"Kenapa? Lo takut masuk ke kamar gue?" tanya Aska seketika mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Bunga membuat wanita itu sontak memundurkan kepalanya dengan perasaan kesal.
Bukannya menanggapi ucapan sang majikan, yang dilakukan oleh Bunga adalah menatap luka di ujung bibir Aska yang masih terlihat segar bahkan masih mengeluarkan darah. Sedangkan tatapan mata Aska menatap bola mata berwarna coklat milik Bunga yang terlihat polos seperti biasanya.
"Lukanya Tuan harus segera diobati lho, berhentilah berpikiran kotor, Tuan. Emangnya gak sakit apa?" decak Bunga menatap luka tersebut dengan seksama.
Aska kembali menarik kepalanya kebelakang juga berdiri tegak. "Makannya, buruan ambilin kotak p3k dan bantu obati luka gue, Bunga Bangkai! Banyak omong banget sih!" decak Aska seketika merasa gugup, lagi-lagi perasaan aneh terasa mengusik relung jiwa seorang Askara Wijaya.
"Obatinya di sini aja, Tuan. Gak usah di kamar segala." Bunga dengan wajah datar.
"Emangnya kenapa kalau di kamar? Kita 'kan bisa sekalian senang-senang. Lo gak pernah ngerasain nikmatnya surga dunia, 'kan?." Aska dengan sengaja menggoda.
"Surga dunia apaan sih? Gak ngerti aku," decak Bunga seraya memutar bola matanya kesal. "Ini jadinya gimana? Mau diobati apa nggak? Aku masih banyak kerjaan lho, Tuan."
Aska seketika berbalik lalu berjalan ke arah tangga. "Pokoknya, gue mau lo dateng ke kamar gue dalam waktu lima menit. Oke?" sahut Aska seraya menaiki satu-persatu anak tangga dan naik ke lantai dua di mana kamarnya berada.
Bunga seketika mendengus kesal seraya menatap punggung Aska dengan tatapan mata tajam. "Akh! Nyesel aku nawarin buat ngobatin lukanya dia. Seharusnya aku biarin aja dia kesakitan. Dasar m***m," umpatnya lalu berbalik dan berjalan menuju dapur di mana kotak p3k di simpan.
***
10 menit kemudian, Bunga nampak sudah berdiri tepat di depan pintu kamar Aska dengan membawa salep untuk luka. Dengan perasaan ragu, gadis berusia 20 tahun itu pun mulai mengetuk pintu pelan dan beraturan.
"Ini aku, Tuan. Boleh aku masuk?" ucapnya pelan.
"Masuk aja. Pintunya gak di kunci, Bunga," jawab Aska dari dalam kamar dengan nada suara lantang.
"Ya Tuhan, lindunilah hamba-Mu ini dari godaan setaan yang terkutuk," gumam Bunga sebelum akhirnya memutar knop pintu lalu masuk ke dalam sana.
Aska nampak tengah duduk di atas ranjang dengan bersandar bantal dibelakang punggungnya. Pria itu segera menoleh dan menatap ke arah pintu di mana Bunga mulai melangkah dengan wajah pucat. Aska mencoba untuk menahan senyuman di bibirnya. Lagi dan lagi, wajah gadis itu terlihat lucu dan menggemaskan. Bunga dengan sengaja tidak menutup pintu karena merasa canggung apabila harus berada di satu kamar yang sama dengan pria m***m seperti Askara Wijaya.
"Pintunya tutup dong, gimana sih?" decak Aska seraya memperbaiki posisi duduknya.
"Gak usah di tutup, Tuan. Aku takut ada setan lewat nanti," jawab Bunga dengan begitu polosnya.
Aska memalingkan wajahnya ke arah samping mencoba untuk menahan diri agar tidak tersenyum. "Dia gak tau apa kalau setannya udah ada di sini?" gumamnya pelan.
"Tuan ngomong apa?"
"Nggak, gue gak ngomong apa-apa," jawab Aska kembali menatap wajah Bunga. "Udah pintunya tutup aja, kalau Mami sampe ngelihat lo di sini, bisa-bisa lo dipecat, Bunga. Mami bakalan ngira kalau lo lagi ngerayu gue."
Bunga seketika berbalik lalu kembali berjalan ke arah pintu dan menutupnya kemudian.
"Kunci sekalian, Mami kalau mau masuk kamar gak suka ketuk pintu dulu lho."
Bunga segera memutar kunci lalu kembali menatap wajah Aska masih dengan wajah pucat.
"Kenapa lo masih di situ, buruan sini. Bibir saya sakit lho ini," pinta Aska menatap sayu wajah Bunga.
Bunga balas menatap wajah Askara Wijaya, suasana kamar terasa begitu berbeda setelah pintu di tutup dan di kunci. Hawa dingin seketika membasuh permukaan kulitnya hingga terasa menembus setiap helai kulit tubuh seorang Bunga. Baginya, suasana kamar mewah tersebut terasa begitu menakutkan bahkan lebih menakutkan dibandingkan saat dirinya menonton film horor di tengah malam.
"Astaga, Bunga. Kenapa lo masih diem di situ?" decak Aska seraya memutar bola matanya kesal. "Lo tenang aja, gue lagi gak mood. Jadi lo aman, gua gak bakalan ngapa-ngapain lo."
"Beneran ya Tuan gak bakalan nyentuh aku?"
"Gak bakalan, astaga!"
Bunga akhirnya melangkah mendekati ranjang dengan perasaan tenang. Gadis itu pun duduk tepat di tepi ranjang menatap ujung bibir Aska yang mulai terlihat membengkak.
"Bibirnya Tuan mulai bengkak," ucapnya menatap ujung bibir Aska dengan seksama.
"Buruan obati, sakit tau!" decak Aska dengan tidak sabar.
"Iya-iya, tahan dikit ya. Rasanya bakalan perih, tapi lukanya bakalan cepat sembuh nanti."
Aska menganggukkan kepalanya seraya menatap lekat wajah Bunga. Telapak tangan gadis itu mulai bergerak membuka tutup salep lalu mulai mengoleskannya di ujung bibir Aska yang terluka.
"Argh!" ringis Aska, rasa perih seketika datang mendera saat cairan berwarna putih itu mulai menyentuh luka tersebut.
"Tahan dikit, rasanya emang perih," pinta Bunga tidak menggubris ringisan Aska.
"Pelan-pelan, sakit tau," decak Aska menatap lekat wajah Bunga dari jarak yang sangat dekat.
"Ish! Diem ngapa. Bibirnya jangan bergerak dulu, Tuan. Astaga!" Bunga balas berdecak seraya menatap bibir seorang Askara.
Aska secara refleks mengikuti apa yang diperintahkan oleh gadis itu. Kedua matanya nampak tidak bergeming dalam menatap wajah cantik seorang Bunga. Jantung pria itu seketika berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Perasaanya pun tiba-tiba saja merasakan sesuatu yang aneh. Perasaan yang sulit diartikan olehnya sendiri karena selama ini, dia tidak pernah benar-benar jatuh cinta kepada seorang wanita.
"Cantik," gumamnya tanpa sadar.
Bunga sontak menghentikan gerakan tangannya kemudian memundurkan tubuhnya. "Nah, udah selesai," ucapnya seraya tersenyum lebar. "Lagian, kenapa Tuan harus bertengkar sama Tuan Besar segala sih?"
"Lo nguping pembicaraan kami? Dasar gak sopan."
"Siapa yang nguping? Telinga aku ini bisa berfungsi dengan benar, Tuan. Apa yang tidak mau aku denger otomatis terdengar, tapi ya aku gak peduli sih. Toh itu bukan urusan aku," jawab Bunga santai.
"Alasan, bilang aja kalau lo itu kepo, 'kan?"
"Kepo apaan, Tuan?" Bunga dengan begitu polosnya.
"Lo gak tau istilah kepo?"
Bunga menggelengkan kepala dengan wajah datar.
"Dasar katro, kepo aja masa gak tau?"
"Nggak!"
"Hmm! Mau tau kepo itu apa?"
Bunga menganggukkan kepalanya masih dengan wajah datar.
Aska tiba-tiba saja menarik pergelangan tangan Bunga hingga tubuh gadis itu berada sangat dekat dengan tubuh kekarnya. Kedua mata Bunga seketika membulat merasa terkejut tentu saja.
"Tuan mau ngapain? Tuan udah janji gak bakalan ngapa-ngapain aku lho," tanya Bunga berusaha untuk mengurai jarak di antara mereka, tapi hasilnya sia-sia.
"Lo percaya kalau gue gak bakal ngapa-ngapain lo?"
Bersambung