Berat. Tubuhku ini begitu berat untuk kugerakkan. Sepertinya, efek tertabrak truk itu membuat tubuhku sakit semuanya sehingga rasanya berat untuk bergerak.
Tunggu …!
Kenapa aku masih bisa berpikir dalam tidurku? Apa ini artinya aku tersadar? Seharusnya dengan tertabrak truk membuatku mati di tempat atau luka parah yang membuatku koma.
Ah, jangan-jangan … aku ini juga baru saja tersadar dari koma.
Tapi … di mana aku? Apa jangan-jangan penagih utang itu yang menyelamatkanku? Jadi … jika aku membuka mata, aku sedang berada di rumah mereka?
Tidak!
Kuintip ke luar dengan membuat sedikit celah di mataku. Redupnya bayangan membuatku tak bisa melihat di mana tempat ini? Akhirnya aku memaksa mataku untuk terbuka, walau awalnya tidak jelas, lama-kelamaan ruangan yang didominasi dengan warna coklat dan penerangan redup oleh lampu LED ini mampu tercerna oleh otakku.
Kuedarkan pandanganku pada sekitar dan terhenti pada sebuah lukisan seorang gadis bertubuh bongsor yang sepertinya sangat kukenal, namun aku tak yakin jika ini adalah lukisan yang menggambarkan dirinya. Lalu aku memalingkan wajah pada arah yang berlawanan, jika di sebelah kanan adalah lukisan seorang wanita bertubuh bongsor, maka di sebelah kiri ada … potret sepasang pengantin dengan dua wajah yang sangat aku kenal.
Kuturunkan kakiku yang kurasa begitu berat ini, kemudian aku mulai melangkah mendekat pada potret yang dicetak setinggi orang dewasa itu. Baru kali ini aku merasakan jika tubuhku begitu berat, tidak ada yang sakit, namun hanya susah untuk digerakkan. Langkahku terasa seperti langkah badak yang sedang berlari, tak ada getaran yang timbul memang, namun terasa seperti menggema.
Semakin dekat aku dengan potret itu, aku tetap menengadahkan kepala, tanganku terulur untuk mengusap gambar yang menempel di dinding tersebut.
“Ini … Ketua Arthur …?” gumamku sambil menyentuh potret wajah pengantin lelaku itu. Lalu di sampingnya, wanita bertubuh gembrot itu memenuhi area poto. Meskipun wajahnya penuh dengan jerawat dan tubuhnya gempal, namun di poto ini ia terlihat proporsional, wajahnya pun tampak bagus terlepas dari tubuh gembrotnya, tawanya terlihat lepas mengembang yang menjadikan dirinya tampak lebih segar. Memang benar, jika cantik itu bukan dilihat dari ukuran tubuh maupun kemulusan dan warna kulit, tapi dari inner beauty. Ketika Tiff bahagia maka jelas terlihat jika dirinya lebih cantik dari biasanya. Dan memang pada dasarnya, wajah Tiffany gendut ini memang sebenarnya cantik, hanya kurang dirawat dan dia terlalu banyak marah-marah.
Ngomong-ngomong Tiffany gendut, kenapa aku bisa melihat foto pernikahannya dengan Ketua Arthur? Aku memang membantu Ketua Arthur untuk menggantikan dirinya dalam organisasi selama hari pernikahannya, tapi … seingatku, aku tidak diundang.
Dan, ini … bukan kamarku.
Baru aku tersadar dengan kondisi tempat aku berada. Ini bukan kamarku? Ini bukan rumah orangtuaku? Ini juga bukan gedung kesehatan kampus, dan ini juga tidak terlihat seperti rumah sakit. Di mana aku?
Aku pun menunduk melihat sesuatu yang tertabrak oleh lututku. Sebuah sofa? Terdapat sebuah sofa yang menempel di dinding tepat di bawah foto pernikahan Tiffany gendut dengan ketua Arthur. Dan … di atas sofa ini, terbaring wajah tampan ketua Arthur yang terlihat begitu kelelahan selepas menjalani hari-harinya.
Sebentar, sebentar!
“Ketua Arthur?” Tanpa sadar aku meneriakkan namanya dalam volume yang agak keras. Langsung refleks aku menutup mulut karena takut teriakanku ini membangunkan dirinya.
Bagaimana jika Ketua Arthur tahu bahwa aku berada di kamar yang sama dengannya? Bagaimana jika istrinya, Tiffany gendut, menyadari ada aku berdua saja dengan suaminya?
Oh tidak! Ini bisa menjadi salah paham. Aku harus segera keluar dari tempat ini sebelum ada yang sadar bila aku berada di kamar ini bersama Ketua Arthur. Mencoba berjalan mengendap, aku melewati kepala sang ketua, mengitari ranjang ini dan hendak menuju pintu. Menoleh aku pada kaca lemari yang begitu tinggi dan besar.
“Tiff …?” tanyaku pada bayangan yang terpantul dalam cermin.
Aku terkejut, menganga dan bayangan itu juga mengikuti gerakanku hingga aku yang menutup mulut. Berjinjit heran, aku mundur dengan langkah kaki yang berat ini.
Brug!
Terjatuh aku karena tak seimbang. Tumpuan kakiku tak bisa menahan bobot tubuhku. Aku tersungkur di atas lantai dan masih menghadap cermin. Tak dapat aku mengelak jika bayang Tiff, Si Tiffany gendut, ini juga tersungkur dengan posisi yang sama.
Kuamati jemariku yang tampak membengkak. Kakiku yang pantas saja terasa begitu berat untuk melangkah, ternyata dikarenakan bobot tubuh yang berlebihan ini. Bahkan ini bukan paha, melainkan mirip dengan babi guling yang dipanggang.
Tidak!
Wajahku?
Jerawat sebesar kacang tanah teraba oleh tangan ini. Bahkan salah satunya terasa sakit saat terkena sentuhan dariku.
Tidak!
Aku tidak percaya ini terjadi. Kenapa aku bisa menjadi Tiff? Lalu di mana Tiff yang asli? Apakah tertabrak oleh truk lalu koma dalam waktu lama membuat tubuh kita menggendut? Ah, mungkin karena selama aku koma aku tidak berolahraga sehingga tubuhku membengkak.
Tidak!
Aku bisa depersi bila di tubuh yang seperti ini.
Tidak!
Tidaaaaaak!
Aku terengah-engah menahan suara dalam jeritan yang tertahan. Tak mampu aku meluapkan kebingunganku, yang … entah kenapa aku jadi seperti ini?
Berusaha untuk berdiri, bahkan untuk mengangkat bobot tubuh ini sangat berat. Aku yang ingin berdiri ini harus berpegangan pada tepian ranjang dan itu pun masih kesusahan.
Drrt drrt
Kuarahkan mataku pada sumber suara yang berasal dari atas nakas. Di sana tergeletak sebuah IPhone keluaran terbaru berwarna rose gold yang sangat menawan. Jika aku tidak salah, itu adalah ponsel yang sering dibawa oleh Tiff.
Kenapa ada di kamar ini?
Perlahan aku melangkah kembali ke tepi ranjang dan meraih ponsel mahal itu yang berada di atas nakas.
Face detected.
Betapa kembali dikejutkannya aku ketika aku bisa membuka ponsel Tiff menggunakan sensor wajah ini. Semirip itukah aku dengan Tiff? Tidak. Ini mimpi buruk.
Ada beberapa pesan whats app yang diterima.
[Tiff, kenapa kau tidak datang?]
[Tiff, kami tidak mau berteman lagi denganmu bila kau tidak mentraktir kami untuk karaoke.]
Pesan itu terus beruntun dari sejak hari kemarin bahkan sampai sekarang. Sepertinya, si pemilik ponsel ini enggan membalas pesan tersebut.
Kubaca pesan bernada ancaman dan perintah itu hingga ke dasar.
[Tiff, kaubaca pesanku?]
[Pesan ini sudah centang biru, tapi kau tidak membalasnya?]
[Apakah pertemanan kita hanya sampai sini?]
Pesan-pesan baru muncul lagi ketika aku membuka room chat bersama orang ini.
Pengirim ini bahkan tak ada namanya, sepertinya … Tiff memang tak mau mengakui orang ini sebagai teman. Aku pun bila melihat chat-nya yang seperti itu, benar-benar enggan aku berkawan dengannya.
Kuintip foto profilnya, aku kenal dengan orang ini. Dia adalah salah satu teman Tiff yang sering mengajak Tiff pergi. Ternyata hubungan pertemanan mereka tidak sesehat itu.
Aku keluar dari percakapan yang menyesatkan itu. Kulihat ada banyak pesan yang tidak pernah dibuka oleh Tiff.
Termasuk grup kelas.
Ribuan chat tertimbun tanpa pernah ia buka. Aku masih bisa melihat, banyaknya pengumuman yang kuumumkan melalui grup ini dilewatkan olehnya. Kugulirkan saja percakapan ini karena aku juga sudah pernah membacanya. Hingga ke bagian dasar dan kawan-kawan di kelas ramai berkirim gambar.
Sebuah gambar yang dikirim dengan disertai sebuah pesan.
[Photo]
[Aku baru pulang dari rumah sakit, Guys. Sekarang Tiffany masih koma, belum ada tanda-tanda dia akan bangun. Para dokter pesimis sama kondisinya. Siapa besok yang mau bergiliran menjenguknya lagi ke rumah sakit?]