Bab 19. Kegelisahan Harumi

1235 Words
Harumi terbangun dari tidurnya ketika ia mendengar azan subuh berkumandang. Betapa kagetnya Harumi ketika ia menyadari bahwa tak ada Gin disisinya. Hatinya terasa tak enak dan tiba-tiba saja merasa kesal dan ingin menangis ketika teringat tadi malam ia tak bisa tidur nyenyak karena memikirkan sedang apa suaminya bersama Bianca. Dan kini ia terbangun dan menyadari bahwa Gin tak pulang tadi malam. Harumi menangis diatas sajadah karena perasaannya tak menentu, ia mencoba memantapkan hati dan dirinya untuk benar-benar berpisah dengan Gin. Selesai sholat Harumi segera mencari bu Ipah untuk menanyakan dimana suaminya. “Tadi malam mas Gin pulang kok mbak, dia malah cuma pergi sebentar saja. Hanya saja mas Gin tidur dikamar bawah karena katanya mbak Harumi sudah tidur jadi dia gak mau ganggu,” ucap Bu Ipah menjelaskan. “Trus sekarang kemana?” tanya Harumi sambil merengut karena belum bisa melepaskan rasa kesal walau hatinya merasa lega karena Gin ternyata pulang bahkan hanya pergi sebentar saja. “Habis subuh tadi mas Gin langsung pergi, katanya dia mau nge gym dulu baru berangkat kerja.” “Loh, bukannya mas Gin masih cuti?!” “Tadi bawa tas olahraganya sama laptop sih mbak, kayanya sih beneran pergi kerja,” jawab Bu Ipah lagi. Harumi hanya bisa menghentakan kakinya kesal. Walau ia merasa lega bahwa Gin kembali pulang tetapi hatinya penasaran mengapa sikap Gin berbeda. Biasanya ia akan berpamitan apapun keadaannya, kini suaminya itu malah langsung pergi tanpa pamit. Hati Harumi gelisah seharian, karena Gin pun tak mengirimkan kabar sedikitpun untuk Harumi. Dan tentu saja saat ini ia tak bisa menceritakan kegelisahan hatinya pada Franka atau Alex. Mereka pasti akan berpikir Harumi menarik ucapannya sendiri dan masih ingin bersama dengan Gin. Akhirnya Harumi memutuskan untuk berangkat sendiri dengan menggunakan kendaraan umum menuju rumah sakit. Bertemu dengan Rima adalah salah satu penyejuk hatinya yang sedang gelisah. “Akh, tadi pagi Gin kesini kok jenguk mami, tapi gak lama sih, dia sepertinya baru pulang nge gym karena numpang mandi dikamar mandi sini,” ucap sang ibu ketika Harumi menceritakan sikap Gin yang tak biasanya. “Mas Gin kenapa ya, Mi? Kok sikapnya aneh banget?” tanya Harumi penasaran. “Kamu masih nanya kenapa sikap dia seperti itu? Mungkin dia lagi butuh waktu untuk berpikir sendiri, atau mungkin ia sudah angkat tangan untuk menghadapimu,” ejek Rima ketika melihat Harumi merasa penasaran. “Ih, baru juga seminggu tinggal bersama, belum apa-apa udah nyerah! Payah!” “Memangnya kamu mau balikan lagi sama Gin?” “Gak!” “Ya sudah, jangan dipikirin dia ngapain. Sudah bukan urusanmu lagi, lebih baik kamu sibuk mencari kebahagiaanmu sendiri.” Entah mengapa jawaban Rima begitu menohok perasaan Harumi. Mendengar ucapan Rima bahwa Gin bukan urusannya lagi membuatnya lemas, lalu siapa yang akan mengurus Gin? Bianca? Membayangkan hal itu membuat kepala Harumi merasa panas. Perempuan itu segera berdiri dan berpamitan pada sang ibu. “Mau kemana? Bukannya kamu baru datang?” “Harumi lagi banyak pikiran mi, sepertinya gak cuma mas Gin yang butuh sendirian, aku juga! Rasanya Harumi mau berendam didalam air es biar pikiran ini tenang,” gumam Harumi dengan wajah merengut. Rima hanya bisa menahan senyumnya, ia sudah sangat hafal jika mengingat anaknya tengah cemburu dan gelisah. Harumi memutuskan untuk kembali ke rumah kontrakannya. Hanya tempat itu ia bisa menjadi orang gila untuk mengeluarkan semua isi hatinya. Baru saja sampai ia sudah mengucap sumpah serapah untuk Gin dan Bianca. Berbicara sendiri dengan bahasa apapun yang ia mau bisa membantunya untuk menjadi lebih tenang. Harumi memutuskan bahwa hari ini ia tak akan pulang. Ia ingin menenangkan hati dan pikirannya dan membalas sikap Gin yang pergi tanpa kabar. Harumi ingin Gin semakin merasa bersalah karena ia pergi dari rumah. Tetapi tanpa sadar Harumi selalu melirik ke arah jam di dinding dan handphonenya. Ia seolah menanti waktu kerja Gin usai dan berharap Gin menghubunginya atau mengirimkannya sebuah pesan. Rasa gelisah itu semakin menggila, akhirnya Harumi kesal sendiri, setelah satu tahun berjuang untuk bisa mengendalikan perasaannya kini ia kembali menggila. Harumi menatap handphonenya dan menatap satu nama yang pasti bisa mengetahui keberadaan Gin. Sasa. Sasa adalah sekretaris untuk Gin dikantor. Sasa sudah lama menjadi mata-mata untuk Harumi untuk mengamati tingkah laku Gin saat dikantor. Dari Sasa juga Harumi mengetahui bahwa Gin tampaknya berselingkuh dengan Bianca. Perlahan Harumi menekan nomor handphone Sasa dan tak lama kemudian ia mendengar suara Sasa yang centil. “Bu Harumiii, ya ampun kemana ajaa ibuu,” sapa Sasa dengan gaya bicaranya yang khas. “Hmmm, apa kabar kamu Sa?” tanya Harumi ragu. “Udah, gak usah nanyain kabar Sasa. Ibu pasti mau nanya bapak dimana kan? Ada tuh di ruangannya. Kata bapak, bu Rima sudah lebih baik ya? Alhamdulillah, semoga bu Rima segera pulang ya…” “Perempuan binal itu dateng gak hari ini?” “Si Binal penikam dari belakang juga penghianat persahabatan aka bu Bianca? Nggak bu! Hmm, beberapa hari yang lalu sih dia datang menanyakan bapak, tapi bapak sedang ambil cuti ya udah saya bilang kalau bapak lagi cuti nemenin bu Rima.” Ada denyut sakit di d**a Harumi, tetapi rasa penasarannya jauh lebih besar daripada rasa sakitnya. “Dia sering datang?” “Sering bu, sampai seminggu yang lalu sebelum bapak ambil cuti, bapak minta kalau bu Bianca datang bilang saja dia tidak ada. Gak tahu kenapa.” “Apa mereka masih sering bertemu dan makan bersama?” “Biasanya makan siang bu, bapak kaya harus absen ketemu bu Bianca kalau nggak Bu Bianca kaya neleponin terus gak berenti-berenti. Ibu sih, malah dibiarin aja … coba dari dulu ibu datang lagi ke kantor sesekali mergokin. Kasian bapak bu, kaya gak dikasih celah sama si Binal. Di ikutin terus.” Harumi hanya diam tampak berpikir dan mencoba mencerna cerita Sasa. Ia tak ingin kembali seperti dulu, terjebak dalam emosi semata. “Bapak hari ini makan siang diluar? Sama si Binal gak?” tanya Harumi masih penasaran. “Nggak, bapak hari ini seharian di ruangan, bahkan bawa makan siang dari rumah. Bapak kayanya lagi gak mau diganggu soalnya gak mau menemui siapapun dan kalau ada yang nanya disuruh bilang masih cuti,” jawab Sasa lagi. Harumi termenung. Makan siang dari rumah? Sedangkan sejak pagi Gin sudah pergi. Bahkan tadi malam Harumi tak menyuruh bu Ipah menyiapkan makan malam karena Gin tak berada dirumah, makanan yang tersisa cuma makanan siang yang ia buat dan ia suruh buang. “Ya sudah kalau gitu, gak usah bilang kalau aku nelfon ya,” pesan Harumi sebelum berpamitan pada Sasa. Selesai berkomunikasi dengan Sasa, Harumi segera menghubungi bu Ipah. “Bu, emang mas Gin bawa bekal dari rumah?” tanya Harumi cepat. “Bekal? Gak ada tuh mbak, eh sebentar,” ucap Bu Ipah. Lalu terdengar suara hening sesaat. “Tadi malam, sisa makanan tadi siang gak boleh dibuang sama mas Gin. Dia suruh ibu simpan di kulkas, tadi pas ibu cek gak ada semua mbak, mungkin dibawa mas Gin.” Harumi merasa lemas sesaat, hatinya sedih sekaligus terharu juga kesal. Hal yang seperti ini yang selalu membuatnya tak bisa lepas dari Gin. Kali ini ia merasa menyesal karena terlalu penasaran dan mencari tahu. Seharusnya ia tak peduli jika Gin menyukai masakannya dan makan makanan sisa, tetapi membayangkan Gin membawa makanan dingin sisa kemarin membuat hatinya sedih. Harumi menghentikan komunikasinya dengan bu Ipah, ia hanya bisa kembali berbaring diatas kasur kerasnya. Matanya ingin menangis tapi tak bisa, yang bisa ia lakukan hanyalah mengatur nafasnya untuk menenangkan pikiran, berdoa dan mencoba mengurai perasaannya dalam sepi. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD