8. Rengekan Arion

1019 Words
Rengekan sang anak, membuat Luna membawa Arsen untuk duduk bersama di ruang makan apartement mereka. Luna tampak sibuk menyiapkan makan siang untuk mereka bertiga, walaupun pada dasaranya pikiran Aluna tidak bersama dengan raganya. Luna nyaris saja merelakan tangannya untuk bersentuhan dengan panci panas yang berisi sayur bayam kesukaan Arsen, anak laki-lakinya. "Lun, kamu sedang melamun?" tanya Arsen yang membuat Luna tersadar, dan menjauhkan diri dari Arsen. "Ka-kamu sedang apa?" tanya Luna balik. "Aku ingin mengambilkan Rion segelas air, dan ketika aku melihat kamu di dapur, aku merasa kamu sedang tidak fokus dan nyaris saja menum-," Arsen tidak dapat melanjutkan ucapannya karena Luna memotong ucapan Arsen,"Ah, aku hanya sedang mengingat pekerjaan aku Arsen," dusta Luna, "Kamu mengabaikan keselematan kamu demi pekerjaan?" "Tsk, kamu pikir, semua ini karena ulah siapa?" balas Luna yang membuar Arsen menghela nafas. Arsen sadar. Keputusannya yang menggantungkan kesepakatan kerja yang dia buat dengan Luna, membuat dirinya memiliki aktu yang lebih banyak untuk bersama dengan Luna dan puteranya. "Oh, jadi sekarang kamu sedang menyindir klien kamu di luar jam kerja?" cibir Arsen. "Tidak. Aku hanya sedang curhat saja." jawab Luna yang segera mengalihkan pandangannya dari Arsen. Ntah mengapa, semakin lama, Arsen semakin tampan saja, eh! "Luna, kita bisa bicarakan kesepakatan itu besok." "Ckckck, jangan memberikan aku harapan palsu. Karierku bergantung pada n****+ kamu, Arsen." "Apa, aku terlihat seperti orang yang suka memberi harapan palsu? Kamu, tidak sedang menggambarkan diri kamu sendiri kan, Luna?" tembak Arsen yang membuat Luna meneguk ludahnya sendiri. "Sepertinya, aku sudah selesai. Aku akan menata semua ini di meja makan." kata Luna yang sedikit mendorong tubuh Arsen untuk menjauh. Arsen menganggukkan kepala. Dia tersenyum melihat sikap Luna yang tampak salah tingkah akan perkataan Arsen. Arsen melepaskan Luna kali ini. Arsen berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan melepaskan Luna untuk ke-dua kalinya. Luna meletakkan semua di meja makan dengan perasaan yang campur aduk di dalam hati Luna. Luna mencoba mengabaikan semua itu dan fokus dengan apa yang akan dia lakukan. Rion tampak tersenyum dan menikmati moment bersama Arsen, ayah kandungnya. Luna semakin teriris akan hal itu. * Arsen menatap Luna yang telah berhasil menidurkan Arsen. "Rion, udah tidur," kata Luna yang mengisyratkan agar Arsen segera pulang dan tidak mengganggunya. "Aku tahu. Mataku masih berfungsi dengan baik." "Kalau begitu, kamu bisa pulang sekarang, Arsen, " usir Luna yang membuat Arsen menggelengkan kepalanya. "Aku masih ingin di sini. Bukannya tidak sopan mengusir tamu yang datang ke rumah seperti ini, kan?" "Pekerjaan aku masih banyak." "Aku akan menemani kamu," "Tsk, aku tidak butuh ditemani, aku sudah terbiasa sendiri. Jadi, please, jangan lebay!" "Luna," "Hm," "Bagaimana kalau kita membahas pekerjaan sekarang?" "Maksud kamu?" "Aku setuju bekerja sama dengan perusahaan tempat kamu bekerja, tapi dengan satu syarat," Luna yang tampak sumringah, tiba-tiba mengerutkan kening. Luna lupa., jika Arsen yang ada di depannya, seorang pria yang penuh perhitungan. "Apa?" "Kamu akan menjadi editorku, dan kamu bekerja sesuai keinginanku." jawab Arsen yang membuat Luna menghela nafas panjang, Luna tidak memiliki pilihan lain selain menerima tawaran Arsen. "Oke." "Good, kita akan bahas semua itu besok di apartemenku," "Kenapa di apartement kamu?" Arsen menatap Luna,"kamu pikir, aku harus bertemu kamu di mana? Aku hanya memiliki waktu luang jam 9 pagi. Aku harus begadang sampai subuh, jadi jangan salahkan aku jika aku ingin mengatur jam kerja aku sendiri," jelas Arsen. "Ah, begitu." kata Luna yang sempat salah paham dengan keputusan Arsen. "Sepertinya, pikiran kamu terlalu kotor Luna, saranku lebih baik kamu kurang-kurangi untuk negative thinking dengan lawan bicara kamu, terutama aku." jelas Arsen yang membuat Luna menatap kesal ke arah Arsen. _ Arsen bersenandung lirih, mengabaikan sepasang sepatu yang berada di foyer apartementnya. "Akh!" Arsen terkejut melihat keberadaan Bram yang tampak sedang menggunakan masker wajah,"lo gila, Bram!" maki Arsen. "Tsk, apa sih! Lo macam nggak pernah lihat gue maskeran aja." gerutu Bram yang membenarkan bagian masker wajah yang nyaris rusak karena Arsen. "Lo bisa pakai masker di rumah elo. Kenapa, lo harus ke apartement gue?" tanya Arsen sewot. "Lo pikir, gue mau perawatan di sini? Gue seperti ini, demi Luna. Gue nggak mau, Luna berhenti kerja karena lo." jawab Bram jujur. "Maksud lo?" "Lo sengaja mengulur proses tanda tangan kontrak lo, lo kira gue nggak ngerti akal busuk lo!" "Tsk, kenapa lo harus sewot gitu, sih! Gue juga ada alasan tersendiri untuk melakukan hal itu. Lagipula, gue sudah membuat keputusan yang bagus. Lo nggak usah sok drama datang ke sini dan belagak jadi pahlawan. Besok, lo pastikan aja Luna ke sini jam 9 pagi, gue akan tanda tangan kontraknya." "Demi apa! Lo nggak bohong, kan?" tanya Bram yang melupakan masker yang masih melekat di wajahnya. "Ya," "Astagah! Gue berasa dapat durian runtuh. Gue mau pulang, gue nggak akan ganggu lo lagi! Thanks." Bram main pergi begitu saja, namun niat itu terbantahkan, ketika Arsen menarik kerah baju Bram,dan membuat Bram menatap malas ke arahnya. "Lo mau keluar macam hantu? Minimal, lo cuci muka lo sampai bersih, Bram." tegur Arsen yang membuat Bram menganggukkan kepala. "Tsk, kamu pikir, semua ini karena siapa?" tanya Bram keki. Arsen hanya bisa pasrah dengan perilaku sahabatnya yang terkadang di luar nalar. Arsen segera membersihkan diri, dia membaringkan tubuhnya di ranjang. Sebuah bingkai foto berukuran sedang yang menghiasi meja di samping ranjang Arsen, mengusik Arsen. Arsen mengambil bingkai foto yang menampakkan Luna, Shaka, dan Arsen yang tampak tersenyum lebar di hari itu. Hari dimana semuanya hancur setelah potret gambar itu dibuat. Hari dimana Arsen tahu, jika Aluna, kekasihnya, adalah tunangan kakaknya, Arshaka. "Jika kamu kembali, hanya untuk menyayat luka lama. Apa yang aku lakukan sekarang, sudah benar?" tanya Arsen sembari memandang gambar yang menjadi saksi bisu perjalanan cinta segitiga yang rumit. Arsen mencoba memejamkan kedua matanya. Berharap, hari esok akan segera tiba. Arsen ingin memiliki Luna, membangun kisah mereka dari awal. Melupakan luka yang pernah terukir. Akankah semua akan semudah itu? Atau hanya tinggal puing puing harapan yang tak bisa menyatu? Ntahlah, Arsen hanya bisa berharap, kehadiran Arion layaknya sebuah bintang yang bersinar terang, menerangi jalan antara Arsen dan Luna. Harapan itu, menjadi pengantar tidur Arsen, sebelum jam malam Arsen di mulai, menjelajahi dunianya. Memuaskan rasa dahaga para pembaca setia n****+ yang Arsen tulis untuk menyembuhkan luka selama beberapa tahun terakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD