Bab 8. Tidak Ada yang Mustahil di Dunia Ini

1025 Words
"Tuan!" bentak Bunga secara refleks membuat Aska seketika merasa terkejut. "Harus berapa kali aku bilang sama Tuan. Aku gak akan pernah melakukan apa yang Tuan perintahkan itu. Jangan harap Tuan bisa menyentuh satu helai pun rambutku, paham?" Aska seketika bergeming dengan kedua mata yang membulat. Berani sekali gadis itu membentaknya, bahkan bola mata Bunga nampak membulat sempurna terlihat murka. Namun, ekspresi wajah gadis itu tetap saja terlihat lucu dan menggemaskan. Anehnya lagi, Aska tidak merasa tersinggung sama sekali. Yang ada, dirinya benar-benar merasa terhibur dengan sikap polos asisten rumah tangganya ini. "Astaga, Bunga Bangkai. Lo berani membentak gue, majikan lo?" decak Aska santai. "Siapa bilang Tuan majikan saya? Majikan aku itu Nyonya besar, bukan Tuan. Kalau Tuan mau bikin jus jambu, silahkan Tuan bikin sendiri aku sibuk!" sahut Bunga lalu pergi begitu saja dari hadapan sang Tuan. Aska tersenyum cengengesan seraya menatap kepergian gadis bernama lengkap Bunga Senja Oktavia. Pria itu pun menyandarkan punggung berikut kepalanya di tembok dengan bersedekap tangan. "Semakin lo nolak, semakin membuat gue penasaran, Bunga," gumamnya menatap punggung Bunga yang perlahan mulai menghilang dibalik tembok. "Kita liat aja, gak ada yang mustahil di dunia ini. Gue pastikan lo bakalan datang sendiri buat melayani gue suatu saat nanti. Jangan panggil gue Askara Wijaya kalau gue gak bisa menyentuh tubuh indah lo itu." "Lagi apa kamu Aska?" tanya Anita yang baru saja tiba di dapur. "Kamu lagi liatin siapa?" Aska sontak memperbaiki posisi tubuhnya seraya menoleh dan menatap wajah sang ibu. "Mami apaan sih? Ngagetin saya aja," decaknya seraya memutar bola mata kesal. "Siapa yang ngagetin kamu sih? Siapa suruh ngelamun di sini?" Anita mengerutkan kening. "Mami tanya sekali lagi. Kamu lagi liatin siapa?" "Nggak! Saya gak lagi liatin siapa-siapa ko, emangnya ada manusia di rumah ini yang enak di liat selain Mami?" "Ish! Dasar anak nakal," decak Anita kesal. "Daddy-mu pulang, sapa dia." "Daddy udah pulang?" tanya Aska dingin. "Iya, dia baru aja pulang. Ini Mami mau buatin minuman buat dia. Kamu masuk dan sapa dia." Aska seketika mendengus kesal. Orang yang paling tidak ingin dia lihat di rumah ini adalah Hartawan ayahnya sendiri. Sang ayah adalah seorang pengusaha timah yang memiliki kesibukan yang luar biasa, bahkan selalu menghabiskan waktunya di luar untuk bekerja. Meskipun dia selalu dimanjakan dengan harta, tapi Askara merasa hidupnya kekurangan kasih sayang dari seorang ayah. Ditambah, Aska pernah memergoki ayahnya tengah melakukan hal yang sangat tidak terpuji membuat rasa hormatnya kepada pria paruh baya itu tidak lagi bersisa. "Ko malah bengong gitu? Daddy-mu nanyain kamu lho," ucap Anita seketika membuyarkan lamunan panjang seorang Askara. "Hmm!" jawab Aska hanya berupa gumaman lalu berjalan meninggalkan area dapur dengan perasaan kesal. Pemuda itu menghampiri Hartawan yang saat ini tengah duduk di ruang santai seraya memainkan ponsel canggih miliknya. Pria berkumis tipis itu segera mengalihkan pandangan matanya kepada Aska saat melihat kedatangannya. "Tumben kamu ada di rumah?" tanya Hartawan tersenyum ringan. "Seharusnya saya yang tanya sama Daddy, tumben Daddy ada di rumah?" Aska balik bertanya dingin. "Daddy di luar 'kan buat kerja, Aska. Emangnya uang yang kamu habiskan setiap hari itu datang dengan sendirinya? Nggak, Aska. Daddy yang banting tulang untuk menghidupi kamu dan Ibu kamu," jawab Hartawan tersenyum miring. "Daddy yakin uang Daddy itu digunakan hanya buat menghidupi kami aja?" "Askara!" bentak Hartwan dengan kedua mata yang membulat kesal lalu berdiri tegak. "Hati-hati kamu kalau ngomong!" "Memang faktanya kayak gitu, Dad. Daddy gak cukup hanya dengan satu wanita, saya kayak gini pun karena menuruni sifat Daddy." Hartawan seketika melayangkan telapak tangannya di udara hendak mendarat di wajah sang putra. Namun, pria paruh baya itu segera menahan diri dan menghempaskan telapak tangannya ke arah samping seraya mendengus kesal. "Hentikan perdebatan yang gak ada gunanya ini, Daddy bosen tiap ketemu sama kamu yang dibahas itu-itu terus," decak Hartawan seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. "Daddy mau kamu mulai kerja membantu Daddy di kantor. Udah saatnya kamu hidup mandiri dan merasakan capeknya cari uang." "Saya gak mau," jawab Aska diiringi. "Gak mau? Gak mau kamu bilang?" bentak Hartawan secepat kilat mendaratkan telapak tangannya di satu sisi wajah Askara hingga membuat wajahnya terlempar ke arah samping. "Haaa! Mas, apa yang kamu lakukan?" teriak Anita yang baru saja tiba di sana. "Kenapa kamu menampar anak kamu sendiri?" Anita segera meletakan secangkir kopi yang ia bawa di atas meja lalu menghampiri sang putra. "Kamu baik-baik aja, Aska? Astaga, bibir kamu berdarah," lirih Anita hendak menyentuh ujung bibir Aska yang kini mengeluarkan darah segar. "Semua ini karena kamu gak becus mendidik anak kamu, Anita. Dia jadi anak manja, pembangkang dan sudah berani melawan saya Ayahnya. Padahal apa yang dia nikmati itu adalah hasil keringat Mas!" bentak Hartawan mengalihkan pandangan matanya kepada sang istri. "Anak sama istri sama aja. Bisanya menjadi beban suami. Ngehabisin uang suami!" "Bukankah menafkahi anak istri itu kewajiban seorang suami? Apa pantas seorang kepala keluarga ngomong kayak gitu sama istrinya sendiri?" timpal Askara menatap wajah sang ayah tajam. "Dasar anak kurang ajar!" Hartawan kembali melayangkan telapak tangannya ke udara. "Sudah cukup, Mas. Jangan menampar Aska lagi, kasian dia!" pinta Anita memelas. "Aku mohon tahan emosi kamu, Mas. Aku mohon." Hartawan seketika menghempaskan telapak tangannya ke udara seraya menghela napas kasar juga menatap wajah istri juga putranya dengan tatapan mata tajam. "Mas nyesel pulang ke rumah, seharusnya Mas gak usah pulang aja sekalian!" bentaknya lalu pergi begitu saja meninggalkan mereka berdua. "Kamu mau ke mana, Mas? Kamu itu baru pulang, masa udah pergi lagi?" tanya Anita mengikuti suaminya dari arah belakang. Sedangkan Aska hanya menatap kepergian kedua orang tuanya dengan tatapan mata tajam. Ia pun menyentuh ujung bibirnya yang terasa nyeri akibat tamparan sang ayah. Aska tersenyum menyeringai lalu berbalik dan hendak melangkah. "Tuan Aska baik-baik aja?" tanya Bunga seketika berjalan menghampiri. "Gue lagi gak mood berdebat sama lo. Mendingan lo enyah dari hadapan gue," jawab Aska dingin. "Tapi bibirnya Tuan terluka. Saya bantu obati ya?" Bunga dengan begitu polosnya. Aska seketika memutar bola matanya ke kiri dan ke kanan lalu tersenyum menyeringai. "Hmm! Bantu gue obati luka di bibir gue ini, tapi nggak di sini." Bunga seketika mendengus kesal. "Bawa kotak p3k ke kamar gue dan obati luka gue di kamar, oke?" "Heuh! Kamar lagi, kamar lagi!" decak Bunga seraya menghela napas kasar. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD