6. Alhamdulillah SAH

1045 Words
Pembacaku sayang. Sebelum baca, tab love dulu ya. Terimakasih. Ikan mujaer di dalam kali Para reader selamat membaca Laili **** "Saya terima nikah dan kawinnya, Laili binti Ahmad Jaelani dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas, dibayar tunai." Laili melirik lelaki tampan yang memakai baju koko lengkap dengan peci, yang kini duduk persis di sampingnya. Setelah prosesi ijab kabul dan juga memakaikan cincin di jari manisnya, Laili dan Arya kini duduk di kursi yang berdampingan. Tak banyak tamu yang hadir, hanya keluarga Arya, keluarga Ririn yang tadinya sempat menolak. Juga ada Suci dan Diana, teman sekolah Laili yang hadir di sana. Acara dilangsungkan tepat sepekan Ujian Nasional selesai. Laili kini memasrahkan kepada Tuhan, apa yang akan terjadi ke depannya. Karena bagaimana pun menjadi istri kedua itu tidaklah mudah, meski ada restu dari istri pertama, tetapi tetap saja sang pria bukanlah miliknya semata. Laili harus belajar menumbuhkan rasa cinta di hatinya untuk Arya Jovan, lelaki yang biasa ia panggil Tuan, kini harus ia panggil Mas. "Lihat saja kalau mau lihat, jangan dilirik begitu," ujar Arya sambil berbisik. Ucapan yang tentu saja membuat Laili bersemu merah sekaligus kesal tak terkira. Pasti suami tuanya ini akan menjadi orang yang selalu mengganggunya. "Sudah halal, diapain aja boleh," lanjut Arya lagi membuat Laili terbahak. "Ha ha ha ...," "Tertawalah, maka kamu jadi terlihat cantik," bisik Arya lagi hingga membuat semburat merah hadir lagi di kedua pipi Laili. Dari kejauhan, Ririn meneteskan air mata melihat pemandangan manis di depannya. Ia tak paham dengan perasaannya saat ini, saat suaminya menolak untuk poligami pada Laili, dialah yang setiap hari merayu, bahkan meracuni pikiran suaminya agar mau menjadikan Laili istri kedua. Begitu hari yang dinanti tiba, hatinya menjadi sakit karena cemburu. Suaminya selalu saja berbisik pada madunya di depan sana, ada rasa penasaran sekaligus iri. Namun, semua telah menjadi keputusannya. Paling tidak, ia bisa memantau Laili dan mengaturnya. Jika suaminya berselingkuh atau menikah dengan wanita lain, pasti ia akan lebih repot. Cepat Ririn menghapus air matanya, saat langkah kaki suaminya kini mendekat menghampirinya. Dira yang baru saja mengempeng ASI-nya sudah dibawa bibik ke kamar, begitu juga Anes yang sudah tertidur saat asik bermain dengan para saudaranya. "Kenapa nangis?" tanya Arya pada Ririn. "Cemburu." "Lho, bukannya ini semua maunya Mama. Masa cemburu." Arya kini sudah menggengam jemari sang istri, menghapus air mata yang kini semakin deras membasahi kedua pipi Ririn. Laili memandangnya sambil tersenyum tipis. Apakah ia cemburu? Tidak, ia tidak akan pernah cemburu melihat kebersamaan dan kemesraan Arya dengan Ririn. Karena ia sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Jadi, ia tidak akan cemburu dan tidak boleh ada cemburu. Ia pun yakin, Arya menikahinya karena kasihan semata, bukan karena cinta. "Laili, kami pulang dulu ya," pamit Diana dan Suci bersamaan. Keduanya memeluk erat Laili. "Danu tidak kamu undang, Li?" goda Suci. "Malees. Maaf ya gengs, Arya Jovan sang pemilik hotel, lebih berharga dari pada seorang Danu, yang buat bayar pipis di WC umum saja masih minta sama mamanya." Ketiganya terbahak dengan keras, hingga beberapa orang di sekitar Laili ikut memperhatikan, tak terkecuali Arya dan Ririn. "Satu lagi yang pasti." Lanjut Suci. "Apa tuh?" Laili dan Diana penasaran. "Punya Danu, bak biji salak. Sedangkan suami lo, biji mangga. Ha ha ha ha...." Puk Puk Puk Laili memukul gemas Suci dengan sekuat tenaga. Wajahnya merona dan itu berhasil membuat Arya di ujung sana mengulum senyum. Setelah satu per satu tamu pulang, rumah kembali seperti sedia kala. Ada dua orang yang dibayar oleh Ririn untuk membantunya membereskan rumah. Laili pun sudah berganti pakaian dengan pakaian santainya. Yaitu celana bahan katun panjang dipadupadankan dengan kaus yang sudah lusuh warnanya. Kaus yang selalu ia pakai jika ingin tidur. Laili membantu menyapu rumah dan merapikan perabotan. Ia juga mengangkat piring-piring kotor yang masih tertinggal di halaman rumah. "Non Laili, dipanggil Tuan," seru Bik Kokom dari depan pintu. Laili mengangguk, lalu berjalan masul ke dalam rumah. Sebelumnya ia sudah mencuci dulu tangannya, lalu bergegas naik ke lantai dua. Tuk Tuk "Permisi, Tuan-Nyonya. Ini Laili," ujar Laili di depan pintu kamar majikannya. Kreek Arya membuka pintu kamarnya, ia sudah berganti pakaian dengan yang lebih santai juga. Lelaki itu tersenyum tipis pada Laili, sambil menarik masuk istri keduanya itu ke dalam kamarnya. "Ada apa, Tuan?" tanya Laili. "Laili, mohon maaf sebelumnya. Saya mau minta izin, meskipun kini suami saya sudah menjadi suami kamu juga, tetapi Mas Arya setiap malam akan tidur dengan saya. Bagaimana?" "Siap, Nyonya. Tak masalah," jawab Laili penuh keyakinan. Justru ia merasa lega karena tidak harus tidur seranjang dengan suami tuanya. "Kamu tidak keberatan?" kali ini Arya yang bersuara, membuat Ririn dan Laili menoleh ke arahnya. Arya menatap Laili dengam intens, bahkan tanpa berkedip. Membuat dirinya salah tingkah. "Mm...b-begini Tuan. Eh, Mas. Nyonya bila malam suka bangun buang air kecil, jika Mas tidur bersama saya, nanti yang membantu Nyonya siapa. Jadi saya tidak keberatan," terang Laili sambil tersenyum kepada dua orang dewasa di depannya. Raut wajah Ririn seketika melunak, bahkan garis lengkung bibirnya naik ke atas. Hatinya tenang, saat merasa benar telah memilih Laili jadi madunya. Ia tidak akan takut ditinggalkan oleh Arya. "Kalau tidak ada lagi yang mau dibicarakan, saya pamit ya, Nyonya. Saya mau bantu bibik di bawah." "Ok, kamu boleh pergi. Terimakasih atas pengertian kamu Laili. Tidak salah saya memilih kamu jadi istri kedua Mas Arya. Semoga kita selalu akur ya," ujar Ririn dengan senyum mekar. "Kamar tamu kini menjadi kamar kamu ya. Jadi, mulai malam ini, kamu tidur di sana," ujar Ririn memberitahu. "Baik, Nya. Terimakasih." Laili mengangguk paham, lalu berjalan keluar dari kamar majikannya. Ia pun melanjutkan membantu pekerjaan bibik di bawah. Padahal sudah dilarang, tetapi Laili tetap mengerjakannya. Hingga malam tiba tanpa terasa. Laili melaksakan sholat isya di kamar barunya, ia melipat mukena baru yang dijadikan mahar dari suaminya. Mukena sutera yang sangat bagus. Laili betah berlama-lama memakainya. "Laili," panggil Arya yang kini sudah masuk ke dalam kamarnya. "Eh, Tuan. A-ada apa? Apa Nyonya perlu bantuan?" Arya berjalan mendekat pada Laili yang masih mengenakan mukena. Lelaki itu ikut duduk di samping Laili. "Maaf, saya belum bisa mengimami kamu sholat ya?" ujar Arya membuat hati Laili berdesir. "I-iya, Mas. Tidak apa-apa," jawab Laili kikuk. "Laili," panggil Arya dengan suara sedikit bergetar. "Ya." "Saya mau mencium kamu, boleh?" ***** Kentang gaes???? Gaskeun komentar dan jangan simpan di reading list kalian yaa. Jangan lupa tab love-nya ya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD