuh, Naya sayaaang, mungkin lo belum ketemu orang yang cocok buat lo jadiin suami. Lo sabar aja, tuhan pasti sudah mempersiapkan seseorang yang spesial untuk menjadi suami lo nanti.“ "Duduk diam disini, masuk ruang kuliah, pulang kerumah tanpa usaha memang bisa? Doa juga kudu harus ada usaha. Lo pinter ngomong aja ya sekarang, padahal dulu juga lo gak diem nungguin si Dzaki pulang kerja. Ngekorin dia terus biar lo cepat dilamar, iya kan?" Siska hanya nyengir mendengar ocehan sahabatnya sedangkan Inaya mulai kesal dengan Siska. Setiap usaha yang dia lakukan mencari pasangan hidup, Siska tidak pernah mendukungnya. Walaupun pada akhirnya Siska tetap mengalah atas keputusan Inaya, dia akan selalu memberikan support dan doanya. Tak bisa di pungkiri, di usianya yang hampir kepala tiga, Inaya sudah ingin berumah tangga. Namun tuhan belum menampakkan siapa jodohnya. Pernah juga Inaya melakukan beberapa kali pertemuan dengan lelaki yang dikenalkan oleh teman dan sshabat dekatnya, tapi belum ada satupun pria yang dikenalkan kepadanya cocok dihatinya. Terkadang Inaya yang kurang suka, dan ada juga lelaki tersebut yang kurang sreg dengan Inaya. Semakin bertambah usianya semakin putus asa Inaya dengan jodoh yang dikirimkan tuhan. Kenapa sampai sekarang jodohnya belum menampakkan batang hidungnya? Akhir minggu ini, Inaya memutuskan untuk mengikuti sebuah seminar pra nikah di salah satu Hotel di Kota Bandung. Walaupun sekarang dia berstatus jomblo tapi dia tetap membekali diri dengan ilmu pra nikah, jadi nanti suatu saat apabila dia menemukan jodohnya, dia sudah siap dengan berbagai hal yang berhubungan dengan pernikahan. “Gue doain yang terbaik buat lo, Nay.“ ujar siska kemudian. “Nah, gitu dong... tugas lo cukup support gue, biar gue selalu semangat untuk menemukan jodoh gue." “Iya, semoga nanti disana lo bertemu seorang lelaki single, pintar, kaya, tampan dan mapan buat dijadikan suami." “Heeee...he... thanks ya....“ *** Fadhil Ariyo Soetopo, seorang dokter spesialis kandungan di Kota Bandung yang berusia 33 tahun. Dokter tampan dengan tinggi 178cm ini termasuk jajaran dokter yang paling banyak pasiennya di Kota Bandung. Wajah tampannya selalu dihiasi dengan senyum saat melayani pasien yang datang. Ditambah dengan pelayanan nya yang ramah selalu memuaskan pasien yang berkunjung untuk kontrol kehamilan maupun pasien yang sekedar berkonsultasi kepadanya. Tidak heran, dokter muda ini banyak di idolakan ibu-ibu hamil sehingga dia selalu memiliki jadwal kerja yang padat. “Untuk besok sudah ada berapa pasien yang daftar, Mir?“ tanya Dokter Fadhil kepada asisten nya. “Besok kita Free dok, ada jadwal seminar yang mesti dokter hadiri." “Seminar? Seminar apa? Kenapa saya tidak dapat informasi sebelumnya.“ “Seminar ini, Dok.“ Mira, asisten sekaligus perawat yang membantu Fadhil selama bertugas di rumah sakit menyerahkan sebuah brosur seminar ke tangan Fadhil. Fadhil menerima brosur tersebut, membaca nya sekilas lalu mengangkat kedua alisnya . “Ibu Ratna yang meminta saya untuk mendaftarkan dokter di seminar ini. Sebelumnya saya minta maaf, Dok. Saya tidak bisa menolak permintaan Ibuk. Ini undangan untuk masuk ke Conference Akasia’s hotel." Mira menjelaskan kepada Fadhil mengenai seminar yang akan dia dihadiri besok. Lalu ia meletakkan sebuah undangan VIP diatas meja Fadhil. Fadhil melirik sekilas ke undangan bewarna putih gading yang dilapisi pita merah disisi kanan atasnya. Sementara di bagian kanan bawah sudah tertulis namanya Dokter Fadhil Ariyo Soetopo and Partner. Menandakan undangan tersebut memang ditujukan kepadanya. “Kalau tidak ada yang Dokter butuhkan lagi, saya permisi pulang, Dok.“ Mira berpamitan sambil menundukkan kepalanya. Fadhil hanya menganggukkan kepala pertanda memberi izin Mira untuk pulang. Setelah mendapat izin dari atasannya, Mira melangkah keluar kemudian menutup kembali pintu ruang praktek tempat dia bekerja. Fadhil melempar brosur yang tadi di tangan nya ke sofa yang berada di sisi kanan ruang kerjanya. Dia mendecak kesal mendengar penjelasan Mira. Ibunya selalu ikut campur masalah pribadinya. kesekian kalinya ibunya menjadwalkan hal bodoh yang harus di ikutinya. Entah cara apalagi yang harus Fadhil lakukan agar ibunya paham kalau dia sama sekali tidak berniat untuk berumahtangga. Menurutnya, hidupnya yang sekarang sudah cukup sempurna. Dia sudah memiliki segalanya. Jadi dia tidak membutuhkan seorang istri, seperti yang diminta ibunya. Drrrtttt... drrrrttt.... Ponsel di saku jas kerja Fadhil bergetar. Segera Fadhil meraih ponsel dan menggeser tombol hijau yang tertera di layar. “Ya, halo," ucap Fadhil malas. “Fadhiiil, apa Mira sudah menyerahkan undangan buat besok?“ “Sudah, Ibu apaan sih? Gak bosan apa suruh Fadhil ikut acara-acara yang gak jelas seperti itu.“ “Eeiittss, siapa bilang acara gak jelas. Ini seminar bagus untuk masa depan kamu. Jangan sampai kamu tidak datang ya. Ibu penanggung jawab acara lho. Malu, jika anak ibu sendiri sampai tidak hadir." Tuutt... Tuuttt... sambungan telepon langsung diputus sepihak oleh Ratna-Ibu Fadhil. Dengan malas Fadhil melepas snelli warna putih yang sedang ia pakai, kemudian menggantungkannya di sandaran kursi kerja. Dipungutnya kembali brosur yang tadi sempat dilempar ke sofa yang ada di ruangan tersebut. Tidak lupa, undangan yang diletakkan Mira tadi di atas meja kerja. Satu persatu, brosur dan undangan Fadhil masukkan ke dalam tas kerjanya. Lalu dia melangkah keluar rumah sakit pulang menuju apartemennya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD