Sari Hamil?

1004 Words
Tanda Merah Di Leher Suamiku 6 Sebelum membaca, jangan lupa klik b**********n. Setelah membaca, jangan lupa tap love dan komen ya, biar author lebih semangat ngetiknya. Semoga kita semua selalu diberi kesehatan dan rizki yang berlimpah. Terima kasih. ***************************************** Part 6 Sari Hamil? Ah tapi masak sih, suaminya Linda yang seorang guru agama itu, berselingkuh dengan Sari, dan sepertinya dia tak punya sepupu di sini. "Emmm...jadi kamu pacaran dengan salah seorang warga kompleks ini? Dan dia sudah beristri, dan istrinya itu sedang hamil tua?" tanyaku mencoba memperjelas semuanya. "Iya benar, Bu," jawab Sari masih dengan menunduk. Fikiranku makin negatif pada Sari, karena kebetulan semua yang dikatakannya mirip dengan keadaanku. Aku akan menyelidikinya lebih lanjut lagi, biar tak salah langkah. "Apa pacarmu itu si Bambang, suaminya Linda, Sar? Secara, di sekitar sini yang hamil kan cuma aku dan Linda, jadi kalau bukan Si Bambang, berarti kamu pacaran sama suamiku dong?" tanyaku langsung. Mendengar pertanyaan itu, seketika Sari pun lamgsung mendongak dan menatapku. Entahlah apa arti tatapan itu, yang pasti dia terlihat amat kaget. "Apa pacarmu itu si Bambang, suaminya Linda, Sar? Secara, di sekitar sini yang hamil kan cuma aku dan Linda, jadi kalau bukan Si Bambang, berarti kamu pacaran sama suamiku dong?" tanyaku langsung. Sari masih terlihat shock mendengar perkataanku itu. "Sar...kok kamu malah diam seperti itu? Ayo jawab, siapa pacarmu itu si Bambang atau Mas Andi?!" Tentu saja kini aku mulai geram, karena dia kutanya tak menjawab-jawab. "Itu...anu, Bu. Emmm..." Sari semakin salah tingkah dan tak bisa menjawab. Dan aku makin penasaran. "Kamu ini gimana sih, Sar? Sudah cerita, dan kini aku ganti bertanya, kenapa kamu malah diam? Jangan-jangan, kamu pacaran sama Mas Andi ya?!" Kali ini, aku langsung menanyakan to the point padanya, karena sudah capek menerka-nerka. "Ah...nggak, Bu. Mana mungkin saya pacaran sama Pak Andi. Tidak mungkin saýa menghianati Bu Siska," jawab Sari gelagapan. "Oke...berarti dapat kusimpulkan, jika pacarmu itu adalah si Bambang, suaminya Linda 'kan?" ucapku lagi. "Emmm..." Sari tak melanjutkan ucapanya, karena dia terlihat makin bingung. "Jawab, Sar. Kamu itu bekerja padaku, jadi jika kamu melakukan hal yang memalukan, maka aku juga akan kena imbasnya!" ucapku emosi. "Maafkan saya, Bu. Saya memang salah, dan khilaf, tapi semua ini karena bujuk rayuan pria itu, Bu. Jadi seharusnya Bu Siska nggak hanya menyalahkan saya saja," ucap Sari lirih. Duh...pembantu satu ini, bukannya menjawab malah minta maaf. Sukanya bikin penasaran. "Aduh, Sar-Sar! Aku ini tanya dulu, apa pacar gelapmu itu benar si Bambang? Jawab dulu, baru minta maaf!" ucapku makin geram. Sepertinya banyak sekali yang disembunyikan dariku, dan gerak-gerik Sari saat ini, menunjukkan jika dia sedang bingung dan ketakutan. Saat Sari masih terdiam sambil menunduk, aku pun ikut terdiam. Memikirkan apa yang terjadi dengan Mas Andi tadi, dan menautkannya dengan keanehan Sari saat dia pulang tadi. Dan menurutku, bisa saja semua ini saling bertautan, dan pembuat tanda merah di leher Mas Andi tadi. Dan jika hal ini benar-benar terjadi, maka aku tak akan bisa memaafkan mereka lagi. Tapi tunggu dulu, ada satu hal lagi yang harus kutanyakan pada Sari. Aku harus memastikan, jika dia kini tidak sedang hamil, karena jika dia hamil, maka aku pun tentu saja akan mendapatkan malu juga. Atau baiknya, dia kusuruh pulang saja Sari, dan tak lagi memperkerjakannya. Sebelum ketahuan jika dia hamil, maka lebih baik jika aku segera memecatnya. "Oke deh...jika kamu nggak mau ngaku siapa pacarmu itu, nggak apa-apa deh. Tapi, aku nggak mau lagi kamu kerja di sini, karena apa? Karena aku takut kamu hamil, dan aku nggak mau ikut malu karenamu!" ucapku sewot tanpa melihatnya. Beberapa saat dia terdiam, kenapa aku mengatakan hal ini, karena aku amat tahu, jika dia dari dulu tak ingin kupecat, karena sulitnya dia mendapatkan pekerjaan. Dan dulu, sebelum kerja di sini, dia sempat trauma karena mendapat majikan yang jahat, dan sering menghajarnya. "Jangan, Bu. Saya masih ingin bekerja di sini, saya sangat nyaman dengan Bu Siska, di sini saya merasa dihargai, Bu," jawab Sari masih dengan menunduk. Tuh, 'kan dia tidak ingin keluar dari sini, nah, ini bisa kujjadikan sebagai s*****a. Untuk tahu siapa pacarnya, nanti bisa menyusul, yang terpenting sekarang aku harus tahu dia hamil atau tidak. "Oke...aku juga pun sebenarnya amat senang dengan pekerjaanmu, tapi kalau kamu hamil aku pasti kena imbasnya, dan aku tak mau itu. Sekarang lihat mataku, katakan, kamu sedang hamil atau tidak saat ini!" ucapku sembari memegang dagunya, agar mau melihat kearahku. "Saya...tidak tahu, Bu," jawabny singkat. Namun, aku sangat yakin jika dia sedang tidak berbohong kali ini. Mungkin memang dia belum mengetes saja. "Baik...tapi selama ini, kamu sering melakukan perbuatan itu dengan pacarmu 'kan? Jawab yang jujur, aku tak akan marah," ucapku mencoba bersabar. "Iya...sering Bu, tapi biasanya dia memakai pengaman kok," jawabnya kembali menunduk, kurasa saat ini dia jelas malu padaku. "Biasanya? Itu berarti kadang kalian melakukan tanpa pengaman 'kan?" tanyaku lagi, memastikan. Sari pun kemudian mengangguk, dan membuatku menarik nafas dalam-dalam. Bisa jadi, selama ini dia berzinah di rumahku ini tanpa sepengetahuanku, dan hal ini pun nanti akan kutanyakan, setelah tahu dia hamil atau tidak. "Hemmm...kemungkinan kamu hamil jadi besar, Sar. Bagaimana dengan haidmu bulan ini?" ucapku sambil terus mencoba menerka-nerka. "Haid saya dari dulu tak pernah teratur, jadi tak bisa menjadi patokan, Bu." Waduh, tak bisa diterka-terka dong kalau begini , jadi harus di cek secara insentif. Sari kini tak lagi menunduk, mungkin dia mulai nyaman lagi denganku, yang memang mencoba tak meninggikan suara. Karena menurutku, jika aku emosi, malah tak akan mendapat informasi apapun. "Oke, sudah pernah pakai tespack?" tanyaku lagi. "Belum, Bu. Saya tak berani," jawabnya lirih. "Ngapain nggak berani sih, Sar? Justru dengan itu, kamu jadi nggak was-was lagi. Ayo ikut ke kamarku, aku masih punya satu alat itu," ucapku, sembari menarik tangannya menuju ke kamar. "Tapi, tolong jangan bilang hal ini ke Pak Andi ya, Bu." Sari tiba-tiba berkata seperti itu. Mendengar perkataan Sari itu, tentu aku jadi makin curiga. Namun, harus tetap bisa mengontrol emosi, hingga hasil testpack ini keluar. "Iya...iya, gampang itu. Ini rahasia kita berdua kok!" ucapku mencoba menenagkanya. **kira-kira si Sari hamil nggak sih? Apa benar dia ini selingkuhannya si Andi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD