3. Oh, Tidak! Banyak Orang Membencinya

1114 Words
Panik, itu bukan aku. Mungkin aku tidak bisa menerima ketika tubuhku berubah setelah kupikir ini efek dari koma dalam waktu yang lama. Namun, yang baru saja terjadi ini benar-benar di luar logika. Jemariku bergetar, berusaha mempertahankan genggaman pada ponsel yang mulai terkena keringatku. Otakku terus berpikir, berusaha mengorek logika yang mungkin pernah kusimpan dalam salah satu teori di memoriku. Tidak hanya berubah, namun … ini adalah Tiff. Kumatikan layar ponsel dan mengarahkan layar hitam itu menuju ke depan wajahku. Sebuah pantulan pada layar cermin yang berwarna hitam itu seakan sedang membantu untuk diriku menyusun kewarasan dan fakta yang telah terjadi menimpaku. Pertama. Aku tersadar, saat melihat dalam pantulan layar ponsel maupun cermin pada daun pintu lemari. Yang kulihat aku menjadi mirip Tiff. Tak hanya wajah, melainkan juga bentuk leher Tiff yang berlipat-lipat, juga kini mirip dengan leherku. Selain itu, bentuk tubuh yang gembrot, perut, lengan dan kaki juga begitu mirip dari seorang Tiff, Tiffany Adhinata. Kedua. Aku ini telah mengalami kecelakaan dan sepertinya aku koma. Satu hal yang terlintas dalam benakku, selama koma yang aku tidak tau berapa waktu yang aku butuhkan sampai aku bangun lagi? Hingga aku tidak berolahraga dalam waktu yang lama. Jadi, bisa aku simpulkan, jika bobot tubuhku meningkat berkali-kali lipat karena aku terus-terusan berbaring. Ketiga. Setelah mendapat kesimpulan demikian, lantas aku melihat sendiri gambar diriku sedang terbaring dalam foto yang dikirimkan oleh temanku. Di sana begitu banyak selang tersambung ke tubuhku, baik selang yang terhubung dengan botol infusan ke punggung tanganku, juga selang-selang oksigen yang mereka hubungkan ke kedua lubang hidungku. Tampak jika teman-teman mengkhawatirkanku dan dari kalimat mereka sepertinya aku telah tak sadarkan diri dalam waktu yang lama bahkan saat ini juga. Ok, fix. Kalau begitu, siapa aku? Jika aku sedang berbaring di rumah sakit sana, lalu … aku di sini sedang apa? Kubuka lagi layar ponsel yang sempat kumatikan. Kembali aku pada aplikasi w******p dan membuka grup kelas yang ternyata sudah menumpuk saja pesan baru. Tiff mematikan notifikasi grup kelas, sehingga notifikasinya tidak kuterima. Kebanyakan dari mereka membicarakan diriku. Membahas giliran siapa yang akan menjenguk diriku esok ke rumah sakit. Ingin aku menanyakan, sudah berapa hari diriku tak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit. Namun, jika harus menggunakan nomor Tiff, pasti akan membuat yang lain merasa aneh. Aku mengkhawatirkan tubuh milik Tiff. Pembahasan pun mulai berubah di akhir percakapan. Mereka tidak lagi membahas tentangku. Namun membahas mahasiswi lain di kelasku yang sepertinya sama sedang tidak sadarkan diri. [Hei, kan, teman kita yang pingsan bukan Tiffany saja.] [Koma maksudnya, bukan pingsan.] [Apakah kita tidak akan menjenguk Tiff?] Beberapa pesan beruntun sedang berjalan. Tidak ada satu pun nomor yang disimpan dalam grup ini. Nomor yang tidak kukenali pun sedang mengetik sebuah pesan. [Aku hanya sempat menjenguk ke rumahnya, di sana ada ketua Arthur, namun ia tak memberiku izin untuk masuk.] [Menurutku, keluarga Tiff tidak menginginkan ada orang yang menjenguknya.] [Tak perlu diributkan, dia juga tak pernah datang bila ada kawan yang sakit.] [Dimintai iuran pun dia tak mau memberi, entah sepelit apa dia itu.] [Stop. Jangan membicarakan keburukannya. Di grup ini juga ada Tiff.] [Dia tak pernah membaca grup ini, percayalah.] [Buka info pesan. Dia baca.] Hening. Tak ada lagi pesan yang masuk, mungkin mereka merasa sungkan karena pesan ini k****a. Seandainya mereka tahu, jika yang memegang ponsel Tiff ini bukanlah Tiff yang mereka kenal, melainkan Tiffany yang seharusnya sedang sekarat. Inginku membalas pesan tersebut dan mengatakan jika aku bukan Tiff. Tapi … apakah itu tidak akan terlalu aneh jika ponsel Tiff aku yang membawanya dan aku pula yang membawa pesannya? Tidak. Aku bukan Tiff. Aku Tiffany …! Kepada siapa aku meminta tolong agar aku bisa kembali? Apa ini maksudnya arwahku terjebak dalam tubuh Tiff? Tidak! Tak mungkin aku seperti ini. Berusaha turun kembali dari ranjang mewah super empuk ini, aku ingin bermaksud membangunkan ketua Arthur. Jika aku berbicara padanya, apakah dia akan mengerti dan percaya? Ayo Tiffany berpikir! Ayo! Ayo! Terdengar suara pintu diketuk sebanyak tiga kali. Gawat! Ada orang yang mengetuk pintu. Bergegas aku baringkan tubuh gembrot ini. Untung saja tidak ada suara yang gaduh ketika aku meletakkan tubuh super besar ini ke atas ranjang. Pintu pun diketuk berkali-kali. Berpura-pura memejamkan mata. Lebih baik aku tunjukkan jika aku belum sadarkan diri saja. Bukankah dari percakapan grup tadi, semua orang menyangka Tiff ini belum sadarkan diri dari koma? Lagipula, sebenarnya apa yang menimpa Tiff sehingga ia tak sadarkan diri seperti ini. “Arthur! Buka pintu!” teriakan di luar benar-benar berisik. Derit pintu pun terdenger, kemudian suara bantingan pintu pun terdengar Terdengar suara pintu dibuka dengan keras. Sepertinya pintu kamar ini tidak dikunci dan mereka bisa bebas keluar masuk dalam kamar Tiff. Kenapa ketua Arthur tidak mau mengunci pintunya dari dalam? Apa dia tidak takut ada orang yang menerobos masuk dan mengganggu privasinya? “Arthur! Cepet bangun!” Suara ini belum kukenal, sepertinya bukan Adrienna yang ke mari. Padahal … Adrienna juga sama tinggal di rumah ini. Emmm … maksudku, dia satu rumah dengan Ketua Arthur dan Tiff, karena sebenarnya aku belum memastikan ini rumah siapa? Tapi jika Ketua Arthur tidur di sini, bukankah itu artinya ini adalah rumahnya? “Udah pagi, cepat bangun!” teriak suara itu lagi. “Hari libur, Ma. Aku malas bangun.” Itu ketua Arthur yang menimpali. Ternyata ketua juga punya sisi malas. “Kalau kau tidak mau bangun sekarang juga! Mama akan adukan kamu pada nenek, jika kamu selalu tidur di sofa dan tak mau satu ranjang dengan Tiff! Bagaimana?” “Ah, iya! Aku bangun deh! Jangan paksa aku satu ranjang dengan babi.” “Nah gitu dong! Itu baru anak mama. Jangan kayak si kebo ini yang masih tidur mulu sejak beberapa hari. Alasan aja pake koma. Kenapa nggak mampus aja sekalian si gendut ini. Pembawa sial aja! Seandainya dia bukan anak orang kaya, aku pasti nggak mau punya mantu kayak dia.” Terdengar jelas jika mama dari Ketua Arthur sedang mengumpati menantunya ini. Ada perasaan yang bergelenyar dalam dadaku. Tapi perasaan ini bukan milikku. Bahkan bibir dan mata ini tiba-tiba bergetar ingin mengeluarkan air mata. Aku bertahan agar tetap menutup mata, meski aku tak kuasa menahan rasa sedih yang membuat perasaan ini begitu sakit, namun aku malah tetap ingin untuk berpura-pura tak sadarkan diri agar bisa mendengar lagi umpatan yang diucapkan oleh mama dari Ketua Arthur. “Arthur, gimana kalau mama minta teman mama suntik mati aja nih gajah gendut. Kayaknya dia gak bakal bangun-bangun lagi. Udah lebih dari seminggu juga.” “Mama jangan bertingkah yang aneh-aneh.” “Tapi Arthur, mama udah nggak tahan apalagi kalau dia sampai bangun lagi. Mama capek harus jadi babunya dia.” “Udah, mama keluar! Aku mau mandi!” Sumpah! Apa aku tidak salah dengar? Mama Ketua Arthur ingin membunuh Tiff?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD