Brruuukk...
Dia ambruk kelantai. Kakinya tertekuk, dan itu terasa sangat nyeri.
“Aaawww....aww..” rintihnya.
“Ya Alloh mas,” Yana yang baru saja pulang dari pasar segera menghampiri suaminya yang ngelosot dilantai. Dia angkat tangan suaminya pelan, dia peluk Radja dan mendudukkannya di kursi roda.
“Besok kalau mau latihan lagi jangan sendirian ya. Besok aku dampingi, biar enggak jatuh.” Yana masih sibuk ngatur nafas yang kecapean ngangkat tubuh Radja.
“Kamu nggak capek ngurusi aku?” wajah Radja sangat datar. Bahkan dia merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. Cacat itu tidak menyenangkan.
Yana berusaha tersenyum. Siapa sih yang mau mas? Sekalipun aku menolak, aku akan tetap disini mengurusmu. Mendengar kabar jika mama membaik, itu sudah sangat membahagiakan untukku. Batinnya.
“Kamu itu suamiku mas, aku pasti akan membantumu hingga sembuh.” Yana tersenyum. “Aku mau nata belanjaan di kulkas dulu.” Dia beranjak masuk kedalam dan sibuk di depan kulkas.
“Sarapan dulu. Jangan sampai kamu sakit.”
Yana menoleh ke arah Radja dengan kening berkerut.
“Kalau kamu sakit, siapa yang merawatku?" Radja memutar kursinya menuju ke dekat tv.
Setelah selesai menata belanjaan Yana menuju meja makan untuk sarapan. Dia mulai makan sandwick yang tersisa untuknya.
"Beli apel nggak?” Radja memutar kursinya menuju kulkas.
Yana hentiin sarapannya sejenak. “Ada di kulkas mas. Mau makan apel?”
Hanya dijawab dengan anggukan. Yana beranjak ngambilin apel. “Biar aku cuci dulu mas. Kamu tungguin di samping aja.”
Radja nurut, dia kembali putar kursinya menuju pintu samping. Tak begitu lama, Yana datang membawa piring. Ada tiga buah apel dan pisau buah. Dia duduk disamping Radja dan mulai mengupas buahnya.
“Adikmu udah sarapan mas?” iseng tanya, karna dari kemarin belum pernah bertemu adik iparnya.
“Udah.” Jawabnya singkat, pandangannya lurus kedepan liat air mancur kecil yang dibawah ada ikan hiasnya.
“Aahhh...” Rintih Yana.
Segera Radja meraih tangan Yana yang mengeluarkan darah karna terkena pisau. Tanpa pikir panjang, dia masukkan jari Yana yang berdarah itu kedalam mulut.
Yana yang melihat perlakuan Radja terpaku dengan tatapan melotot karna terkejut. Bahkan saat ini jantungnya berdebar tak karuan.
“Udah berhenti darahnya.” Radja memutar kursinya dan masuk kedalam rumah.
Yana diam, dia masih bengong dengan keterkejutannya. Dia elus dadanya berkali-kali.
Ya lord, perasaan apa ini? Kenapa tiba-tiba jantungku detak kencang banget? Apa mungkin...... Aahh tidak, aku yakin. Didalam sini masih ada Kai. Bisiknya dalam hati.
“Sini biar aku obati.” Radja sudah ada disamping Yana dengan sekotak p3k dipangkuannya. Kembali dia raih tangan Yana, dia usap dengan kapas yang sudah dikasih alkohol.
“Mas, aku bisa sendiri.” Tolaknya, tapi tidak menarik tangannya.
“Jangan meremehkan karna aku cacat.” Ucap Radja tanpa expresi.
Yana milih nurut, dia diam menerima perlakuan Radja.
Selesai mengobati luka dan membungkusnya Yana kembali melanjutkan mengupas apel dan memotongnya. Lalu memberikan pada Radja.
“Kamu, makanlah. Aku tak mau makan sendirian.” Dia ngomong sama istrinya tapi pandangannya tetap kedepan.
“Tapi, aku nggak suka apel mas. Aku lebih suka jambu biji.”
“Beli jambu nggak?”
“Haa??” Yana memastikan yang didengar.
“Belilah sesuatu yang kamu inginkan. Jika uangnya kurang, aku bisa menambahnya lagi.”
Yana diam, ngambil sepotong apel dan memakannya.
“Bantu aku latihan jalan ya.” Kali ini Radja natap Yana.
“Iya mas.”
~~
Pov Kaisar paxon
Selesai keliling kantor aku ijin pulang, awalnya masih digondeli sama kak Panji. Tau lah, aku paling jago ngeyelnya. Kak Panji nggak bisa hentiin aku.
Dengan santai mengendarai moge kesayangan yang udah lama banget nggak aku pakai. Semenjak tinggal dikontrakan kemana-mana pakai motor matic yang sebenarnya jauh dari kriteria. Soalnya mbak Yana suka sama motor matic seperti yang aku miliki itu. Motor itu pun kubawa pulang dan kumusiumkan di garasi paling belakang. Banyak banget kenangan sama mbak Yana di motor itu. Bahkan hampir tiap mau pergi jauh mbak Yana pinjam motor itu.
Kenangan saat pertama kali dia memeluk dengan erat, saat-saat ternyaman kedekatan kita. Haah ingat dia bikin gundah banget. Apalagi ingat chat terakhirnya.
Masih nggak percaya kalau dia menikah. Apa dia dijodohkan? Atau terjadi sesuatu padanya? Kenapa dia nggak cerita? Aahh dia!!!! Kenapa jahat banget.
Aku hentikan moge didepan caffe yang ada disekitaran rumahku. Karna dia pernah bilang jika bekerja sebagai chef di sebuah caffe daerah X. Dan rumahku ada di daerah X itu.
“Ada yang bisa kami bantu mas?” tanya seorang pelayan yang duduk di meja kasir caffe.
“Disini ada chef yang namanya Layyana nggak mbak?” tanyaku langsung.
Wanita itu diam sejenak. “Nggak ada mas. Memangnya ada apa ya?”
Aku hanya tersenyum. “Nggak papa mbak. Ya udah, makasih ya.”
Melangkah menjauh dari caffe. Kembali menaiki moge merahku dan melaju menuju caffe yang ada paling dekat dari rumah. Kulakukan hal yang sama, masuk dan menanyakan yang kucari. Namun disana juga sama, tak ada chef yang bernama Layyana. Tinggal satu caffe sekarang, dan kemungkinan besar, kekasihku bekerja disana. Semoga dia tidak berbohong.
~~
Moge merah masuk ke garasi, dengan sangat malas aku turun dari motor. Masuk kedalam rumah, kulihat kak Radja sedang latihat berjalan ditaman samping. Tentu dibantu oleh istrinya.
Seorang wanita berambut keriting, rambutnya diikat rapi, pakai kaos warna pink dan celana pendek selutut. Sekilas dia mirip banget sama mbak Yana. Ingin nyamperin, karna aku memang penasaran sama istrinya kak Radja. Tapi karna suasana hati yang sedang sedih, aku putuskan langsung naik ke lantai atas dan merebahkan diri dikamar.
Kuambil ponsel, ada banyak fotonya dan foto kita berdua. Aku memandangi foto itu tanpa henti. Perih sekali rasanya.
“Mbak, kamu dimana? Aku kangen.” Kuelus wajahnya yang tersenyum cantik. “Tega banget kamu mbak ngelakuin ini sama aku. Seperti inikah cintamu?”
Aku merasa sangat kacau. Memejamkan mata untuk merasakan betapa rindu ini sangat menyiksaku. Tiga bulan berlalu dia meninggalkanku. Nomornya tak lagi aktif, semua akun sosmed juga nggak pernah aktif lagi. Bahkan aku sampai hack semua akunnya. Hanya ada beberapa teman dekat yang mengucapkan selamat atas pernikahan.
Aku tersenyum getir, ternyata dia benar-benar menikah. Mungkin dia memang membohongiku kala itu, tidak pindah kerja, tapi pindah profesi jadi seorang istri.
Setelah lama sibuk dengan hati yang gundah, aku segera membersikan diri. Berpakaian santai dan turun kebawah. Menghampiri kak Radja yang duduk di taman dengan laptop di pangkuannya.
“Kapan pulang?” tanyanya saat aku baru saja naruh p****t.
“Dua jam yang lalu.” Aku mengambil ponsel dan mulai masuk ke akun game.
“Ppcckk, masuk hari pertama udah bolos.” Lanjutnya tanpa menatapku. Dia kembali sibuk dengan laptopnya.
Aku hanya nyengir. “Aku lihat kakak ipar baik tuh, dia bantuin kakak buat sembuh. Masa’ kek gitu nggak bisa cinta?”
Kak Radja Cuma diam nggak nanggapi omonganku. Sejenak kami sama-sama diam dengan kegiatan masing-masing. Tak lama kemudian ada panggilan telfon masuk dari Sam.
“Hallo nyet,” sapaku.
“Gue tadi pagi liat cewek yang lo cari kuy.” Ucapan yang membuat aku langsung bersemangat dan beranjak agak menjauhi kak Radja.
Aku berjalan ke samping kolam. “Lo liat dia dimana?”
“Di area pasar G. Dia belanja banyak bahan makan disana.” Jelas Samuel.
Bahan makan? Itu artinya emang mbak Yana jadi juru masak. “Ok makasih infonya.”
Aku tutup telfonnya dan balik duduk sama kak Radja. Di meja udah ada sepiring gorengan dan dua teh hangat.
“Mbok Esti belum pulang ya kak?” aku ambil gorengan dan mulai menggigitnya.
“Udah.” Kak Radja juga makan gorengan.
“Lha ini siapa yang bikin? Masih anget.”
“Istriku.”
Aku menyunggingkan senyum. “Ciee sekarang udah mulai akui istrinya.”
Kak Radja ngelirik sinis. “Bacot Kai!!”
~~
Pagi pukul 6.00am
Aku udah standby di parkiran pasar. Sesuai intruksi Sam, yang katanya lihat mbak Yana di daerah pasar ini. Lama banget sampai pegel, 1 jam lebih nungguin tapi nggak ada tanda mbak Yana datang. Pukul 8.00am aku pulang karna harus ngantor.
Aku melakukannya selama seminggu tapi tak juga melihat mbak Yana di pasar. Dan ini hari ke delapan aku nongkrong diparkiran.
“Mas, kok nggak jadi tukang parkir aja sih. Lumayan lho nanti sehari penghasilannya kita bagi dua. Mas 200 saya 200. Kalau lebih kita tetap bagi dua.” Tawar si bapak tukang parkir yang dari pertama udah ngomong kalau butuh partner kerja.
“Enggak pak. Saya lagi nyari pacar.” Jawabku jujur.
“Hahhaha.....” si bapak malah ngetawain. “Mas ini aneh. Mas cakep gini cari pacar dipasar? Adanya penjual ikan sama penjual sawi mas.” Dia nepuk bahuku.
“Eh, bukan mereka yang saya cari pak.”
“Lalu yang seperti apa?”
“Seperti.....”
Kali ini aku nggak mungkin salah lihat. Seorang wanita cantik keluar dari gerbang pasar menenteng tas penuh belanjaan, ada anak kecil di belakangnya yang bawain beberapa kantong plastik.
“Mbak Yana....” Ucapku lirih, bahkan si bapak tak mampu mendengarnya.