BAB 2. PAGI YANG MENJENGKELKAN

1196 Words
Pagi ini, Rea bangun seperti biasanya. Kebiasaan yang selama ini selalu menjadi rutinitasnya setiap harinya. Yakni melihat Sang Matahari terbit setiap pagi. Entahlah, Rea memang suka melakukannya. Menikmati keindahan dari Sang Pencipta yang mampu memberikan ketenangan dan kehangatan dari cahayanya. Seolah-olah memberikan energi kehidupan yang Rea butuhkan untuk bertahan hidup. Saat ia hanya seorang diri di kehidupannya yang sekarang. Puas menikmati kehangatan sinar mentari pagi. Rea memutuskan untuk melihat laki-laki yang ia tolong semalam. Dan juga, Rea harus membuat sarapan untuk mereka berdua. Sebelum ia berangkat bekerja di minimarket. Setelah membasuh mukanya. Gadis cantik tersebut keluar dari kamarnya dan melihat jika laki-laki itu sudah duduk di sofa dengan tatapan tajamnya mengarah ke Rea. Sontak saja Rea mengerutkan keningnya bingung mendapatkan tatapan permusuhan dari laki-laki yang ia tolong. ‘Bukankah seharusnya ia berterima kasih?’ benak Rea menggelengkan kepalanya, tak habis pikir akan respons negatif dari laki-laki tersebut. “Kenapa?” tanya Rea ketus dengan kedua alis yang menyatu, sembari bersedekap di hadapan laki-laki itu. Si lelaki hanya mendengus kesal, lantas mengalihkan pandangannya ke arah lain. Seolah enggan menjawab pertanyaan tersebut. “CK!” decak Rea sebal. “Bukannya seharusnya Lo berterima kasih yah, sama gue? Karena semalam, kalau bukan Gue yang nolongin Elo di jalanan. Mungkin aja, Lo sudah jadi santapan para bencong yang sering lewat di situ.” cerocos Rea kesal. Si lelaki hanya mendengus dan masih tetap tidak mau menatap wajah Rea. Sebenarnya, bukan ia tak mau menatap wajah perempuan cantik di hadapannya saat ini. Hanya saja, pakaian yang Rea kenakan terlalu terbuka untuk bisa ia perlihatkan kepada orang asing seperti dirinya. Atau mungkin juga, perempuan itu tidak menyadari baju yang ia pakai sejak tadi. “Apa Lo selalu berpakaian seperti ini saat ada orang asing yang menginap di rumah? Oh, atau pastinya cowok Lo yang suka menginap disini, yah?” cibir Laki-laki yang saat ini seakam tengah mengamati perempuan di depannya ini dari atas ke bawah. Membuat Rea segera menundukkan kepalanya dan seketika saja ia menjerit, “Astaga!” pekiknya terkejut dengan pakaian tidur yang masih belum ia ganti tadi saat keluar dari kamarnya. Tanpa banyak bicara, Rea segera membalikkan tubuhnya dan bergegas masuk ke dalam kamarnya kembali dan terdengar bunyi pintu yang di kunci dengan nyaring. KLIK “Dasar cowok m***m! Kenapa nggak bilang dari tadi coba? Sengaja kan pasti!” lengkingan teriakan Rea dari dalam kamar yang menuduh laki-laki tersebut terdengar begitu nyaring. Membuat cowok tersebut menutup kedua telinganya agar tidak pecah gendang telinganya. Seraya menggerutu kesal karena di tuduh oleh Rea, “Dia yang pakai baju tipis begitu. Kenapa Gue yang di tuduh m***m coba? Orang dia sendiri yang pakaiannya menggoda gitu! Gue kan laki-laki normal.” Ujarnya seraya menunduk, melihat ‘adiknya’ yang telah sesak di dalam sana. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menghembuskan napasnya kasar. Kesal karena tuduhan cewek cantik tersebut. Serta jengkel, sebab tak bisa menuntaskan apa yang perempuan itu perbuat. Walaupun tanpa disengaja olehnya. Lantas siapa yang di salahkan? Miliknya kah yang mudah bangkit menantang langit hanya karena pakaian seksi? Atau mungkin perempuan itu yang tidak bisa menjaga tubuhnya hingga membuat seorang lelaki terangsang karenanya? *** Rea keluar dari kamar dengan wajah jutek dan bibir yang mengerucut kesal. “Awas saja sampai berani macam-macam! Nggak akan segan-segan Gue buat Lo masuk kuburan!” ancam Rea yang menatap wajah tampan laki-laki di hadapannya dengan tajam. “Cih! Tubuh kurus kering aja belagu. Nggak akan tergoda gue sama tubuh kayak triplek begitu.” Balas laki-laki tersebut sambil tersenyum mengejek. “Sekarang cepat keluar dari rumah gue. Sudah di tolong bukannya berterima kasih malah ngatain pula. Pergi sana!” usir Rea dengan emosi yang memuncak. Bagaimana bisa tubuhnya yang seksi layaknya gitar Spanyol ini di samakan dengan triplek. Oh, tidak. Ini sudah sangat menghina dirinya. Rea tak bisa menerimanya. Mendengar kata-kata perempuan itu, laki-laki tersebut langsung terdiam. Dalam benaknya ia berpikir, ‘Gue nggak bisa keluar dari rumah ini. Karena anak buah bos Baron pasti masih mencari keberadaan gue. Tapi gimana bujuknya yah, si macan betina ini?’ “Heh! Kenapa malah ngelamun sih? Buruan keluar dari rumah gue! Terserah Lo mau tidur di jalanan juga gue nggak peduli.” ucapnya sambil mengibaskan tangannya tanda meminta laki-laki itu segera pergi dari rumahnya. “Yah, kok di usir sih. Masa Lo tega sama gue yang lagi sakit gini, mesti jalan pincang-pincang di jalanan. Sudah kayak gembel aja.” Ucapnya memelas dengan raut wajah prihatin. Berharap agar Rea luluh melihat wajah lebamnya menampilkan raut memelas. “Nggak peduli. Bodo amat. Sudah sana pergi.” Ketusnya sambil terus mengibaskan tangannya di depan wajah laki-laki tersebut. Si lelaki berdiri dengan bertopang pada pinggiran sofa. Karena memang tubuhnya masih sangat lemah. Bayangkan saja, dia hanya seorang diri dan di hajar oleh lima orang pria bertubuh gempal. Jelas saja tubuhnya terasa remuk. Meskipun ia bersyukur tulang-tulangnya tidak ada yang patah. Walaupun wajah tampannya harus babak belur dibuatnya. “Kalau mau nolongin itu yang ikhlas dan jangan setengah-setengah dong!” protes cowok tampan yang memiliki wajah bule tersebut. Rea melotot kesal. Belum sempat Rea membalas ucapan cowok tersebut. Bunyi perut si cowok berhasil membuat suasana menjadi hening. Rea menahan tawanya, sedangkan cowok itu merutuki perutnya yang tak bisa memahami kondisinya saat ini. Dimana ia tengah membujuk perempuan di depannya ini agar tidak mengusirnya. Rea hanya menghembuskan napasnya dengan panjang. Bagaimana pun ia tak akan setega itu untuk mengusir orang yang sedang kelaparan dari rumahnya begitu saja. Sejahatnya dirinya, ia masih memiliki hati. “Hahhh, baiklah.” Rea menghela napasnya, “ Lo bisa pergi setelah makan. Setelah itu gue harap nggak pernah ketemu lagi sama lo.” Lanjutnya yang langsung pergi menuju ke dapur. Meninggalkan cowok tersebut di ruang tengah. Sepeninggal Rea, cowok tersebut akhirnya bisa bernapas lega. Karena untuk saat ini ia bisa tinggal sejenak di rumah Rea yang nyaman menurutnya. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan yang ada disini. Sesekali ia mengerutkan keningnya saat melihat begitu banyak botol alkohol di rumah ini. Dalam hatinya ia bertanya, ‘Apa sebenarnya pekerjaan gadis itu? Kenapa ada begitu banyak botol alkohol?’ Merasa jika tubuhnya sangat lemas dan juga terasa remuk akibat di keroyok semalam. Cowok tersebut memutuskan untuk duduk di sofa dengan tenang dan nyaman. Sembari menunggu gadis bar-bar tadi membuat sarapan untuknya. Ia teringat akan kejadian semalam. Di mana ia di hajar habis-habisan karena tak sanggup melunasi semua hutang-hutangnya kepada Bos besar pemilik sebuah club ternama di kota ini. Tanpa sadar, ia menghembuskan napasnya berat, sembari memijat pelipisnya yang terasa pusing. Memikirkan apa yang akan ia gunakan untuk membayar hutang-hutangnya. Hingga ia tak sadar jika Rea sejak tadi mengamati dirinya yang tampak frustrasi. “Kenapa lo? Kayak yang terlilit hutang banyak aja!” ejek Rea yang masih berdiri di depannya. Si cowok mendongak mendengar suara di depannya. “Memang kok. Makanya sekarang gue lagi pusing gimana caranya mendapatkan uang itu. Kalau nggak pasti nyawa gue taruhannya.” Keluhnya dengan nada yang terdengar penuh keputusasaan. Membuat Rea menautkan kedua alisnya. “Ya, mana gue tahu. Kan elo yang berhutang. Ya, lo juga yang harus melunasinya. Sudah sekarang lebih baik kita sarapan dulu. Nanti baru lo pikirin lagi masalahnya. Gue juga mau kerja. Jadi, buruan kalau memang lo mau numpang makan disini.” Ketusnya sambil berlalu dari hadapan cowok tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD