2 : Cinta Tersembunyi

985 Words
Menikmati secangkir kopi ditemani cemilan sudah sangat sering Kenan lakukan bersama Juna, sahabat sejak duduk di bangku kelas empat SD. Pria itu tahu banyak tentangnya. Meskipun sekarang sudah berumah tangga, Juna tak pernah sedikit pun melupakannya. “Terus, sekarang apa yang bakal lo lakuin?” Juna membuka obrolan setelah diam sejak menghabiskan makan malam bersama Kenan. “Nyari Nada, gue nggak senekat itu usaha dari bawah. Bisa-bisa Viona bakal ninggalin gue.” Juna berdecak, “Payah.” Ia mengesap kopinya, “kalau gitu, sekalian aja nggak usaha.” Menautkan kening, Kenan menoleh ke arah Juna, “Maksud lo?” Ia mendesah, “gue udah sejauh ini, enam belas tahun, Man.” “Serah lo, deh.” Juna mendelik kesal. Bukan hanya orang tuanya yang tak menyukai Viona, Juna pun begitu. Namun, terlihat jelas di mata Kenan bahwa pria itu berusaha menerima keputusannya. Saat itu, sembilan hari Kenan bertahan atas dasar tak ingin mengecewakan orang tua hingga menerima pernikahan tersebut. Memberi alasan bahwa libur musim dingin telah selesai, ia meninggalkan tanah air dan meraih kenyamanan di negeri orang. “Nada di mana, ya?” Juna bersandar menatap sendu layar TV di hadapannya, “sudah lima belas tahun dia ngilang.” Tak ada yang menampik bahwa hilangnya Nada membawa duka bagi setiap orang terdekat wanita itu. Kenan pun tahu, Juna merasakan hal tersebut. Saat ia meninggalkan tanah air di hari itu, Nada pun ikut menghilang. “Kalau gue tahu, nggak bakal gue cari,” gerutunya merasa risi dengan pertanyaan dan topik yang diangkat Juna. “Gue nyesel ninggalin dia waktu itu.” Pandangan Juna menerawang, “dia nggak kelihatan depresi, itu sebabnya gue ninggalin dia, dan akhirnya seperti ini." “Udah berlalu juga.” Kenan melirik, “lo nggak pulang? anak-anak lo pasti udah nunggu.” Kenan menghela napas. Jika kisah cintanya tak setragis ini, maka sudah pasti ia akan hidup seperti Juna yang telah bahagia memiliki keluarga. Beberapa kali Kenan merasa iri melihat sahabatnya itu tertawa bersama dua malaikat kecil titipan Tuhan. “Gue balik.” Juna menyela lamunan Kenan. “Oh iya, si Abrar pindahan. Dia ngundang kita ke syukuran rumah barunya.” Kenan menoleh. “Di Semarang?” “Yep.” “Gile tuh anak, suka banget merantau.” Kenan berdecak sambil menggelengkan kepala. “Gue banyak kerjaan, lo aja yang pergi.” Juna mengucapkan itu sambil berdiri, “Gue balik, kangen banget sama Juan. Tadi pagi gue nggak sempet main sama dia.” Kenan mendecih. “Kalau udah depan kerjaan pasti lupa.” “Nggak sepenuhnya, b**o,” timpal Juna memberikan pembelaan, “makanya punya anak, jangan cuma asal komentar.” “Udah sana balik.” Usiran itu mengarah ketidakinginan Kenan mendengar apa yang akan diucapkan pria itu selanjutnya. Kehadiran Juna di samping Kenan akan selalu berakhir seperti itu. Ejekan serta sindiran tidak akan lepas dari mulut pria tersebut, meskipun begitu ia tidak pernah marah ataupun tersinggung. Ia jadikan sindiran Juna sebagai batu loncatan untuk dirinya lebih berusaha keluar dari kungkungan bayang-bayang Nada. ---- Kenan sadar, sejauh apa pun ia berusaha membuat ayahnya bangga, tetaplah salah di mata pria itu. Bukan sejak ia meninggalkan sang istri, tetapi sejak duduk di bangku SMA. Menjadi satu-satunya pewaris membuatnya merasa frustasi dikekang untuk bersikap layaknya seorang pangeran. Itu sangat membuat ia kesal, apalagi saat tahu bahwa akan dijodohkan. Tak ada alasan untuk Kenan menolak, atau lebih tepatnya ia tak bisa menolak. Calon pengantin perempuan pun tak memberikan penolakan. Selain karena dikekang oleh keluarga, juga karena wanita itu mencintai Kenan. Nada, gadis pendiam yang selalu duduk di bangku paling belakang. Meskipun sebenarnya gadis itu tak kehilangan perhatian teman sekelas mereka, mungkin itu karena Nada memiliki otak yang cerdas dan juga paras yang lembut layaknya perempuan Jepang. Terbersit rasa bersalah menikam tubuhnya. Kenan memanfaatkan kepolosan gadis berumur delapan belas tahun, di saat mereka diperbolehkan tinggal di satu atap, tetapi memilih tidur di kamar yang berbeda. Saat itu Kenan masih sangat marah dengan pernikahannya, dan juga keputusan sang ayah yang menyatakan apartemen tempat mereka tinggal adalah milik Nada. Gadis yang telah ia tiduri karena kekecewaan terhadap keluarganya, bukan atas dasar cinta. Sampai sekarang jika memikirkan hal tersebut, Kenan merasa sangat bersalah. Tujuannya mencari keberadaan wanita itu bukan hanya ingin menceraikan, tetapi juga ingin mengucapkan permohonan maaf yang membayangi selama lima belas tahun terakhir ini. “Gue balik ke London, terserah lo mau ngapain selama gue nggak ada di sini.” Kenan masih ingat apa yang ia katakan pada saat akan meninggalkan Nada. Wanita itu hanya mengangguk lalu tersenyum kecil. Ia sering mendapatkan respons itu, sejak mulai gencar untuk mendapatkan Viona, Nadalah yang menjadi perantara. “Jaga diri, ya.” Tiga kata yang terakhir kali Kenan dengar dari Nada, suara lembut tanpa emosi dan juga tanpa kesedihan. Wanita itu terlalu baik dan juga lembut, selalu melihat sesuatu tanpa berperasangka buruk. Seharusnya Kenan terkesan, seharusnya Kenan menghargai perasaan Nada. Namun, entah kenapa hasrat selalu berpaling, lalu menutup telinga. perlakuan tak kasat mata tersebut sering ia lakukan saat berhadapan dengan Nada. Saat tahu wanita itu menghilang, diam-diam rasa bersalah Kenan semakin besar. Nada mundur dan memberikan kesempatan kepadanya dan Viona untuk bersatu, hal yang selalu mereka berdua impikan. Sayangnya, kemunduran Nada malah menjadi bumerang penghujam Kenan dengan rasa bersalah. “Gue tahu lo, suka sama gue. Jadi jangan sia-siain kesempatan ini, kapan lagi lo bisa habisin waktu bareng gue.” Sungguh, Kenan mengucapkan itu agar Nada mundur. Namun, yang ia dapatkan adalah keinginan wanita itu untuk merasakan kenikmatan dunia bersamanya. Nada memanglah istri, tetapi alasan Kenan melakukan hal tersebut—telah menjadikannya hina di mata orang-orang. “s**l!” umpat Kenan. Di kamar ini, Kenan telah merebut kesucian perempuan pendiam yang mati-matian ia tolak. Istrinya, wanitanya. Kenan mengerti, sampai kapan pun sikapnya itu tak bisa dimaafkan. Sebab ia memang pantas untuk dibenci seumur hidup. Dan jika bertemu nanti, Kenan siap untuk sesuatu yang sangat mungkin. Mau dipukul babak belur pun, ia akan terima. Hanya itu yang bisa dilakukan agar hidup ini tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD