Part 6

801 Words
Selena dengan kesal melihat kertas yang diberisikan nomor ponsel lelaki tersebut, nama saja sampai sekarang dia tidak tahu malah menyuruh dia untuk menghubungi pria itu. Selena ingin membuang ketempat sampah nomor ponsel pria itu tapi dia ragu akhirnya menyimpan kertas berwarna kuning tersebut. "Lena ayo kita pulang," kata Oliver yang tiba-tiba sudah berada di belakang Selena. "Yaa ampun Oliver, kamu mengagetkan aku," ujar Selena mengelus dadanya. Di dalam mobil Oliver, Selena hanya diam. Pikirannya masih mengingat kejadiannya di hotel dan direstoran tadi. "Lena untung saja yang nabrak mobilku mau bertanggung jawab jika tidak mama pasti akan memarahiku," ujar Oliver. "Iya." "Maaf yaa sayang karena kejadian tadi merusak makan malam kita, aku berjanji akan menebusnya sabtu malam besok." "Ga apa-apa Oliver." Mereka kembali diam, Selena ingin menanyakan tentang kejadian malam itu. "Oliver kamu menunggu aku dikamar hotel nomor berapa kemarin?" tanya Selena. "Eeh iya.. kamar nomor berapa ya aku lupa," jawab Oliver dengan gelisah. "Kamu kenapa? Kok jadi seperti itu?" "A-aku ga apa-apa Lena, aku menunggu dikamar hotel sampai pagi. Semuanya demi kamu," ujar Oliver gugup. "Apa kamu benar benar menungguku?" "Tentu saja sayang malah aku tertidur di kamar hotel dan berharap kamu datang," "Maaf." "Sayangku, aku tidak masalah. Mungkin kamu masih ragu padaku," ujar Oliver berbohong. Selena hanya tersenyum mendengar perkataan Oliver. Dia ragu untuk menanyakan hal yang lainnya. "Lena kamu baik baik kan, sayang? Kamu jangan khawatir Lena aku ga marah kok. Aku mencintaimu sayang," ujar Oliver begitu mereka tiba di apartement Selena.  Selena hanya membalas dengan anggukkan kepala, dia ragu untuk mengucapkan kata cinta pada Oliver. Selena masih memikirkan semua yang terjadi, kenapa pria itu selalu muncul dihadapannya dan membuat dia kehilangan konsetrasi. Bayangan-bayangan pria tersebut berusaha dia lupakan, dia tak ingin mengingat malam yang sangat dia sesali seumur hidupnya.  "Kenapa kehidupanku bisa seperti ini," ujar Selena lirih. "Apa aku harus memutuskan hubunganku dengan Oliver? Aku tak sanggup bila harus bertemu dengannya lagi." Bulir-bulir air mata jatuh dipipi Selena. Begitu berat beban hidupnya, dia hidup sendirian di ibu kota. Tidak memiliki keluarga kandung dan tak ada yang memperdulikannya. Veronica hanya dia lah yang peduli dan mengerti Selena, hanya Veronica lah sahabatnya dari dia sekolah dulu yang ada untuknya sampai sekarang. Selena teringat saat dia mengabari Veronica, tentang dia tiba di ibu kota. Flashback Selena menghubungi ponsel Veronica. "Jadi kamu datang kesini?" ujar Veronica. "Iya Ve. Aku akan pindah ke Jakarta." "Apa kamu sudah memiliki tempat tinggal?" "Belum Ve." "Tinggallah di apartemenku, Lena." "Aku tidak ingin merepotkanmu, Ve." "Apaan sih, tidak merepotkan. Pokoknya kamu harus tinggal bersamaku! kalau kamu tidak betah, kamu bisa pindah." "Terima kasih, Ve." Setelah sebulan Selena berkerja di Johanson Grup, dia memutuskan untuk pindah dan mencari apartemen sendiri. Dia tidak enak jika harus tinggal terlalu lama di apartemen Veronica. Awalnya Veronica tidak memperbolehkan Selena pindah dari apartemennya. "Tinggalah disini lebih lama, Lena," ujar Veronica. "Maaf Ve. Aku tidak enak terus merepotkan kamu." "Selena Handoko, kita bersahabat dari jaman sekolah dulu. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan kok. Aku senang membantumu, kamu kan sahabatku." "Terima kasih, Ve. Terima kasih sudah mau menjadi sahabatku." "Aku juga terima kasih, Lena. Kamu memang sahabat terbaikku." Selena tersenyum, dia merasa beruntung ada Veronica yang membantunya, saat dia mengalami kesulitan. Dia banyak berhutang budi pada Veronica, dia bertekat jika ada kesempatan. Dia akan membalas semua perbuatan baik yang telah Veronica lakukan padanya.  ************ Oliver sudah tiba dirumahnya dan disambut Merry dengan pandangan tak suka. "Kamu masih menemui Selena!" ujar Merry. "Mama, aku mencintai Selena dan Selena juga mencintaiku. Tolong mengerti tentang perasaanku" jawab Oliver. "Tapi jika Selena tau perbuatanmu, apa kamu pikir dia akan tetap mencintaimu?" tanya Merry dengan senyuman mengejek pada putranya. "Selena akan mengerti ma, aku melakukan ini semua karena terpaksa," ujar Oliver lirih. "Bahkan saat dia sudah tak perawan lagi kamu masih mau bersamanya?" "Ma... aku tidak mempermasalahkan Selena perawan atau tidak perawan, karena yang aku cintai diri Selena apa adanya. Aku terpaksa menjual keperawan Selena bukan karena keinginanku," "Jadi kamu menyalahkan mama atas semua yang terjadi, kamu ini anak mama Oliver. Mama yang mengandung dan membesarkanmu," ujar Merry berpura-pura menangis. "Maafkan aku mama. Jangan menangis lagi, ma." Oliver tidak tega melihat ibunya menangis. "Jika kamu memang seperti ini, mama menyerah padamu nak. Lakukanlah apa yang kamu inginkan tapi sampai kapan pun mama tidak akan merestui hubunganmu dengan Selena." "Ma setelah kita melakukan menjualnya dan mendapatkan keuntungan darinya sekarang mama bersikap seperti itu padanya?"  "Mama tidak peduli itu nasib sial Selena bukan kesalahan mama." Oliver hanya bisa diam, dia sangat dilema sekarang satu pihak ada perasaan bersalah pada Selena dan dipihak lain ibunya tidak menyukai Selena. Oliver memang salah telah menjual keperawan Selena untuk kepentingannya sendiri. Dia membutuhkan uang dengan cepat untuk menutupi hutang-hutang ibunya. Dia terpaksa melakukan hal tersebut dari pada ibunya masuk sel tahanan. Oliver menyesali telah melakukan hal tersebut pada Selena dan ingin bertanggung jawab atas kesalahan yang dia lakukan. Dia memilih untuk bersikap tidak tahu apapun tentang kejadian yang menimpa Selena. Oliver berpikir kalau dia akan bersikap seperti tidak tahu apapun kalau Selena sudah tidak perawan. Dia berharap Selena tidak akan mencurigai dirinya yang telah menjual Selena. Dia adalah dalang yang sebenarnya yang telah menjual keperawanan kekasihnya sendiri, Selena. "Maafkan aku Lena," ujar Oliver lirih. ***********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD