"Tell me about the weight, then I will take it."
*****
Pagi ini Katrina enggan turun ke bawah. Berlian ada di sana bersama suami barunya. Jika Katrina ikut sarapan di meja makan, kakak durhakanya itu pasti mencari celah keburukannya.
Katrina sudah buruk, rusak. Tidak perlu dicari keburukannya lagi. Tapi tidak akan Katrina biarkan Ber mencampuri urusan pribadinya. Termasuk memaksa menjodohkannya padahal ia sudah membawa Aldi. Sungguh mulut belut, sangat licik.
"Harus berani." Ia mencoba meyakinkan diri sendiri.
Di meja makan sudah berkumpul Mama, Papa, Ber dan Suaminya. Katrina menarik napas dalam-dalam. Ia tahu keputusannya kali inj mungkin akan ditentang kedua orangtuanya.
"Katrina sayang, sini nak," panggil mamanya.
Katrina mengambil tempat duduk di samping mamanya yang berarti berhadapan dengan Berlian.
"Kamu mau pakai lauk apa? Biar Mama yang ambilkan." Mamanya mengambil piring Katrina namun Ber menahannya.
"Biarin dia ambil piring sendiri Ma."
"Ma, Katrina bisa ambil sendiri." Katrina menarik piringnya kembali. Ia menatap Ber sinis. Tak peduli lagi orangtuanya melihat secara langsung yang penting rasa kesalnya tersampaikan.
"Biar nggak jadi anak manja," ucap Ber sengaja ditekankan.
Katrina masih berusaha sabar dengan menggenggam erat sendok.
"Untung ya Ma aku nggak dimanja sejak kecil jadi aku udah biasa ambil makanan sendiri." Katrina mengatakan itu sambil melirik Ber. Ia sengaja menekankan kata manja supaya Ber tau diri.
"Kamu nyindir aku?" tanya Ber tajam.
"Yang ngerasa kesindir berarti emang bener," timpal Katrina.
"Oh aku tau, kamu iri kan ya karena nggak bisa seperti aku makanya nyindir terus."
"Cukup!" bentak papa.
"Kalian di meja makan masih saja membawa permasalahan itu. Ber, di mana sopan santun kamu."
Akhirnya, papanya memarahi Ber. Namun selanjutnya Katrina mendapatkan pandangan tajam dari papanya.
"Kamu juga Katrina. Kenapa terus saja mencari masalah dengan kakakmu."
Apa? Ia mencari masalah? Jelas-jelas Ber tadi yang memancing.
"Kenapa aku terus yang disalahin Pa," protes Katrina.
"Karena lo memang salah," sahut Ber. Ia masih saja ingin memperpanjang masalah. "Lo cuma buat rusuh tau nggak di sini."
Katrina menggertakkan giginya. Jika tidak ada orangtua dan suami Ber, mungkin Katrina sudah adu jambak dengan kakaknya itu. Sekali-kali dia perlu diberi pelajaran.
"Katrina akan tinggal di apartemen."
Mamanya melotot, beliau menggeleng dan menahan lengan Katrina. "Jangan sayang. Rumah sepi tanpa kamu."
"Ber akan tinggal di sini," ucap kakaknya.
"Maaf, Ma. Tapi Katrina nggak akan tinggal bersama orang munafik." Katrina beranjak dari meja makan dan menuju kamar. Ia harus tega begini karena jika tidak ia kembali direndahkan. Biarkan saja saat kumpul bersama keluarga besar Katrina tidak ikut. Lagipula keluarga besarnya tidak terlalu peduli dengan dirinya. Mereka hanya menyanjung anak emas yang tidak lain adalah kakaknya.
Katrina hanya membawa baju sekolah dan beberapa baju rumahan serta bukunya. Ia menyeret koper kecil dan menggendong tas ranselnya.
Di ruang tamu mamanya sudah menangis sambil memandangnya sendu. Sebenarnya Katrina sangat sayang mamanya, ia tidak mau menjadi anak durhaka. Tapi bagaimana lagi, menjauh lebih baik daripada di dekat mereka tapi tidak dianggap.
"Katrina pergi," pamitnya.
"Sayang ... jangan pergi dari rumah," cegah mamanya.
Katrina menghentikan langkahnya tapi ia tidak berbalik.
"Biarkan dia semaunya Ma. Nanti dia juga akan kembali," tegas papanya.
Ya, Katrina tidak akan kembali sebelum ia sukses. Oke memang sementara ini ia masih menggunakan uang orangtuanya. Tapi Katrina akan berusaha mencari uang sendiri tanpa meminta kepada papanya.
Di belakang sana mamanya sudah menangis. Ngilu, itu yang Katrina rasakan. Ia memantapkan langkahnya sambil menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ternyata rasanya tidak diinginkan oleh keluarga lebih sakit melebihi apapun.
*****
Katrina masih berjalan menyusuri trotoar karena ia tidak menggunakan mobil. Dia sudah berjanji untuk memakai uang tabungannya sendiri yang masih cukup untuk beberapa bulan ke depan. Kendaraan yang lewat hanya mobil pribadi. Tidak ada kendaraan umum yang lewat yang bisa ia tumpangi.
Saat melihat mobil yang ia kenali, dengan orangnya yang sedang berdiri di depan kap mobil, Katrina berlari. Untunglah ada bantuan.
"Aldi," ucapnya ngos-ngosan.
Sang empu menoleh, ia menatap Katrina bingung. Siang hari berlarian dengan membawa koper.
Apa gadis itu akan berlibur? Untunglah karena aku tidak lagi bertemu dengannya di sekolah.
"Lo ngapain?" tanya Katrina. Ia sengaja basa-basi supaya Aldi tidak kaku.
"Lo nggak lihat gue lagi apa?" balas Aldi datar.
Saabar Kat, sabar. Panas-panas ketemu orang beginian bisa rawan hipertensi.
Katrina mencoba tersenyum. "Lihat kok, lo lagi berdiri, gue tahu."
Aldi diam saja tidak menjawab. Cowok itu malah sibuk dengan mesin mobilnya yang sedikit mengeluarkan asap.
"Gue bantu ya." Katrina meletakkan kopernya dan menggulung lengan bajunya sampai ke siku. "Gue bisa bantu apa?"
Aldi meliriknya datar, sungguh tanpa ekspresi. "Gue nggak bilang butuh bantuan."
Kenapa sih ini cowok sekarang cuek banget. Kemarin masih kalem-kalem aja.
"Tapi gue bisa bantu kok," keukeuh Katrina.
"Jangan sok akrab sama gue. Kita bukan siapa-siapa lagi."
Katrina mendengus. Kemarin kan mereka pernah pacaran. Pernah, dan sekarang sudah putus. Ah, Katrina lupa.
"Tapi gue pernah jadi pacar lo. Jadi sebagai mantan pacar yang baik gue mau bantu."
Aldi menutup kap mobilnya. Sepertinya cowok itu sudah selesai memperbaiki mobil, yang pasti tanpa bantuan Katrina.
"Mantan ya mantan. Jangan ngungkit-ngungkit. Lo sendiri kan yang bilang kalau kita putus, anggap nggak saling kenal," ucap Aldi mengoreksi.
Ah iya, Katrina menyesal pernah berkata demikian. Seharusnya ia tidak usah memutuskan Aldi dulu kalau tau akan butuh bantuannya seperti ini.
"Bantuin mantan lo ini, please." Katrina menyatukan tangannya di depan d**a. Tidak apalah malu-malu sedikit demi tumpangan gratis.
"Gue tau mau lo."
Katrina tersenyum lega. Gue harus hemat. Gak apa ngerendahin gengsi sedikit.
Aldi sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya. Cowok iti terlihat tampan dalam kondisi wajah berkeringat seperti itu.
Apa tadi? Tampan? Katrina menggelengkan kepalanya. Gila saja dia berpikir Aldi tampan. Mantan-mantannya jauh lebih tampan.
Katrina hanya menunggu sambil celingukan berusaha melihat apa yang Aldi lakukan. Katrina mendekat dan hampir saja melihat ponsel Aldi tapi cowok itu lebih dulu mengangkat kepalanya. Alhasil kini kepala mereka hanya berjarak beberapa jengkal.
"Jangan dekat-dekat," peringatnya.
Katrina mendengus. "Ih udah geer duluan. Gue kepo tau lo ngapain sih?" Ia berusaha melihat lagi ponsel Aldi namun gagal karena layar ponsel sudah menggelap. "Ah lo nggak asik. Main sembunyi-sembunyian."
Aldi tidak menjawab dan malah menarik koper Katrina. Membuat cewek itu senang bukan main. Namun saat tau Aldi tidak membawa koper itu ke mobilnya, Katrina memberengut.
"Mobil lo kan bukan ini." Katrina menunjuk mobil Aldi yang ada di belakang mobil itu.
"Siapa bilang gue mau nganter lo? Gue pesenin lo ojek mobil."
Aduh malu banget a***y, batin Katrina.
Ia tetap tidak mau beranjak dari depan mobil Aldi. Rencana menghemat gagal total. Ia menggeleng tanda tidak mau diantar pakai ojek mobil.
"Udah gue bayar. Nggak usah takut uang lo berkurang."
Sial! Seandainya Katrina tidak butuh, ogah saja berbicara dengan cowok seperti Aldi.
"Cepet masuk, lo ditunggu Bapaknya."
Katrina menghentak-hentakkan kakinya kesal.
"Makasih!" teriaknya saat mobil sudah melaju.
Katrina meraup wajahnya dan mengumpat beberapa kali di dalam mobil sampai sopir meliriknya sinis. Untung saja sekarang hari minggu. Setidaknya ia bebas satu hari dan besok, menanggung malu karena pasti akan bertemu Aldi di sekolah.