Si Pemilik Mata Hazel

1639 Words
Kegelapan menari-nari menebarkan kegelisahan. Aku terbangun dengan sebuah pertanyaan besar masih menggantung di pikiranku. Apa atau siapa sosok bayangan hitam yang baru saja kulihat? Namun, segera pertanyaan itu tergantikan oleh pertanyaan lain. Di mana aku sekarang? Kupikir aku telah terbebas dari kegelapan, tetapi kenyataannya pandanganku kembali bertemu kegelapan tak berujung. Tanpa cahaya, hingga aku berpikir tak ada matahari di tempat aku berdiri, membuat dadaku terasa sesak. “Hara! Cepat pergi!” Aku mendengar seseorang berseru. Jelas dari suaranya aku belum lupa bahwa suara itu adalah milik Ibuku. Aku memutar tubuh, mencari-cari sosok Ibu di antara relung kegelapan yang asing. “Ibu?” teriakku. Menoleh ke sisi kiri, kulihat ada setitik cahaya di sana. Cahaya berwarna violet yang muncul dari tangan seseorang—tangan Ibu. Wanita berambut hitam panjang, sepasang mata biru yang sama dengan milikku, serta wajah yang sebulan ini selalu aku rindukan. Dialah Ibuku. “Ibuuu!” teriakanku berubah menjadi isak tangis. Semakin pecah ketika sosok Ibu meninggalkan cahaya itu dan datang menghampiriku. Segala emosi membuncah, dan seluruh kerinduan kutumpahkan dalam pelukannya. Namun, itu hanya berlangsung beberapa detik. Ibuku melepaskan pelukannya, padahal rinduku belum terobati. Dia menatapku, sendu. Ibuku menoleh pada setitik cahaya violet yang kini telah berubah menjadi lubang besar seperti portal, sebelum meraih kedua bahuku dan akhirnya mendorong tubuhku ke arah portal itu. Tak memiliki tenaga untuk menolak, aku hanya terus menatap wajah Ibu sambil bertanya, “Kenapa?” Kemudian Ibuku terdengar berkata, “Belum saatnya. Lupakanlah.” Hanya itu yang kudengar sebelum tubuhku tertelan oleh kegelapan dalam portal cahaya violet. *** “Hara? Hara? Sharena Hara Sterne?” Bersamaan dengan kudengar suara Ayah memanggil-manggil namaku, hidungku menangkap aroma mint khas minyak aromaterapi, sehingga sebuah dorongan memaksa mataku terbuka perlahan-lahan. Sial, cahaya silau apa ini? Mataku memicing, kemudian cahaya itu seketika padam. Samar-samar, pandanganku mulai terlihat jelas, dan yang pertama kulihat adalah wajah khawatir Ayah serta sebuah senter di tangannya. Ah, pasti benda itu yang tadi menyorotku. Entah ini ide Ayah atau bukan, tapi cara itu sukses membuat kepalaku berputar-putar. Kepalaku makin pening ketika aku memaksa tubuhku yang tertidur di atas ranjang untuk duduk. “Kalau masih pusing, jangan dipaksakan duduk,” saran Ayah. Aku tersenyum. “Tidak apa-apa, kok.” “Baiklah.” Kecemasan di wajah Ayah mengendur. “Hara, Ayah lega kau sudah sadar. Tadi kau pingsan hampir satu jam.” “Eh?” Aku menaikkan alis. “Sa—satu jam?” tanggapku, syok. “Lama sekali.” “Iya. Kau ingat apa penyebabnya?” Terdiam, sejujurnya ini bukan pingsan pertama bagiku yang memiliki riwayat anemia. Tetapi, pingsan kali ini berbeda. Selain merupakan pingsan terlamaku, berbeda dengan pingsan yang sudah-sudah, kali ini aku juga tidak bisa ingat apa yang terjadi kepadaku sampai aku pingsan. Hal terakhir yang kuingat adalah melihat bintang. “Ahhh,” desahan refleks keluar dari sela bibirku saat tiba-tiba mendapati rasa sakit di bagian belakang kepala. Kunaikkan tangan, meraba bagian belakang tempurung kepalaku. “Benjol?” "Hara, apa itu berdarah?” tanya Ayah panik. Aku memeriksa telapak tangan, dan menggeleng kepada Ayah. Lagi-lagi membuat kecemasan di wajah Ayah berkurang. Suara langkah kaki mendekati pintu mengalihkan perhatianku. Tak butuh waktu lama rasa penasaranku segera terjawab oleh kedatangan seorang wanita bermanik mata hazel yang lalu memberiku sorot tatapan tajam. Wajahnya tidak asing. Ya, wanita itu adalah salah satu penghuni rumah panggung cat putih. Leherku menegang. Apa yang dilakukan wanita itu di sini? Kemudian kulemparkan pertanyaan itu kepada Ayah lewat tatapanku. "Tidak apa-apa," terang Ayah sambil tersenyum. "Beliau adalah Bu Vivian. Ketika tahu kamu pingsan dan belum juga sadar, Ayah sangat panik lalu meminta bantuan pada tetangga baru kita." Aku kembali memandang ke arah Bu Vivian. Kali ini, ia tersenyum sehingga pikiran burukku tentangnya mulai berkurang. “Terima kasih, Bu," ucapku akhirnya. Bu Vivian mengangguk pelan, menatap Ayahku, kemudian pergi. Selama beberapa saat, aku hanya melongo. Kenapa wanita itu pergi begitu saja tanpa membalas apa pun? Baiklah. Mungkin aku hanya perlu membiasakan diri dengan lingkungan. "Sekarang bagaimana rasanya?" tanya Ayah. "Kalau masih sakit, Ayah akan membawamu ke tenaga medis perusahaan, dan besok kamu tidak perlu masuk ke sekolah." Aku menggeleng. "Kepalaku baik-baik saja, Ayah. Jadi besok aku akan tetap masuk sekolah." "Syukurlah. Ayah harap, tidak ada lagi sesuatu hal buruk yang menimpamu, karena di sini jauh dari Rumah Sakit. Ada… tetapi harus menempuh perjalanan kurang lebih dua jam untuk sampai ke Rumah Sakit kota. Itu pun bukan kota dengan Rumah Sakit yang besar. Jadi, hanya ada tim medis perusahaan ENC yang obat dan peralatannya terbatas. Beginilah, karena pembangunan di pulau Neilborn belum merata." "Ya. Ayah tidak perlu khawatir." "Baiklah. Oh, ya. Ayah sudah selesai memasang inverter. Kamu sudah bisa mengisi baterai ponselmu." Aku mengangguk. Kemudian mengambil ponsel karena teringat belum jadi menghubungi Kina. Ayah memeriksa jam tangannya. "Ayah akan pergi sebentar membeli makanan untuk makan malam. Kamu mau ikut, atau? Ah, tidak. Sebaiknya jangan ikut, kondisimu belum pulih. Tapi, apa tidak masalah jika sekarang kamu di rumah sendirian?" "Hmm, tidak masalah. Lagi pula, bukankah ke depannya aku harus terbiasa di rumah sendirian saat Ayah bekerja?" Aku tertawa kecil. Ayah menepuk pundakku. "Hara, kamu memang gadis Ayah yang pemberani." Aku meringis, dan menjawab dalam hatiku. Bukan. Sebenarnya, aku hanya gadis yang tidak memiliki pilihan selain menjadi berani. *** Selesai makan malam, aku menyalakan ponselku yang dayanya sudah terisi penuh, berniat menghubungi Kina. Aku membuka aplikasi chat, mengirimkan pesan pada mantan teman sekelasku itu. Status pesan tersebut tertunda. Aku memeriksa jaringan, dan benar saja tidak ada signal. Punggungku melemas. "Ayah?" seruku sambil mendatangi Ayah di ruang tamu. Ayah berhenti mengetik di laptopnya lalu menoleh padaku. "Ada apa, Hara?" "Tidak ada signal?" tanyaku, lalu kuhadapkan layar ponselku pada Ayah. "Oh iya, Ayah lupa mengatakannya padamu." "Lalu bagaimana caraku berkomunikasi dengan temanku, Ayah?" "Sabar, ya? Ayah sedang memesankan modem beserta antenanya." "Oh, Ayah!" kataku putus asa. Lalu dengan tengkuk terkulai, kembali menuju kamar. Aku membuang tubuhku di kasur. Mulutku komat-kamit menggerutu. "Susah listrik, tidak ada signal, lalu nanti ada kejutan apa lagi?" *** "Hara, Ayah akan berangkat kerja sekarang." “Eh?” Aku baru saja keluar kamar, dan Ayah terlihat sudah berseragam rapih lengkap dengan helm safety hijau tua dan mengenakan rompi warna hijau stabilo di ruang tengah. Kutengok jam dinding. "Ini masih pukul enam pagi. Ayah sudah mau berangkat?" "Betul," terang Ayah sambil duduk dan memakai kaos kaki. "Jangan heran, kadang memang beginilah jam kerja Ayah.” Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ini aku yang masih mimpi atau kenyataan? Aku bingung. "Kenapa pagi sekali, Yah?" "Jarak lokasi tambang yang akan Ayah datangi lumayan jauh. Sekitar satu jam dari sini." Aku mengangguk-angguk, tapi belum sepenuhnya mengerti. "Ini uang sakumu... dan ini untuk sarapan." Ayah menyodorkan beberapa lembar uang di atas meja makan dan sebungkus roti sobek. "Belilah sesuatu di kantin sekolah." Aku mengambil roti dan uang yang lebih dari cukup itu. Sementara Ayah, mengambil sepatu safety dan membawanya keluar pintu. Aku berjalan mengikutinya. "Kamu tidak lupa yang Ayah terangkan semalam, 'kan Hara?" tanya Ayah, setelah selesai memakai sepatu. "Tentang bus sekolah, jalan, Ayah pulang malam, nasihat, murid-murid ENC School dan... ummm... apa lagi?" Aku mengingat-ingat. Ayah tersenyum dan mengusap puncak kepalaku. “Bagus. Kalau begini, Ayah merasa lebih tenang.” Aku meringis dan memandang sebuah mobil Hilux putih yang terparkir di kiri jalan. "Apa itu mobil jemputan Ayah?" "Ya. Itu mobil sarana yang disediakan perusahaan ENC untuk karyawan seperti Ayah. Kalau begitu, jaga dirimu baik-baik, Hara. Semoga kamu menyukai sekolah dan teman-teman barumu." "Ayah sudah mengatakannya berkali-kali semalam." "Benarkah?" Ayah tertawa. "Maaf kekhawatiran Ayah berlebihan. Kalau begitu, Ayah berangkat sekarang. Jangan lupa mengunci semua pintu ketika kamu berangkat nanti." Ayah mengecup keningku, yang jujur membuatku canggung karena telah lama tidak menerima perlakuan seperti ini dari Ayah. Ketukan sepatu safety Ayah yang berat terdengar cukup keras ketika menuruni tangga kayu rumah kami. Suara ketukannya semakin terdengar pelan ketika Ayah berjalan menuruni bukit menuju jalan utama. Walau sedikit gelap, di kejauhan aku bisa melihat Ayah melambaikan tangannya sebelum memasuki mobil, dan otomatis aku juga membalas lambaian tangan itu. "Hati-hati, Ayah," ucapku lirih kemudian mobil Ayah melaju. Aku berbalik dan kembali menutup pintu. Ada perasaan berbeda ketika sepagi ini sudah berada di rumah seorang diri. Terasa aneh. Mungkinkah dengan segala keterbatasan ini akan membosankan jika dilakukan terus-menerus? "Tidak! Jangan menyerah, Hara!" kataku pada diri sendiri, lalu bersiap-siap sebelum bus sekolah datang. *** Aku mengunci pintu dengan tergesa-gesa ketika melihat bus sekolah sudah datang di bahu jalan sana. Langkahku begitu cepat menuruni anak tangga di teras rumah. Karena kalau sampai tertinggal bus itu, maka tidak akan ada angkutan lain yang mengantarkanku ke sekolah. East Neilborn Coal School atau sering disebut ENC School adalah sekolah baruku, sekolah di bawah naungan perusahaan ENC yang mulanya dibangun sebagai bantuan kepada penduduk pulau Neilborn. Kata Ayah kini sekolah itu semakin memiliki banyak siswa setelah didirikan kurang lebih 10 tahun, yang mana 8 tahun lebih muda dari didirikannya perusahaan ENC di Neilborn. Selain mendirikan sekolah, perusahaan ENC juga memberi fasilitas bus sekolah untuk mengantar jemput para siswa. Karena rumahku berada di atas bukit, aku hampir berlari mengejar waktu. Jangan sampai terpeleset, sugestiku berulang-ulang ketika sadar kalau permukaan yang kupijak tidaklah kering. Yang dikhawatirkan terjadi. Aku gagal mengantisipasi pijakan sepatuku pada permukaan tanah merah yang licin. Selama sesaat, tubuhku serasa melayang. Aku bisa melihat wajah langit yang kebiruan. Pikiranku dikuasai kekosongan yang tak terelakkan. Lebih parah dari itu, aku berpikir sebentar lagi aku akan mati. Di sini… di pulau asing bernama Neilborn ini dengan cara terpeleset konyol akibat kecerobohanku sendiri. WUSSS! Badai ringan terasa menerjang tubuhku. Namun, anehnya aku tidak jatuh. Aku bisa melihat kabut hitam menghalangi pandanganku kepada langit. Hingga entah bagaimana akhirnya kurasakan tubuhku menemukan tempat untuk mendarat. Bukan tanah atau pun batu seperti yang aku khawatirkan, melainkan tangan seseorang. Tangan yang langsung membuat pundakku terhangatkan dan jiwaku terselamatkan. Aku beralih menatap pemilik tangan hangat itu. Kemudian menemukan sepasang mata hazel yang sedang menatapku, tajam dan dingin. Siapa dia? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD