Harumi menatap Gin yang tengah mengganti pakaiannya pagi itu. Waktu masih menunjukan pukul 5 pagi tetapi Gin sudah mandi dan tengah bersiap-siap.
“Mau kemana mas?” tanya Harumi sambil melepas mukenanya. “ Bukannya kamu masih cuti minggu ini?” tanya Harumi lagi.
“Pak Sinto mengajakku main Golf, sekalian ia ingin mengenalkan aku ke salah satu partner bisnis kantor yang baru,” jawab Gin santai sambil tersenyum.
Harumi hanya diam dan menyibukan diri dengan menyisir rambutnya yang panjang. Dari balik cermin terlihat Gin dari belakang yang begitu gagah dengan tubuhnya yang tinggi berotot ramping.
Dulu ia begitu tergila-gila pada punggung suaminya, sejak Gin menyatakan cinta dan menikahinya, setiap hari pria itu memanjakan dirinya bahkan sering menggendongnya jika Harumi sedang kumat manjanya.
Salah satunya adalah kalau Gin minta ijin untuk main golf dengan pak Sinto yang merupakan CEO di tempat ia bekerja.
Harumi biasanya akan langsung meradang dan mengungkit kejadian tak enak saat ia ikut menemani Gin main golf. Ia pernah memergoki seorang caddy tampak genit kepada suaminya walau sebenarnya Gin tak menanggapi dan hanya tersenyum sopan tetapi membuat Harumi cemburu membabi buta.
“Nggak! Pokoknya nggak! Kalau mas Gin pergi juga! Aku akan keluar dari rumah ini! Kita gak usah ketemu lagi!” ucap Harumi meradang jika cemburunya kumat.
Gin segera menghampiri Harumi dan perempuan itu segera bergelayut manja sambil digendong oleh Gin. lalu suaminya itu akan segera berbisik,
“Iya nggak … aku gak akan pergi, tapi aku bingung harus bilang apa sama pak Sinto, sering sekali aku tak mau diajak main golf. Aku sudah kehabisan alasan. Tetapi kamu juga harus membantuku Harumi, aku golf bukan untuk bersenang-senang tetapi untuk networking saja,” bisik Gin membujuk istrinya agar tenang.
“Aku gak mau mas! Aku cemburu! Aku gak suka sama caddy-caddy itu! Mereka pasti lirik-lirik kamu! Suamiku ganteng dan mapan soalnya! Aku gak mau! Gak mau!”
“Baiklah, aku gak pergi … aku gak pergi,” ucap Gin menenangkan Harumi yang tantrum dalam gendongannya.
Harumi tersentak dari lamunannya mengingat masa lalu. Dulu ia begitu posesif dan Gin selalu mengikuti keinginannya walau sering kali ia diejek suami takut istri.
Kini setelah setahun berpisah, Gin tampak tak perlu minta izin lagi pada Harumi.
“Aku pergi dulu ya, tenang saja semua caddy yang kupilih adalah pria,” ucap Gin sambil berbisik ditelinga Harumi yang masih duduk di kursi riasnya.
“Kamu sudah bebas mas, kamu bisa memilih siapapun caddy yang kamu mau … kamu bisa berkencan dengan semua perempuan yang kamu inginkan,” ucap Harumi dingin.
Gin hanya diam dan tetap menatap Harumi dalam lalu beranjak pergi tanpa menoleh kembali membuat Harumi merasa tidak enak karena ia melihat Gin pergi dengan wajah sendu.
“Mas!” panggil Harumi menyusul Gin ke depan pintu. Gin pun berhenti dan tampak terkejut Harumi mengantarnya ke depan.
“Hati-hati ya, kabari aku mau makan siang apa hari ini biar aku bisa minta tolong bu Ipah untuk menyiapkannya,” ucap Harumi cepat.
Gin tampak tersenyum dan mengangguk lalu segera masuk ke dalam mobil dan meninggalkan rumah mereka dan tak lama sebuah pesan masuk ke handphone Harumi berisi list makan siang yang Gin inginkan hari ini.
Harumi tengah melihat list makan siang yang diinginkan Gin ketika Alex pagi itu menghubunginya.
“Mau kemana kamu hari ini?” tanya Alex perhatian ketika mendengar suara Harumi yang riang.
“Pagi ini aku mau kepasar Lex, mau cari bahan makanan untuk makan siang dirumah nanti,” ucap Harumi cepat.
“Mau aku antar kepasar?”
“Loh bukannya kamu harus ngantor?”
“Aku bisa drop in kamu dipasar baru aku menuju kantor, kalau kamu mau aku tungguin juga gak apa-apa,” jawab Alex senang.
“Akh, gak usah, kalau boleh aku di drop dipasar saja, setelah itu kamu langsung berangkat ke kantor ya.”
“Baiklah, tunggu aku diujung jalan 15 menit lagi,” suruh Alex dan Harumi pun segera bergegas merapikan dirinya.
Tak lama Alex pun tiba, dan Harumi sudah menunggunya diujung jalan.
“Sudah lama menungguku?” tanya Alex saat Harumi masuk ke dalam mobil.
“Nggak kok, aku juga baru sampai.”
“Mau masak apa sih?” goda Alex melihat Harumi yang hanya mengenakan celana batik dan kaos lusuh seolah siap berperang untuk menawar dipasar nanti.
“Aku mau beli bahan makanan untuk makan siang nanti, sebenarnya gak susah sih cuma lalapan, ikan asin, ayam, tahu, tempe juga bahan buat bikin sambel. Mas Gin pengen makan siang pake lalapan, ikan asin goreng dan ayam bakar,” jawab Harumi sambil melihat list apa saja yang harus ia beli dipasar nanti.
Alex sempat terhenyak sesaat ketika Harumi menyebut nama Gin tetapi setelah itu ia segera tersenyum pada Harumi yang menatapnya polos. Bagaimana pun Gin masih suami Harumi dan melihat Harumi begitu bersemangat untuk masak membuat Alex sedikit iri karena Gin masih mendapat perhatian Harumi.
Harumi tak pernah menyangkal kalau ia masih memiliki perasaan untuk suaminya, tetapi melihatnya berusaha untuk move on dan hidup baru membuat Alex senang, walau di dalam hati kecil ia masih tak yakin Harumi bisa melupakan Gin dengan cepat. Pria itu seolah telah menjadi separuh dari diri Harumi, kadang Harumi spontan memanggil nama Gin atau teringat Gin saat melihat sesuatu.
Tapi sampai kapanpun Alex akan selalu menunggu Harumi, ia sudah kadung jatuh cinta pada teman SMA nya ini.
Ditempat lain Gin tengah beristirahat setelah bermain golf dengan atasannya ketika handphonenya berdering nyaring. Lagi-lagi dari Bianca. Sudah 3 hari ini Gin menghindari Bianca semampu yang ia bisa tetapi ia sadar cepat atau lambat ia harus berbicara dengan kekasihnya ini.
“Dimana kamu mas?!” tanya Bianca dengan suara lembut, menahan rasa gusar juga rindu dihatinya ketika mendengar suara Gin yang akhirnya mengangkat telepon.
“Aku sedang main golf bersama pak Sinto,” jawab Gin mencari tempat sepi agar perbincangannya tak didengar oleh yang lain.
“Aku ke kantor mu kemarin, tetapi sekretaris mu bilang kamu ambil cuti selama satu minggu ini karena mau ngurus tante Rima, tapi kok kamu malah main golf?!”
“Ada urusan pekerjaan yang tak bisa aku tinggal, aku dan pak Sinto tengah bernegosiasi.”
“Aku ingin bertemu denganmu! Kamu gak bisa menghindari aku terus menerus seperti ini! Aku tahu kamu cuti bukan karena tante Rima, tetapi karena Harumi,kan?! Dia pasti menyanderamu secara tidak langsung?!”
“Bianca! Harumi tak melakukan apapun padaku! Sudah cukup pikiran burukmu terhadap Harumi!”
“Bagaimana aku tak berpikiran buruk mas?! Aku merasa kehilangan kamu sejak Harumi kembali kerumah itu! Kita harus bicara!” ucap Bianca mulai histeris.
“Baiklah! Kita memang harus bertemu, tunggu aku malam ini,” ucap Gin cepat, kepalanya terasa penuh dan sakit mendengar desakan Bianca yang beberapa waktu ini merongrongnya.
Terdengar suara tarikan nafas panjang dari Bianca, ia merasa sangat lega dan tak sabar untuk bisa bertemu kekasihnya.
***
Gin baru saja sampai dirumah ketika ia mencium aroma masakan dari dapur yang begitu menggugah selera. Dengan cepat ia bergegas berjalan menuju ruang makan dan melihat Harumi tengah asik menata meja dan menyiapkan hasil masakannya.
“Aku sengaja bikin sambelnya gak terlalu pedas mas, karena perutmu tak tahan makanan pedas walau mulutmu mampu,” ucap Harumi cepat ketika melihat Gin masuk keruang makan.
“Kamu yang memasak semua ini?” tanya Gin tak percaya melihat Harumi yang bolak -balik sibuk dari dapur ke meja makan.
“Iya dong, selama setahun ini aku belajar masak mas, karena uangku gak cukup kalau aku beli makanan terus, tetapi kamu juga tahu kan kalau aku suka makanan yang enak, jadi aku belajar masak sampai masakanku semua terasa enak. Cobain deh, Alex bilang masakanku semuanya enak dan approved kalau aku mau buka restoran,” ucap Harumi penuh senyum dan bangga dengan dirinya sendiri.
Tak sabar Gin segera duduk dimeja makan dan mulai mengambil nasi beserta lauk pauknya.
“Kamu tak ikut makan siang?” tanya Gin ketika melihat Harumi melepas celemek dan seolah hendak bergegas pergi.
“Nggak, aku mau pergi mas, lagian aku sudah kenyang sambil masak aku sambil mencoba semua lauk pauk ini. Mas Gin makan aja yang banyak sampai kenyang, nanti biar bu ipah yang membereskan.”
“Kamu mau kemana?”
“Potong rambut! Sebelum masak aku sempat baca sebuah quotes bagus di sosial media, ternyata rambut juga bisa menyimpan kenangan. Aku ingin potong rambut agar tampak lebih segar dan ingin melepas semua kenangan masa laluku. Aku benar-benar ingin serius dengan hidup baru.”
Jawaban Harumi begitu menohok Gin membuatnya terdiam dan duduk mematung sesaat. Hati Gin terasa dicabik-cabik saat mendengar Harumi ingin melupakan semua masa lalunya, tandanya ada Gin disana yang ingin Harumi lupakan.
Melihat Harumi tampak semangat dan antusias hanya bisa membuat Gin tersenyum getir pada Harumi.
“Aku pergi ya mas… nanti kita ketemu sore,” jawab Harumi cepat lalu dengan secepat kilat telah menghilang dari pandangan Gin.
Gin hanya bisa menatap piring nasinya dengan tatapan getir dan menyuapnya dengan tangan gemetar. Entah mengapa apapun yang berhubungan dengan keinginan Harumi untuk melupakannya membuatnya sensitif.
Perlahan Gin mengatur nafasnya agar lebih tenang. Airmatanya tak terasa menetes ketika ia merasakan masakan Harumi yang begitu enak. Dengan lahap Gin menghabiskan makanannya, ia merasa bahagia karena Harumi memasak sendiri untuknya dan mencoba menikmati waktunya yang tersisa sebelum Harumi benar-benar pergi.
Hari mulai senja ketika Harumi kembali dari salon dan disambut oleh Gin. Pria itu tampak terkejut sekaligus terpukau dengan kecantikan Harumi dengan tatanan rambut barunya. Istrinya itu terlihat lebih segar dan cerah.
“Cantik sekali,” puji Gin sambil tersenyum takjub.
Betapa inginnya ia menghampiri dan segera memeluk dan menciumi Harumi, tapi tak bisa, Gin berusaha menahan dirinya agar Harumi tetap merasa nyaman di dekatnya.
Harumi hanya tersenyum malu dan pandangannya tiba-tiba berubah ketika melihat Gin terlihat rapi.
“Mau kemana mas?” tanya Harumi cepat.
“Aku mau bertemu bianca, hari ini aku ingin memutuskan…”
“Oh, oke!”
“Harumi! Hari ini aku akan…”
“Stop! Tenang aja mas, kamu tak perlu menceritakan tujuanmu bertemu Bianca. Tenang saja, toh kali ini hidup kita masing -masing bukan? Aku pun melakukan hal yang sama dengan bertemu Alex. Have fun ya…” ucap Harumi cepat dan segera berjalan meninggalkan Gin.
“Harumi, tunggu … aku…” ucapan Gin terhenti ketika melihat Harumi berjalan tak peduli meninggalkan dirinya menuju kamar.
Gin hanya bisa berdiri mematung, sedikit menelan ludah karena merasa sedih melihat Harumi benar-benar sudah tak peduli padanya. Gin tak tahu, di dalam kamar Harumi berjalan gelisah kesana-kemari sesaat sebelum akhirnya ia terduduk lemas. Sampai detik ini, ternyata ia tak bisa ikhlas akan hubungan Gin dan Bianca.
Bersambung.