“Kamu kemarin pulang ke rumah orang tua kamu?” Pertanyaan Viona membuat Kenan kembali ke bumi, rasa penasarannya kepada sosok yang bernama Rafardhan membuat ia mengabaikan ocehan wanita itu.
“Hm.” Kenan mengangguk.
“Ngapain?”
Sangat jelas sekali Viona tak menyukai tindakan Kenan. “Kangen sama Ibu.”
Viona berdecak lalu menjauh darinya, “Kamu tahu, ‘kan? Aku nggak suka sama keluarga kamu.”
Sudah seribu kali Kenan mendengarkan hal itu, tetapi ia sama sekali tak memberikan pembelaan. Wajar saja Viona tak menyukai orang tuanya, semua karena penolakan keras yang menampar wajah wanita itu tujuh tahun yang lalu.
“Ini terakhir.” Kenan bosan mengucapkan dua kata itu. “Hari ini aku mau ke Semarang.” Ia mengalihkan pembicaraan sebelum Viona kembali mencerca dengan omelan-omelan yang sudah sangat sering ia dengar, “maaf baru ngasih tahu. Kamu, sih, sibuk banget.”
“Aku ikut.”
Kenan menggeleng. Keinginan Viona langsung ia tolak, bisa-bisa kekasihnya itu akan bertengkar dengan Zara, istri Abrar sekaligus sahabat masa SMA Nada.
Abrar adalah sahabat Kenan sejak SD, sama dengan Juna. Namun, saat SMA, Abrar lebih memilih memisahkan diri ke Jogja. dan akhirnya menetap di Semarang setelah menikah dan membuka usaha di kota tersebut.
Suara pintu terbuka dari arah ruang tamu membuat Kenan dan Viona mengalihkan perhatian, sosok wanita yang sangat dikenali mereka berdua muncul dengan tatapan membunuh ke arah Viona. Tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Kenan segera bangkit dari sofa berniat menahan pergerakan ibunya yang mendekati wanita itu.
Kenan terlambat. Shinta tak bisa menahan niat untuk tidak mendaratkan satu tamparan di wajah Viona. Matanya tajam menatap jijik wanita yang kini tengah duduk di sofa ruang tengah.
“Wanita kurang ajar,” hardik Shinta tak bisa menahan emosi.
“Ibu.” Kenan berdiri di antara ibunya dan Viona.
“Buka mata kamu Ken!” Shinta membalikkan tubuh menatap Kenan yang telah rapi mengenakan pakaian seperti akan berpergian. “Dia itu pel--“
“IBU!”
Shinta tersentak, Kenan tak pernah membentak semarah apapun ia kepada wanita yang melahirkannya, tetapi kali ini sudah keterlaluan. Keterkejutan ibunya semakin bertambah saat ia menyeret keluar wanita itu dari ruang tengah menuju ruang tamu.
“Aku sudah dewasa, Bu.” Pembelaan Kenan mulai mencerca ibunya.
“Berhenti membantah Ken.” Suara ibunya mulai bergetar, “Ibu dan ayah melarang kamu karena wanita itu sangat tidak baik untuk kamu.”
“Lalu apa yang baik buat aku?” sela Kenan cepat, “menantu Ibu yang menghilang itu?”
Ibunya terlihat semakin emosi mendengarkan ucapannya, “Dia menghilang karena kamu, ingat itu!” Menunjuk Kenan tepat di hadapan wajah yang sangat mirip dengan suaminya, “dia tanggung jawab kamu.”
Kenan menghela napas, merasa jengah dengan apa yang sedang ia alami sekarang. Keinginannya hanyalah bahagia, tetapi kenapa begitu sulit untuk menggapai di saat semua sahabat begitu mudah mendapatkan tawa dan senyum.
“Aku harus pergi, Bu.” Kenan berusaha menelan emosinya, “Ibu juga.” Auranya melembut.
“Dan membiarkan wanita itu mengotori apartemen milik putri Ibu?”
Memejamkan mata, Kenan mengeratkan kepalan tangan. Kenapa sampai lupa tentang kepemilikan apartemen ini. Seharusnya ia sadar diri, telah mengkhianati Nada, maka tak ada hak sedikit pun baginya berada di tempat tersebut.
“Kamu sudah janji ke ayah, Ken.” Air mata Shinta lolos. “Ibu akan tutup mulut, tapi kalau sampai sekali lagi Ibu lihat dia ada di sini. Bersiaplah untuk angkat kaki dari tempat ini dan juga dari keluarga Mahadri.”
Kenan memalingkan wajahnya, selain karena tak sanggup melihat air mata ibunya, ia juga tak suka dengan ucapan beliau. Kenan memang pengecut, belum siap untuk meninggalkan kemewahan yang telah disuguhkan padanya. Hidup tanpa pekerjaan dan bergantung pada Viona, adalah hal terburuk yang ia ambil.
∞
Kedatangan Kenan langsung disambut oleh Abrar yang tersenyum bahagia di depan pintu utama rumah baru sahabatnya itu. Ia ikut tersenyum, pasalnya sudah dua tahun mereka tak bertemu.
Kenan turun dari mobil yang menjemputnya di bandara atas perintah pria itu. Padahal bisa saja ia memesan taksi, atau meminta manajer hotel miliknya untuk menjemput.
“Apa kabar bro?” Pertanyaan Abrar menyambut kedatangannya.
“Baik,” ujar Kenan kemudian berjabat tangan dengan sahabatnya diakhiri pelukan.
“Bohong banget,” timpal Abrar, “lo lagi nggak baik.”
Kenan hanya berdecak. Ia tak pernah menceritakan apapun pada Abrar tentang kehidupan kelamnya selama tujuh tahun terakhir ini. Namun, ucapan Abrar tadi menyatakan bahwa sahabatnya itu mengetahui semua tentangnya, sudah pasti Abrar mendengarkan dari Juna.
“Jahat, ngomongin gue dari belakang,” gerutu Kenan membuat Abrar tergelak.
“Abisnya lo nggak pernah cerita ke gue.”
“Lo nggak nanya,” sela Kenan cepat. “Gue nggak dikasih minum, nih?”
“Air keran mau?” canda Abrar kemudian terkekeh, “yuk masuk.”
Dua kawan lama itu masuk ke dalam rumah baru, rumah yang lebih besar dari rumah Abrar yang dulu. Meskipun hanya dua kali mengunjungi rumah lama temannya itu, tetapi Kenan masih ingat ukuran rumah tersebut.
Saat masuk ke dalam rumah, Kenan langsung disambut oleh kedua orang tua Abrar. tentu saja mereka sangat mengenalnya, lima tahun dekat dengan Abrar, ia sering mengunjungi rumah sahabatnya itu yang berada di Jakarta.
Ibu Abrar adalah guru di SMP mereka dulu. Itu sebabnya, duduk dan mengobrol dengan keluarga Abrar, Kenan merasa biasa saja, tak ada rasa canggung, ia merasa lepas—
berbaur dengan keluarga sahabatnya yang sudah ia kenal sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Kenan menghela napas saat mata bertemu dengan Zara, istri Abrar. Wanita itu masih tetap tak menyukainya. Rasa tak suka berawal dari SMA, sampai akhirnya memuncak saat kabar miring tentang dirinya terdengar di telinga wanita itu.
Zara mendelik ke arah Kenan, kemudian menarik kedua jagoan masuk ke dalam kamar. Kelihatannya Zara tak suka jika Gabriel dan Rafael mendekatinya. Apakah sikap b******n itu menular?
“Maafin istri gue, ya,” ucapan Abrar mematahkan tatapan Kenan ke arah tangga di mana Zara menghilang dari pandangan.
“Nggak apa-apa.” Kenan menoleh ke arah Abrar, “gue pantas, kok, digituin.”
Ya, Kenan mengaku pantas mendapatkan perlakuan tersebut. Zara adalah sahabat Nada, dan juga gadis yang disukai oleh salah satu teman nongkrongnya saat SMA dulu. Ia sering mengganggu wanita itu dan menggoda agar menerima ungkapan cinta temannya, sedangkan Nada yang berada di sebelah Zara akan diam, tetapi beberapa kali mencoba menyela perdebatan mereka dengan suara lemah lembut. Kenan hanya menganggap itu angin lalu.
Saat reuni angkatan di salah satu kafe di Jakarta, Kenan kembali bertemu dengan Zara yang ternyata telah menjadi istri Abrar selama lima bulan. Ia baru mengetahui hal itu saat sahabatnya menemani Zara di reuni tersebut.
Di hari pernikahan Abrar, ia tidak hadir. Padahal resepsi dilaksanakan di Jakarta. Alasannya karena saat itu ia sedang diambang kehancuran akibat penolakan orang tuanya. Beruntung Viona tak pernah meninggalkannya, jika pun iya maka Kenan tak tahu harus bagaimana untuk melanjutkan hidup.
“Lo sudah ketemu istri lo?” Abrar kembali membuka percakapan setelah mereka berdua terdiam.
Kenan bersandar mencari kenyamanan di sofa yang ia duduki, “Belum.” Ia menggeleng.
“Zara sama gue juga lagi usaha nyari.” Abrar ikut bersandar menatap pintu menuju dapur, “gue nggak pernah ketemu istri lo. Zara ngasih fotonya, tapi yang pas dia masih SMP.”
Kenan tergelak, “Serius? ada-ada aja.” ia tertawa kecil. “Kenapa lo bisa sama Zara, sih?”
Selama ini Kenan tutup telinga dengan kisah asmara sahabatnya. Bukan karena ia merasa iri, tetapi karena ia disibukkan dengan kuliah dan juga kerjaannya. Kenan hanya mendengar saat menerima undangan pernikahan.
“Satu kampus.” Bahkan Kenan baru tahu bahwa setelah lulus SMA Zara melanjutkan kuliah di Jogja.
“Waktu SMA dulu, teman gue ada yang suka sama istri lo.” Kenan memulai kisahnya. “Gue sering godain istri lo biar dia nerima cinta teman gue.”
“Udah tahu,” sela Abrar cepat.
Kenan menoleh. “Pasti istri lo ngomongin yang nggak baik tentang gue.”
“Lo berengsek!” semprot Abrar, “punya teman cantik nggak ngasih tau gue.” Tambahnya.
∞