Bab 12. Jika Mami tidak ada nanti

1511 Words
Bianca segera melambaikan tangannya ketika melihat Gin yang baru saja memasuki restoran dimana mereka janji untuk bertemu. Mereka berpelukan sesaat sebelum Gin mengecup pipi Bianca cepat. “Kamu mau makan apa mas? Biar aku pesankan,” ucap Bianca mencoba melayani Gin. Ia sangat tahu bahwa pria ini senang sekali dilayani dan dimanjakan. Jika diperlakukan seperti itu Gin bisa melakukan hal yang sama berkali-kali lipat. Hal ini yang membuat Bianca selalu senang berada di dekat Gin. “Aku tak bisa lama sehingga aku hanya akan memesan kopi saja,” jawab Gin cepat. Menghabiskan waktu makan siang bersama Bianca seolah menjadi kewajiban yang harus Gin lakukan. Apalagi kantor Bianca yang satu area perkantoran dengan Gin, membuat mereka semakin mudah untuk bertemu. “Apa mas Gin ada meeting di luar?” tanya Bianca sambil memesankan kopi untuk Gin. Gin segera menggelengkan kepalanya, “Banyak hal yang harus aku selesaikan di kantor, sedangkan hari ini aku harus pulang lebih cepat dibandingkan biasanya,” jawab Gin sambil merenggangkan tubuhnya sesaat. “Ada apa?” “Harumi sakit, dan hari ini juga kami berjanji untuk menemui Mami. 3 hari lagi Mami akan pulang ke rumah, sehingga aku dan Harumi harus bersiap untuk mengetahui segala hal dalam merawat Mami,” jawab Gin cepat tanpa merasa bersalah. Ia tak menyadari ada raut wajah yang berbeda dari wajah Bianca saat Gin menyebut nama Harumi. “Sepertinya kalian sudah berbaikan,” gumam Bianca mencoba tenang dan mengaduk minuman panasnya dalam cangkir. “Hanya sampai Mami sembuh. Ini hari ketiga Harumi tinggal dirumah, tadi pagi kami sepakat bahwa kami berusaha untuk tidak bertengkar dan fokus dalam perawatan Mami. Kamu tahu sendiri kan, kalau mami Rima sudah berada di stadium akhir, semuanya jadi lebih sensitif sehingga kami benar-benar harus memperhatikannya.” Mendengar ucapan Gin yang menggunakan kata Kami, membuat perasaan Bianca cemburu. Setelah satu tahun ia berjuang untuk membuat adaptasi baru pada Gin agar tak tergantung pada Harumi, kini hal itu bisa kembali rusak dan terganggu dengan kembalinya Harumi. Melihat raut wajah Bianca yang tampak kaku, Gin menyadari bahwa perempuan di hadapannya itu cemburu. “Maafkan aku Bianca, tetapi saat ini aku dan Harumi harus tetap bersama dulu, demi mami…” “Aku tahu! Tapi mas Gin tak perlu mengulanginya berkali-kali untuk kalimat ‘demi mami’. Aku tahu mas ! Aku tahu!” “Tenanglah, tak terjadi apa-apa antara aku dan Harumi…” “Bagaimana aku bisa tenang?! Dalam 3 hari saja ia sudah bisa menyita waktu mas Gin agar terus bersamanya! Aku bagaimana mas?! Aku juga ingin menghabiskan waktu bersamamu. Mas, aku benar-benar takut jika Harumi akan kembali mempengaruhi kamu sehingga kamu akan kembali dalam genggamannya!” “Aku tak ada pilihan Bianca, kesehatan mami lebih penting daripada perasaan kami. Lagi pula sepertinya Harumi sudah punya kekasih, tadi pagi pria itu datang untuk menjemputnya. Tetapi hari ini Harumi sedang sakit sehingga ia tak dapat bekerja,” jawab Gin berusaha untuk memberikan penjelasan pada Bianca. “Harumi sakit?! Bukankah itu tampak familiar, bukan?! Apa mas Gin tak ingat dimana Harumi yang selalu jatuh sakit ketika ia sedang cemburu dan hendak mengikat waktumu untuk selalu bersamanya,” gerutu Bianca mengingat kelakukan mantan sahabatnya itu. “Tanya Franka, ia selalu bercerita pada kami tentang drama, acting dan tingkah laku apa saja yang akan membuatmu tersiksa memilih antara pekerjaan atau kembali kerumah untuk melayani Harumi! Dia itu palsu mas!” “Sudahlah, Bianca!” “Bagaimana aku bisa menyudahinya, karena itu benar-benar nyata dan aku saksi hidup bersama Franka dengan cerita-cerita Harumi untuk menarik perhatianmu! Ia bisa melakukan apapun dengan segala cara untuk bisa membuatmu kembali terikat mas, aku takut… aku takut kehilangan kamu,” rengek Bianca sambil memeluk sebelah lengan Gin. “Bagaimanapun ia istriku! Aku masih terikat padanya seperti Harumi terikat padaku! Aku masih harus melakukan kewajibanku kepadanya, Bianca!” Jawaban gusar Gin membuat Bianca terdiam. Gin tak pernah sekalipun berkata dengan kasar, gusar atau dengan nada tinggi padanya. Melihatnya gusar menandakan bahwa Gin sudah marah. “Maafkan aku, aku bersikap begini karena aku tak ingin kehilangan kamu mas. Hubungan kita sudah terlalu dalam, aku sudah terlalu jatuh cinta padamu,” ucap Bianca perlahan. Ia sengaja berkata begitu agar Gin juga merasa bertanggung jawab atas hubungan mereka berdua. Tapi Gin hanya diam. Baru 3 hari tinggal kembali bersama Harumi entah mengapa perasaannya menjadi kacau. Tak ada rasa marah lagi pada sang istri, kali ini ia bahkan tak sabar untuk segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali kerumah. “Maafkan aku juga sayang,” ucap Gin hanya bisa meminta maaf pada Bianca karena membuatnya merasa cemburu atas kembalinya Harumi. “Bagaimana jika besok kita menghabiskan waktu bersama? Selama weekend ini?” pinta Bianca sambil memeluk lengan Gin. “Maafkan aku gak bisa, besok Sabtu malam, pak Sinto menikahkan anaknya, aku harus datang ke resepsi pernikahan itu,” ucap Gin sambil menghela nafas panjang. “Baiklah, bagaimana jika aku temani?” ucap Bianca menawarkan diri. “Aku tak mungkin membawamu, jika aku datang membawa pasangan, orang itu harus Harumi. Ia mengenal Harumi sejak lama.” “Mas, kamu selalu begitu! Mulai kapan kamu bisa mengenalkan aku ke duniamu! Aku selalu mengajakmu untuk dikenalkan pada teman-temanku, tetapi kamu tak pernah mau mengenalkan aku pada teman-temanmu! Aku ini kekasihmu mas!” “Aku tahu, tapi aku juga pria beristri Bianca. Aku belum bisa membawamu ke dalam lingkunganku karena mereka semua tahu bukan kamu pasanganku, tapi Harumi. Aku sudah pernah bilang hal ini padamu, selama aku masih terikat pada Harumi hubungan kita hanya sebatas kencan seperti ini.” “Aku ingin lebih!” “Bianca!” “Kamu yang mendekati aku terlebih dahulu mas! Kamu mendekatiku dengan alasan untuk mengetahui cara menghadapi Harumi! Aku menerimamu dengan tangan terbuka dan mencoba mendekatkan dirimu kembali dengan Harumi, tetapi kita malah jatuh cinta satu sama lain. Kamu tak bisa mempermainkan perasaanku seperti ini!” “Sudah! Stop! Jangan bicara yang aneh-aneh! Apa kamu tidak lihat?! Karena aku bersalah akan hubungan kita, aku memilihmu ketika Harumi tahu tentang kita! Tak cukupkan itu untukmu?!” Bianca hanya bisa memalingkan wajahnya agar Gin tak melihat genangan air mata yang akan tumpah. Sedangkan Gin merasa perasaannya menjadi kacau karena percakapannya dengan Bianca. Ada perasaan bersalah dihatinya pada Harumi, karena ia tahu bahwa saat itu Harumi lah yang paling tersakiti. “Sudah ya, lebih baik kita tak perlu bertengkar akan hal ini. Kita berdua sama-sama bersalah, tak bisa dipungkiri. Bisakah saat ini kamu bersikap lebih tenang?” Bianca hanya diam, sedangkan Gin segera menghabiskan kopi dicangkirnya lalu kembali mengecup kening Bianca sebelum ia beranjak pergi kembali ke kantor. *** Harumi memasuki ruangan tempat sang ibu dirawat. Ia sengaja tak menunggu Gin kembali untuk pergi bersama-sama kerumah sakit. Sering bertemu Gin hanya membuat perasaannya tak karuan sedangkan hampir setahun ini ia mencoba menyembuhkan luka hatinya. Lagi pula hari ini ia tak bekerja lebih baik ia segera kerumah sakit tanpa memberitahu Gin dan menemani sang ibu. “Mamiii,” panggil Harumi saat melihat sang ibu yang tengah berbaring di ranjangnya. Melihat Harumi datang, Rima mencoba untuk bangkit tetapi ia tak memiliki banyak tenaga saat itu. Ia hanya memanggil Harumi dengan melambaikan tangannya. Dengan cepat Harumi segera naik keatas ranjang dan ikut tidur bersama sang ibu. “Ayo cepat sehat mi, katanya mami mau pulang bareng Harumi,” bisik Harumi pada sang ibu. “Iya, mami pengennya juga gitu … kamu sudah persiapkan dirimu kalau mami sudah tidak ada, belum?” tanya Rima perlahan. “Mami kok bicaranya gitu? Aku yakin mami masih punya banyak waktu untuk bersamaku dan mas Dino.” “Kamu harus belajar untuk bisa ikhlas Harumi, semua manusia punya waktunya sendiri, termasuk mami. Mami sudah ikhlas dengan diri mami sendiri, tapi yang mami pikirin cuma kamu. Gimana keadaanmu saat mami pergi nanti.” “Mami gak usah khawatir, Harumi sekarang kan udah punya pekerjaan, walau rumah kontrakan Harumi kecil tapi nyaman kok mi. Harumi juga sekarang sadar, ternyata kita gak perlu banyak membeli makanan. Toh yang dimakan hanya segitu-segitu aja. Hidup Harumi sudah lebih teratur sekarang… mi… mami…” Harumi memanggil sang ibu yang tiba -tiba tak terdengar suaranya padahal baru beberapa detik yang lalu mereka masih berbincang. “Mami!” panggil Harumi ketika melihat sang ibu tak bergerak. “Mami!” jerit Harumi keras dan panik, ia segera turun dari ranjang dan berlari keluar ruangan memanggil perawat. “Tolong mami! Tolonggg!” ucapnya sambil menangis saat bertemu dengan salah satu perawat. Harumi berdiri mematung ketika dalam hitungan detik, ia melihat banyak sekali dokter dan perawat masuk ke dalam kamar dimana Rima dirawat. Tangannya terlihat gemetar dan segera menghubungi seseorang di dari Handphonenya. Gin tengah asik mengerjakan pekerjaannya ketika handphonenya berdering dan itu berasal dari Harumi. Ada senyum yang tersungging tanpa ia sadari dan segera mengangkat handphonenya. “Halo.” “Lex! Mami… mami…” “Harumi, ada apa?!” “Mami lex… mami… mami …” “Ini aku Gin, Harumi! Ada apa dengan mami?!” Gin hanya bisa menatap handphonenya ketika Harumi tiba-tiba mematikan handphonenya. Ia segera bergegas menyambar kunci mobilnya dan setengah berlari menuju lift sambil kembali menghubungi Harumi. “Tunggu aku disitu!” ucap Gin saat Harumi kembali mengangkat handphonenya tanpa berkata apa-apa. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD