Adrian pov
"Belokan di depan ke sebelah kanan." Kami sedang dalam perjalanan menuju rumah lama Lisa. Ternyata cukup jauh dari kediaman kami sekarang.
"Nah, yang warna putih itu rumahku. " Ada binar kerinduan yang terpancar dari senyumnya. Aku memarkirkan mobilku di samping rumah yang tampak asri itu. Lisa segera membuka pintu mobil dengan tidak sabaran. Tanpa sadar aku tersenyum, dia pasti sangat merindukan kedua adiknya.
"Dika!" Seseorang keluar dari dalam rumah begitu mendengar teriakan Lisa. Kemudian mereka berpelukan dengan sangat erat.
"Mbak Lisa pulang yah? " Seorang anak kecil keluar dengan langkah terseok Dari dalam rumah. Aku langsung berlari menangkapnya ketika dia oleng Dan hampir jatuh. Deru nafasnya terlihat berbeda.
"Mas Adrian yah? " Dia tersenyum lebar sambil memandangku antusias. Senyumnya sangat cerah untuk ukuran anak Yang lemah seperti dia. Aku seperti terhipnotis Dan ikut tersenyum sambil mengangguk.
"Harus berapa kali mbak bilang, jangan lari-lari. Kamu bandel yah! " Dia memeluk leherku sambil menyembunyikan wajahnya di dadaku.
"Mbak lisa galak. " Ucapnya lucu. Aku terkekeh sambil memandang Lisa geli.
"Iyah, mbak lisa galak, kamu sama mas Adrian aja yah. " dia mengangguk antusias semakin mengeratkan pelukannya.
"Ohh gitu, jadi sekarang Reka maunya sama mas Adrian aja? Baik, mba Lisa mau jalan-jalan sama mas Dika, Reka gak usah diajak. "
"Biarin, Reka jalan-jalan sama mas Adrian aja. " Aku terkekeh bangkit dan menggendongnya.
"Ayo mas masuk!" Yang ini suara Dika, dia juga tersenyum dengan sangat cerah padaku. Kami semua masuk ke dalam dengan diselingi canda tawa antar lisa dan Reka.
Rumah lisa sangat sederhana tapi rapih dan asri . Sepertinya dika adalah anak yang rajin dilihat dari begitu rapih dan bersihnya perabot di dalam rumah. Dindingnya berwarna biru muda dengan deretan foto lucu yang membuat suasana dirumah ini terasa begitu hangat.
"Reka turun, kasihan mas adriannya kamu kan udah berat sekarang. " Dika menatap tidak enak padaku melihat Reka yang tampak begitu nyaman berada di pelukanku.
"Biarin aja dik, Reka gak berat kok. " Ucapku sambil tersenyum. Anak kecil dalam pangkuanku menjulurkan lidahnya lucu ke arah sang kakak.
"Nggak boleh gitu sama mas dika. " Aku mencubit hidungnya gemas, dia terkekeh sambil memamerkan deretan giginya yang rapih.
"Dikaa! kok gak ada gula sih. " Teriakan Lisa terdengar dari dapur. Dika meringis sambil bangkit menghampiri Lisa.
"Iya mbak, aku lupa beli. " Dika nampak bergegas keluar sepertinya hendak membeli gula.
"Kamu lagi bikin apa emang? " Ucapku penasaran.
"Buatin kamu sama bocah itu jus alpukat. " Reka tampak tersenyum girang.
"Mba Lisa aku mau alpukatnya yang banyak!" Reka adalah anak yang lucu menurutku. Usianya mungkin sekitar 6 atau 7 tahun. Tapi dia masih sangat manja dan menggemaskan. Lihat saja bagaimana erat dia memelukku sedari tadi.
"Kamu suka jus alpukat kan? " Suara lembut Lisa membuatku mengalihkan pandangan dari pipi gembul Reka.
"Suka, aku juga mau alpukatnya yang banyak kaya bocah manja ini." Lisa tersenyum lembut.
"Reka gak manja!" Dia menatapku sambil mengerucutkan bibir mungilnya.
"Gak manja tapi peluk-peluk mas Adrian dari tadi gak Mau lepas. " Dika yang baru saja pulang dari membeli gula ikut menanggapi.
"Abisnya mas Adrian hangat. " Ucap Reka polos. Aku terkekeh. Jujur saja keluarga Lisa sangat menyenangkan. Mereka juga begitu sangat menerimku.
"Mas Adrian harus jaga mbak Lisa. " Reka tiba-tiba bersuara dengan lirih. Hanya ada kami berdua di ruang tamu. Aku tersenyum menanggapi.
"Mbak Lisa kasihan, dia sendirian cari uang buat urus aku yang sakit. " Dia memandangku sambil tersenyum sedih.
"Kamu sakit? " Dia mengangguk lemah sambil menepuk dadanya.
"Disini sakit jadi harus dioprasi, tapi sekarang sudah sembuh. " dia tersenyum senang. Apakah yang dia maksud jantungnya?
"d**a Reka sakit? " Dia menggeleng.
"Bukan d**a mas, tapi jantung kata mbak Lisa. " Dia membuka sedikit kancing bajunya dan memperlihatkan bekas oprasinya. Aku sedikit kaget, anak sekecil ini pasti sangat menderita mengalami penyakit berat seperti jantung.
"Kamu anak yang kuat" Ucapku sambil mengusap lembut poninya. "Mas Rian janji, mas pasti jaga mbak Lisa dengan baik" Ucapku lembut. Lisa pasti bekerja sangat keras selama ini mempunyai adik dengan penyakit berat seperti jantung, tidaklah mudah. Biaya pengobatannya sangat mahal dan cara merawatnya juga harus ekstra berhati-hati. Tiba-tiba saja aku teringat uang tiga ratus juta yang ibuku berikan pada Lisa sebelum kami menikah dulu.
"Mas Rian libur kerja? " Tiba-tiba saja dika sudah ada di hadapan kami. Aku mengangguk.
"Kalau kamu kuliah, Reka sama siapa? " tanyaku penasaran. Gak mungkin kan Dika tega ninggalin Reka sendirian?
"Aku titipin di panti mas, sebelum kami punya rumah ini dulu kami semua tinggal di panti, berhubung mbak lisa gak mau aku sama Reka ada yang adopsi, setelah dia besar kami berdua di adopsi dan tinggal di rumah ini." Dika tampak antusias menceritakan masa lalunya.
"Rumah ini adalah satu-satunya peninggalan nenek mbak lisa sebelum meninggal dulu. " Dika menatap sekeliling rumahnya dengan sayang. Dari cerita dia dapat aku simpulkan bahwa dika dan Reka bukanlah adik kandung Lisa. Dering ponsel dalam saku jaketku menghentikan pembicaraan kami. Ada nama Nancy di layarnya. Tadinya aku mau langsung mereject panggilannya. Tapi mengingat pesan Lina bahwa orang licik harus dibalas licik aku memutuskan untuk mengangkat panggilannya.
"Reka turun sebentar yah, mas Rian mau angkat telpon dulu. " Anak itu turun dari pangkuanku dengan bibir mengerucut tidak iklas membuatku gemas dan mencubit pipinya.
"Sini Reka sama mas Dika aja. " Aku melangkah ke teras rumah dan mengangkat panggilan Nancy yang entah keberapa puluh kali.
"Halo!" terdengar helaan nafas kesal diseberang sana.
"Kamu kemana aja sih, kan kita udah janjian mau ke Bali, ini udah hampir jam 1 siang Adrian!! " Dia mendengus marah. Aku tersenyum simpul .
"Maaf sayang, aku lupa kalau ada janji nemenin Lisa jenguk adiknya. "Jawabku enteng. Aku ingin lihat seberapa busuk rencananya terhadapku. Karena itu aku harus masuk kedalam sandiwaranya.
"Ohh jadi kamu lebih mentingin pergi sama wanita sialan itu dibanding janji sama aku? " aku mengepalkan jariku keras mendengar dia menyebut Lisa wanita sialan.
"Sama mamah juga, mana mungkin aku bisa nolak. Kamu ngerti kan gimana gak bisa dibantahkannya ibuku? " Nancy tampak mendesah kesal. Aku terpaksa berbohong demi bisa masuk kedalam sandiwaranya.
"Kamu nyebelin tau gak, " dia sedikit terisak. Aku yakin 1000 persen itu hanya actingnya saja. Aku jadi meragukan setiap ucapan dia yang menjelekan lisa. Jangan-jangan dia menceritakan dirinya sendiri tapi mengatasnamakan lisa. Dasar perempuan busuk.
"Maaf sayang, minggu depan deh aku ganti jalan jalan ke balinya. " Dia mendesah lagi.
"Udah gak pengen minggu depan. " Jawabnya ketus. Aku tersenyum dalam hati. Silahkan saja bersandiwara sesukamu, aku tidak akan tertipu untuk kedua kali.
***