Bayangan Hitam

2073 Words
Pada suatu sudut waktu paling purba yang tertinggal jauh di kedalaman palung zaman, tersebutlah ia yang mendiami kesunyian. Sosok kegelapan, namanya. Meski begitu, sebenarnya ia dibangunkan dari nyala api paling terang. Sosok kegelapan itu membuka mata dan menyentuh sisi kelam dirinya yang terpantul dalam tabir dimensi beku. Di sana ia ditemani segala keindahan yang telah kehilangan daya pikatnya. Ia… memiliki sayap hitam yang kokoh—lagi besar, tetapi tidak pernah membuatnya mampu terbang melintasi tabir. Hingga di suatu ketika, ia memohon kepada Yang Menciptakannya agar mampu melintasi tabir dimensi beku dengan embusan napas yang melelehkan. Permohonannya dikabulkan! Dan itu menjadi awal dari segala kekacauan. *** Pukul tiga sore, hari Minggu. Aku mengajak sepatu kets putihku menapaki tanah merah khas pegunungan. Bebatuan kapur tampak menyembul di permukaannya yang padat. Jalan yang sedang kulalui agak naik. Beruntung aku memakai celana jeans yang nyaman, sehingga langkah lebar dengan mudah kubuat. Angin berembus naik ke bukit dari arah belakangku. Kecupan lembutnya membuat rambut panjangku yang tergerai serupa tenunan hitam yang melambai-lambai. Kuhela napas hanya untuk mengabaikannya, lantas mengencangkan jaket, serta membetulkan posisi tas ransel biru di punggungku. Kembali menatap ke depan, kulihat rumah panggung bermaterial kayu cokelat mengkilap menyambut di depan sana. Sekilas, dari jarak yang masih agak jauh kuamati ukurannya tidak begitu besar, sebuah jendela mungil menghiasi fasadnya. Rumah panggung semacam itu pernah kulihat saat membaca majalah tentang rumah milik suku pedalaman. Waktu itu aku hanya melihat di gambar, sekarang aku melihatnya secara langsung, bahkan masih belum percaya akan tinggal di sana. Langkahku menaiki bukit kian meragu, sementara rumah itu semakin jelas memperlihatkan kesederhanaannya. Tak ada pagar besi atau kayu di halamannya. Area depan rumah itu terhampar luas. Sebagian tanah merahnya diselimuti rerumputan hijau. Mungkin halaman seperti itu akan menyenangkan jika aku seseorang yang menyukai sepak bola, atau olahraga outdor lainnya. Sayangnya, kebetulan aku yang dari kecil memiliki anemia ini lebih nyaman menyendiri, berkutat dengan buku, laptop, atau ponsel daripada aktivitas di luar rumah. Sudah bisa kupastikan, halaman rumah itu tidak akan berpengaruh banyak untukku di masa mendatang. Tinggal beberapa meter lagi hingga langkahku mencapai tangga rumah panggung yang rencana akan kutinggali. Sekali lagi—sebelum membuat tubuhku benar-benar tertelan dalam keasingan rumah itu—aku memandang berkeliling. Sebelumnya aku tinggal di perkotaan yang cenderung gersang, dan kini menjadi cukup terkesan ketika melihat pepohonan lebat yang mengisi sisi kanan dan kiri rumah itu, bahkan sepertinya di belakang rumah juga dipenuhi pepohonan rimbun. Sebab sepanjang mata memandang, kulihat hanyalah puncak pepohonan tinggi yang menghubungkan atap rumah dengan horison langit. Ah, apakah aku akan terbiasa dengan lingkungan baru ini? Jujur saja, aku memiliki kesulitan beradaptasi. Maka sekarang aku sedikit khawatir. Berseling gugusan hutan kecil yang lebat di sisi kiri, ada rumah panggung yang serupa rumah di depanku. Bedanya, rumah itu bercat putih. Sepertinya kehadiran orang baru menyita perhatian para penghuni rumah itu, terlihat dari para penghuninya yang tengah berhimpun di teras rumah seraya menatapku dengan alis bertaut. Tentu saja sorot tajam dari serbuan mata itu sukses membuatku kikuk. Cukup. Aku tidak bisa membalas tatapan mereka lebih lama lagi. Menunduk, benakku menyimpan pertanyaan tentang tetangga baruku itu. Dengan kesan pertama yang seperti ini, bagaimana perangai mereka? Bisakah kami menjadi tetangga yang baik? Atau, mereka yang selama ini disebut suku pedalaman dan akan mengacuhkanku? Entahlah. Dengar-dengar, pulau Neilborn ini sudah mulai diramaikan para pendatang, khususnya para pekerja di perusahaan East Neilborn Coal (ENC) yang berasal dari luar pulau lalu membawa serta keluarganya. Tidak banyak yang aku tahu tentang pulau Neilborn, pun dengan perusahaan ENC tempat Ayahku bekerja. Yang pernah kudengar, usia perusahaan itu satu tahun lebih tua dariku yang saat ini berusia 17 tahun. Aku berbalik, menoleh kepada laki-laki paruh baya yang baru saja menginstruksikanku untuk langsung menaiki tangga rumah, sebab alih-alih terus berjalan, aku justru terdiam. Lelaki paruh baya tersebut adalah Ayahku, orang yang telah membeli rumah panggung itu seminggu yang lalu. Awalnya Ayah tinggal di mess karyawan tambang batu bara ENC, tapi kehadiranku membuat ia harus tinggal di luar mess. Entah terpaksa atau tidak, tetapi kini tanggung jawabnya bertambah karena harus menjaga putri semata wayang tinggal bersamanya. Aku sedikit takut, kalau-kalau kehadiranku akan menambah beban Ayah. Terlebih ada perasaan canggung karena aku sudah lama tidak tinggal serumah dengannya. Ayah dan Ibuku berpisah saat usiaku tujuh tahun. Sepuluh tahun setelahnya, aku tinggal bersama Ibu. Sampai akhirnya Sang Pencipta berkehendak lain. Ibuku harus terlebih dulu meninggalkan dunia sebulan yang lalu. Tiga puluh hari belum menghilangkan rasa dukaku sama sekali. Aku masih saja teringat kenangan tentang Ibu dari hal terkecil. s**u dan sarapan yang selalu ia siapkan sebelum aku berangkat sekolah, kejutan bekal yang ia selipkan dalam tas, kamar tidurku yang tiba-tiba rapih saat aku lelah, dan banyak lagi. Tak akan habis bila kusebutkan. "Hara? Ayo!" ajak Ayah seraya membawa koper hitam serta tas jinjing mendahuluiku menaiki anak tangga. Kemudian, kulihat Ayah menoleh ke kiri, mengangguk dan memberi senyum kepada keluarga rumah cat putih yang tadi menatapku tajam, dan aku enggan memastikan keluarga itu membalas senyum Ayah atau tidak. Masih berdiri di tempat, kutatap wajah Ayah yang berjanggut tipis dengan pandangan heran. Menurutku dia laki-laki yang baik. Ketika melihat teman-temanku tertawa bahagia bersama keluarganya yang lengkap, kadang aku tidak bisa mengerti alasan dulu Ibuku meminta Ayah untuk bercerai. Pernah aku bertanya perihal alasannya, tetapi sejak mereka bilang itu urusan orang dewasa, aku tidak pernah bertanya lagi. Menaiki tangga, aku berdiri di samping tubuh tinggi tegap Ayah, mengamati kebingungannya yang sedang merogoh tas selempang. “Ah, di mana kuncinya, ya?” gumam Ayah kepada dirinya sendiri. Merasa tidak mampu memberi jawaban yang membantu, aku hanya diam. Lalu, iseng menyentuh kayu-kayu cokelat kehitaman yang disusun vertikal di hadapanku. Ternyata jika diperhatikan, dinding yang tersusun dari kayu itu lumayan indah. Dari indera perabaku, bisa kurasakan kayu-kayu tersebut berkualitas baik. Mungkin harganya tidaklah murah. "Itu namanya kayu besi," terang Ayah tanpa kutanya. “Kayu besi?” ulangku, beralih menatapnya. Ayah tersenyum. “Ya. Penduduk Neilborn menyebutnya begitu.” Aku mengangguk-angguk paham. "Hmmm... indah." "Tentu. Harga kayu itu akan mahal jika dijual di pulau lain. Makanya, sekarang banyak oknum-oknum tidak bertanggung jawab melakukan penebangan liar," kata Ayah, membenarkan dugaanku bahwa kayu tersebut memang tidak murah. Wajah Ayah melega setelah berhasil menemukan kunci. Sementara dia membuka pintu, otakku memproses kalimat Ayah tentang penebangan liar. Aku ingat, pernah begitu tertarik menulis artikel mading tentang isu tindakan ilegal tersebut semester kemarin. Namun, meski sebenarnya bahasan itu masih membuatku tertarik, aku tidak melontarkan tanggapan, karena ada yang lebih menyita perhatianku sekarang. Ternyata suasana dalam rumah itu tak seburuk yang aku bayangkan. Ruang tamu ukuran tiga kali empat meter itu sangat bersih, dengan kayu-kayu yang mengkilap. Bahkan aku mengakui kalau ornamen kayunya menciptakan kesan elegan. Vas putih berhias tiruan bunga lily melengkapi dua kursi kayu yang saling berhadapan di pojok sana. Aku segera tertarik menelusur lebih jauh, mencari ruang yang akan menjadi kamarku. Lorong pendek menyambutku usai meninggalkan ruang tamu. Ada dua kamar di sisi kanan kirinya. Salah satu kamar di sebelah kanan pintunya bercat pink. Kurasa itulah kamarku. Entahlah kenapa pintu itu warnanya bisa berbeda dari pintu lainnya di rumah ini. Pink tidak buruk, meski sebenarnya aku tidak begitu menyukainya. Pintunya tidak dikunci sehingga dengan mudah pintu itu kubuka. Lagi-lagi nuansa dan warna ruang kamar itu membuatku terpana. Hal pertama yang kemudian terlintas di pikiranku ketika melihat ruang tiga kali tiga bernuansa pink putih itu adalah siapa yang telah menyiapkannya? Seprai, bantal, selimut, tirai, lemari, bahkan rak susun di pojok sana berwarna pink. Hmm, lagi-lagi pink. Apakah Ayah yang menyiapkan semua ini? Aku mengedikkan bahu, baiklah tidak masalah. Aku maklumi jika Ayah tidak tahu bahwa warna kesukaanku sebenarnya adalah hitam, bukan pink. Ketika meninggalkan pintu, sekilas aku melihat bayangan diriku sendiri pada cermin yang kulewati. Gadis kurus yang tinggi, dengan mahkota rambut panjang tebal berwarna hitam, serta… yang kata orang-orang cukup unik, aku memiliki sepasang manik mata biru yang berkilau. Mengabaikan melihat cermin lebih lama, aku berjalan mendekati rak susun yang berisi buku-buku. Semakin dekat, aku mulai tahu buku apa yang tertata pada rak itu. Kuletakkan tas ranselku sembarang, lalu tak sabar mengambil salah satu buku. “Hmm, n****+?” Kubaca tulisan di sampulnya. Bukan n****+ terbitan baru dan sebenarnya sudah pernah k****a dua tahun lalu. Tetapi, yang membuatku terharu, apa Ayah yang mempersiapkan n****+-n****+ dalam rak itu untukku? Aku menaikkan ujung bibirku untuk diam-diam tersenyum. Aku salah. Ternyata Ayah masih ingat kesukaanku. "Kamu menyukainya?" Aku menoleh kepada Ayah yang berdiri di ambang pintu, kemudian mengangguk senang. "Terima kasih, Ayah." Ayah tersenyum, serta bisa kulihat rasa puasnya karena telah berhasil membuatku senang. Sama halnya denganku, Ayah juga seseorang yang tak banyak bicara. Namun, aku tahu jauh di sel-sel darah merahnya, Ayah adalah sosok yang kadang bisa berubah romantis. Bukankah tidak semua perasaan harus dilisankan? ***   Pukul delapan malam, masih di hari Minggu. Baterai ponselku habis. Padahal sebelum berangkat ke Neilborn kemarin, Kina—sahabatku di kota—mengatakan kalau Minggu malam akan menelepon. Mau bagaimana lagi, aku belum bisa melakukan pengisian daya karena Ayah masih memasang inverter yang terhubung dengan panel surya rumah kami. Lampu rumah kami juga tak begitu terang, karena kebetulan siang tadi sinar matahari tertutup awan mendung. Aku mencoba memahami bahwa hidupku sekarang tidaklah semudah sebelumnya. Heran saja, pulau Neilborn adalah pulau dengan sumber daya batu baranya yang amat kaya. Namun, listrik di sini justru hanya mengandalkan tenaga surya. Kamar sudah kubereskan. Buku-buku sudah kupersiapkan di dalam tas yang akan kugunakan di sekolah baruku besok. Seragam atasan putih lengan pendek, rok hitam selutut, dan jas almamater lengan panjang berwarna biru langit pun juga sudah bersih dan wangi. Semua sudah dipersiapkan Ayah sebelum ia menjemputku. Selagi menunggu Ayah memasang inverter, aku lantas membuka jendela kamar, melakukan salah satu hobiku untuk menyimak malam. Jendela kayu yang engselnya sudah sedikit berkarat itu menimbulkan suara deritan, tetapi aku tidak peduli. Suasana di luar rumah menyambut indera pendengaranku. Hening, jauh dari keriuhan. Suara serangga malam terdengar dari kegelapan hutan di hadapanku, berpadu dengan desah angin yang timbul tenggelam dan sesekali suara samar kendaraan yang lewat, jauh di jalan utama. Malam ini—dengan hati damai—aku mencoba menghirup malam, membaui udaranya. Aroma segar hutan yang minim polusi bercampur dingin malam yang meretih kontan memenuhi paru-paruku. Aku mendongak, melihat sekeliling angkasa di atas kepalaku. Pemandangan langit malam menghadirkan sesuatu yang berasal dari kenanganku. Selama ini aku banyak menghabiskan malam dengan menikmati bintang bersama Ibu. Aku selalu suka cerita Ibu tentang bintang-bintang. Ibu bilang, setiap bintang yang jatuh dari langit memiliki kisah. Maka aku tak pernah bosan menanti momen bintang jatuh, kemudian mendengarkan cerita Ibu. Ingin melihat gugusan bintang lebih luas lagi, aku mencondongkan kepalaku melewati bayang-bayang rumah. Sebagai seorang introvert, menikmati momen kesendirian seperti ini lebih membuatku berenergi ketimbang repot-repot memikirkan bagaimana nasibku di sekolah baru besok. Yah, walaupun aku tidak bisa benar-benar tidak memikirkannya. Kesulitan bergaul dan tak suka keramaian adalah bagian dari diriku. Bisa dikatakan, aku si gadis murung berkulit pucat, dengan raut wajah penuh ketegangan, dan tak banyak bicara. Beberapa orang yang mengenalku mengatakan aku gadis yang dingin. Jika benar, maka menjadi seseorang yang dingin itu tidak seberuntung yang diceritakan n****+ kebanyakan. Aku banyak berperang dengan diriku sendiri. Pernah berusaha membuka diri dan menampakkan senyum basa-basi, tapi kenyataannya aku justru seperti kehilangan jati diri. Ya, menipu orang lain dengan menampilkan sisi lain dari diri kita itu melelahkan. BRAK! Aku terperanjat kaget, lalu mataku seketika membelalak. Tiba-tiba saja kudengar ada sesuatu yang jatuh di kegelapan hutan di hadapanku. GRASAK GRUSUK! Suara itu terdengar semakin jelas, seolah bergerak mendekat. Reflek, aku menarik diri ke dalam kamar, berpikir jangan-jangan itu binatang buas seperti yang pernah dikatakan Ayah tentang salah satu tantangan tinggal di pulau Neilborn. Aku berusaha membendung kegelisahanku yang kian meluap. Lebih baik jendela itu kututup. Selangkah demi selangkah, aku berusaha meraih pegangan jendela. Namun, lututku melemas, bulu kudukku berdiri. Wajahku yang pucat makin kekurangan darah ketika mataku menangkap kabut hitam yang menyerupai sosok manusia berlenggak-lenggok di luar jendela. Bayangan hitam itu meliuk-liuk, menggeliat, tak berwajah. Tiba-tiba, dengan sangat cepat kabut hitam itu berkelebat lalu menghantam tubuhku, membuatku jatuh telentang di lantai. Astaga! Kepalaku terbentur, dan itu sakit sekali. Sebelum aku berusaha mengenali benda apa di belakang tubuhku, tatapanku terpaku pada sosok hitam di depan wajahku. Kemudian bagian kepala sosok tak berwajah itu mendekat ke telingaku. “Selamat datang.” Bulu kudukku meremang. Suara itu serupa desisan yang seolah terbawa angin. Mulutku terbuka tetapi tidak berhasil mengeluarkan satu kata pun. Sampai kurasakan perlahan kepalaku terasa pening. Pandanganku menyongsong kegelapan. Benar-benar gelap hingga tak ada lagi yang bisa kupikirkan kecuali satu kalimat terakhir. Sebenarnya… apa atau siapa sosok bayangan hitam itu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD