BERUSAHA MENDEKATI ZALINA

1871 Words
Zalina hanya mencubit tinggal kekasihnya itu dengan gemas dia tidak tahu lagi harus berbuat apa supaya kekasihnya itu mengerti jika Kartika memang sangat protektif kepadanya masalah calon suami. “Kita mampir dulu ke rumahku,yuk,” kata Ethan. Zalina menggelengkan kepalanya perlahan, “Jangan hari ini, aku kemarin sudah tidak pulang. Dan aku yakin sekali jika ibu akan sangat marah jika hari ini aku pulang terlambat. Aku ingin pulang dengan cepat hari ini,” jawabnya. Ethan menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. “Ya sudah kalau begitu kita pulang, aku akan mengantarmu pulang. Tapi setelah kita makan malam bagaimana?” “Enggak, Sayang. Aku mau makan malam sama Ibu malam ini. Besok atau lusa kan masih banyak sekali waktu. Kita masih bisa pergi makan siang dan lain sebagainya. Tapi, tolong jangan hari ini,” kata Zalina sedikit merayu. Ethan tidak tega melihat wajah kekasihnya yang sudah dibuat sangat memelas itu. “Iya, sudahlah aku tidak apa-apa. Kita langsung pulang sekarang.” Zalina hanya tersenyum kemudian sebagai balasannya dia mengecup pipi Ethan perlahan. “Terima kasih atas pengertiannya,” jawabnya. Ethan pun segera mengantar Zalina pulang. Tentu tidak sampai di depan pintu rumah, dia hanya mengantarkan Zalina sampai lorong di depan rumah gadis itu. Zalina memang belum mau memberitahukan hubungannya dengan Ethan kepada Kartika, dia belum siap. Begitu turun dari mobil Zalina pun segera bergegas untuk pulang ke rumahnya dan betapa terkejutnya dia saat melihat ada tamu yang datang. “Anda?” katanya kaget. Tamu itu tak lain dan tak bukan adalah Bian. Zalina hanya bisa menghela napas panjang dan menghembuskannya. Dia tidak habis pikir, kenapa Bian bisa sampai ada di rumahnya. “Anda ada di sini, Pak?” kata Zalina bingung. “Lin,kamu itu baru pulang? Dari tadi Pak Bian sudah tunggu kamu.” Tiba-tiba saja Kartika yang menjawab sambil membawa dua cangkir teh dan juga cemilan. Rupanya Kartika baru saja membuat bolu kukus untuk cemilan sore. “Saya tadi mampir ke sini karena ingin bertemu ibu kamu,” jawab Bian. Zalina hanya menggelengkan kepalanya dia tahu itu bukan alasan. “Saya mau ganti baju dulu kalau begitu, Pak. Permisi sebentar,” kata Zalina dengan sopan. Ia pun bergegas ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Zalina merasa sangat tidak nyaman jika harus menemui Bian dengan memakai rok pendek dan blazer seperti sekarang ini. Maka ia pun langsung dengan cepat mengganti pakaiannya dengan celana panjang dan juga kaos biasa. Namun, tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh tepukan tangan di bahunya dan ternyata Kartika sudah berdiri di belakangnya sambil tersenyum. “Lin, Pak Bian itu datang kemari untuk mengatakan suatu hal yang penting kepada Ibu,” kata Kartika sambil tersenyum. Zalina mengerutkan dahinya ia merasa tidak mengerti dengan ucapan sang ibu. “Hal penting apa, Bu? Pak Bian itu kan bukan bosku. Dia hanya partner kerja bosku dan buat apa dia di sini? Apa dia sudah lama?” tanya Zalina kepada Kartika. Kartika mengganggukkan kepalanya, “Sejak jam empat sore tadi. Ibu sudah berkata kalau kamu pergi bekerja dan pulang baru jam enam atau tujuh malam. Tapi dia menunggumu sejak pukul empat tadi,” jawabnya. Zalina benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang sudah dilakukan oleh Bian. “Astaga kenapa harus melibatkan ibuku,” kata Zalina dalam hati. “Memangnya dia sudah mengatakan apa sih, Bu?” tanya Zalina. “Lin, ibu senang sekali kalau kau mau menjalin hubungan dengan Pak Bian. “Dia kelihatannya seperti pemuda baik dan juga bijaksana,” kata Kartika. “Ibu melihat dari apanya? Kok bisa sih Ibu bilang seperti itu?” tanya Zalina bingung. Selama ini Kartika memang tidak pernah memuji pemuda mana pun. Kartika menghela napas panjang lalu menghembuskannya, kemudian ia mencium kening putrinya itu perlahan. “Ibu hanya melihat Bian itu adalah pemuda yang baik. Dia juga berasal dari keluarga yang cukup berada, mapan. Dia pengusaha yang sangat sukses di usianya yang masih sangat muda. Ibu hanya ingin kebahagiaan untukmu, Nak,” kata Kartika kepada Zalina. Zalina memejamkan matanya lalu menghembuskan napasnya perlahan. “Bu, apa harus Pak Bian? Aku takut jika nanti keluarga besarnya tidak akan menerima aku,” kata Zalina. Kartika menarik napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. “Maafkan Ibu, Nak. Sebenarnya, Pak Bian sudah sejak tadi menunggumu dan ibu juga sudah menceritakan tentang keluarga kita, juga masa lalu ibu. Dan dia menerima dengan tangan terbuka. Pak Bian juga mengatakan bahwa keluarganya pasti akan menerimamu dengan baik jika kamu mau menjadi istrinya,” kata Kartika. Zalina tersentak kaget, sejauh itukah ibunya berbuat mengambil tindakan tanpa sepengetahuannya? Astaga, dia tidak pernah merasakan perasaan apapun kepada Bian. Dia hanya menganggap Bian sebagai klien dari bosnya yaitu Ethan. Lagi pula dia sekarang sudah memiliki Ethan dan dia sangat mencintai Ethan. Dia tidak mungkin menerima Bian begitu saja. Tetapi Zalina tahu jika dia tidak mungkin langsung menolak di hadapan ibunya. Dia tahu persis bagaimana sifat Kartika. “Seharusnya, Ibu tidak mengatakan itu kepada Pak Bian.Lagi pula dia itu hanya mengenalku sebentar saja, Bu. Dia adalah klien dari Pak Ethan dan kami hanya baru beberapa kali bertemu. Kami tidak punya hubungan apa pun,” kata Zalina. “Iya, Ibu tahu tapi dia memiliki perasaan lain kepadamu, Nak. Apa sih susahnya untuk menerima cinta dari pak Bian? Dia adalah pemuda yang sangat baik dan juga mapan,” kata Kartika. Zalina kembali menghela napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “Ibu, tapi aku belum mau menikah.” “Ibu kan tidak menyuruhmu langsung menikah dengan Pak Bian. Kalian bisa saling mengenal dan ibu menyetujui jika dia mau menikahimu, bukan berarti dalam waktu dekat ini kalian menikah.” Dan malam itu Zalina terpaksa harus menyetujui keinginan Kartika untuk makan malam bersama Bian. Mereka bertiga makan malam di sebuah restoran Jepang yang cukup terkenal. Bian sengaja membawa mereka ke sana, karena dia yakin sekali jika Kartika belum pernah makan di tempat seperti itu. Kartika mengenakan pakaian terbaik yang pernah dibelikan Zalina kemarin. Ia berusaha tampil cantik di depan lelaki yang ingin sekali ia jadikan menantunya itu. Sementara Zalina hanya mengenakan pakaian yang biasa dengan make up tipis saja. Dia tidak ingin terlihat berdandan heboh di hadapan Bian yang notabene tidak memiliki tempat di hatinya sama sekali. Hanya satu yang Zalina takutkan, Ethan akan melihat mereka makan bersama, itu saja. “Bagaimana makanannya?” tanya Bian. “Enak kok. Nak Bian pintar, ya memilih restoran,” jawab Kartika dengan hangat. “Iya, Bu. Terima kasih. Saya mau kok sering-sering membawa kalian ke sini. Lin apa ibumu sudah memberitahu kamu sesuatu?” tanya Bian. Zalina mengerutkan dahinya dan menatap Bian. “Menyampaikan sesuatu apa ya, Pak?” “Aduh, jangan panggil saya bapak, dong! Panggil Mas aja gimana? Rasanya saya belum tua sekali. Dan lagi saya belum menikah. Nggak pantes kamu panggil bapak,” protes Bian. Zalina tersenyum manis, “Saya panggil Pak Ethan juga bapak.” “Oya? Jadi, saya disamakan dengan Ethan?” kata Bian. “Iya, saya memanggil beliau dengan sebutan Bapak. Dan saya tahu jika usia Pak Ethan jauh lebih muda dari pada Anda. Jadi, kenapa harus saya memanggil Mas kepada kepada Anda?” kata Zalina. “Jangan gitu dong, Lin. Apa salahnya sih panggil Mas kepada Nak Bian?” kata Kartika menyela. Zalina terdiam, memang susah menuruti apa yang Kartika mau. Kartika adalah wanita yang sangat keras kepala tapi Zalina tau dibalik sifat keras kepalanya itu sang Ibu sangat menyayanginya. Ia tahu sekali bagaimana perjuangan ibunya untuk membesarkan dirinya. Semua Kartika lakukan sendiri bahkan ia memilih untuk tidak menikah sama sekali padahal banyak lelaki yang ingin menjadikannya istri. Apalagi saat ini di usianya yang baru 40 lebih dia masih terlihat sangat cantik. “Ya sudah. Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang saya akan memanggil Anda dengan panggilan mas, puas?” jawab Zalina. Bian hanya tersenyum, dia tahu jika wanita di hadapannya ini tidak memiliki perasaan apa pun kepadanya. Tetapi, dia ingin memperjuangkan cintanya. Entah mengapa, semenjak dia mengenal Zalina dia sangat ingin sekali membahagiakan gadis itu. Terlebih lagi saat ia mengetahui semua cerita tentang Kartika dan masa lalu mereka berdua. Ia ingin mengangkat derajat keduanya. Bian yakin jika kedua orang tuanya akan menerima semua itu. Orang tua Bian bukanlah orang yang suka membeda-bedakan kasta atau level-level pendidikan dan juga kekayaan. Mereka membebaskan anak-anaknya untuk memilih pasangan masing-masing. Adik Bian sudah menikah dan tinggal di luar negeri. Suaminya bukan berasal dari keluarga kaya raya tetapi kedua orang tua Bian memberikan mereka modal untuk memulai usaha. Dan usaha mereka pun maju di Singapura. Jadi, ia yakin jika orang tuanya pun akan melakukan hal yang sama untuk Zalina. Terlebih Zalina adalah gadis yang baik dan juga cantik. “Kapan-kapan saya akan memperkenalkan kamu kepada keluarga saya,” kata Bian. Zalina menoleh ia menghentikan suapannya. “Mengenalkan saya kepada keluarga Anda? Kenapa?” tanya Zalina. Bian menghela napas panjang ia menatap Zalina dengan sangat serius. “Lin, di hadapan ibumu saat ini saya ingin mengatakan sesuatu. Sebenarnya, sejak pertama kali kita bertemu saya sudah merasakan jatuh cinta kepadamu. Kau adalah gadis yang baik, sederhana tetapi terlihat sangat pintar. Saya sangat tertarik denganmu, hanya saja untuk mendekatimu sepertinya Pak Ethan sangat overprotektif. Ya mungkin beliau tidak ingin sekretarisnya saya rebut,” kata Bian. Zalina tahu bahwa Bian saat ini sedang mengatakan makna yang tersirat dalam ucapannya. Ia tahu jika Bian pasti mengetahui hubungannya dengan Ethan. “Tadinya, saya malah berpikir Bapak dan sekretaris Bapak memiliki hubungan.” “Tuh kan, kok Bapak lagi sih?” “Oh maaf, maksud saya, Mas. Tadinya saya pikir Mas Bian dan Estela memiliki hubungan. Soalnya Estella itu nempel sekali. Ke mana-mana mengikuti Anda seperti ekor,” kata Zalina. Bian tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Zalina. “Aduh Estela itu memang begitu. Tapi, asal kamu tahu dia itu bukan tipe saya,” kata Bian. Zalina hanya tersenyum manis. “Jadi, tipe wanita seperti apa yang Mas sukai?” “Seperti kamu,”jawab Ethan. “Mas belum terlalu mengenal saya. Jadi, tahu dari mana kalau saya ini anak yang mandiri?” “Tentu saja dari ibumu,” jawab Bian. “Saya sama sekali tidak mandiri. Malah, saya ini sebenarnya anak manja. Buktinya, sampai sebesar begini aja kadang-kadang saya minta tidur sama Ibu,” jawab Zalina. “Ya jelas karena kamu anak satu-satunya. Coba kalau kamu punya adik atau kakak, Ibu juga nggak mau tidur sama kamu,” jawab Kartika. Zalina hanya mengerucutkan bibirnya. Ia merasa saat ini Kartika tengah memojokkannya pada situasi yang tidak menguntungkan. Entah apa yang dilihat Kartika dari Bian. Ya, memang Bian adalah pemuda yang sangat tampan. Dia juga gagah ramah dan tentu saja mapan dengan banyaknya perusahaan yang ia miliki. Tapi bagi Zalina sekarang dia tidak bisa melupakan cintanya kepada Ethan. Dan Zalina bertekad untuk membuat sang Ibu merestui hubungannya dan Ethan. “Besok kamu pergi kerja jam berapa?” tanya Bian. “Seperti biasa, Mas. Saya dijemput Pak Soleh.” Bian mengerutkan dahinya, “Pak Soleh?” “Iya, Pak Soleh adalah sopir pribadinya Pak Ethan dan sudah sejak saya bekerja di sana Pak Soleh mengantar jemput saya. Karena beliau tidak mau saya terlambat, jadi Pak Soleh ditugaskan untuk selalu mengantar dan menjemput saya,” jawab Zalina. “Wah, istimewa sekali Ethan memperlakukan dirimu,” kata Bian. Zalina hanya tersenyum dan mengendikkan bahunya perlahan. “Saya juga nggak tahu, mungkin saja karena pekerjaan saya bagus. Sehingga Pak Ethan memberi saya banyak fasilitas untuk memudahkan segala pekerjaan saya,” jawab Zalina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD