"Selamat pagi Claudia."
Claudia yang tengah piket menyapu kelas pun menolehkan kepalanya dan melihat ada seseorang yang sudah tersenyum lebar ke arahnya. Melihat itu tentu tidak bisa untuk Claudia tak ikut tersenyum juga meski hanya sebentar lalu kembali ke wajah juteknya.
"Paan sih, Sky! Ngapain lo pagi-pagi ganggu gue?" tanya Claudia tidak ramah.
"Emang salah kalau mau gangguin calon pacar?"
"Calon pacar gundulmu! Gue bukan calon pacar lo!" sentak Claudia.
Jangan panggil Sky kalau tidak bisa meluluhkan hati perempuan. Setelah ini, lihat saja, Sky pasti bisa kok mendapatkan Claudia. Semua cewek itu sama di mata Sky, mereka akan luluh dengan gombalan dan rayuan recehnya.
"Claudia bosen nggak sih kayak gini terus?" tanya Sky.
"Bosen? Kayak gini gimana?"
"Ya kayak gini, apa Claudia nggak bosen cantik terus? Gue aja bosen lihat Claudia cantik terus, besok-besok jelek aja nggak pa-pa, itung-itung ngurangin saingan gue haha," goda Sky.
Harusnya Claudia sudah menduga hal ini. Bukannya baper, Claudia malah menatap Sky aneh. "Terserah lo deh, Sky," katanya.
"Bersih banget sih kalau nyapu? Pasti nggak mau kalau gue sampai berewokan ya? Padahal punya berewok tuh macho tau." Terus saja Sky membeo meski Claudia hanya memberi respon jutek kepadanya.
"Clau—"
"Sky, kalau lo nggak bisa diem gue geplak pakai sapu mau?" ancam gadis dengan cardigar ungu tua itu.
Melihat sapu yang telah diangkat tinggi-tinggi, seketika Sky pun mengatupkan mulutnya dengan rapat. "Iya nggak ngoceh lagi."
"Bagus!"
Melihat Claudia yang akan pergi, buru-buru Sky menahan pergelangan tangannya. "Mau ke mana?" tanya Sky.
Saat kedua tangan itu menyatu, banyak mata dan bisik-bisik yang langsung ditujukan untuk keduanya. Claudia yang risih akan semua itu segera menyentak tangan Sky hingga terlepas.
"Jangan pegang-pegang gue!" bentak Claudia.
"Kenapa?"
"Masih tanya kenapa lagi, lo nggak lihat fans lo tadi natap gue kayak apa? Awas aja ya kalau gue jadi banyak haters gara-gara lo!"
Sky malah terkekeh dengan suara yang renyah. "Kalau lo terus mikirin orang lain, kapan lo bisa jadi diri lo sendiri hm? Emang sih pendapat orang itu penting didengar, tapi kalau kelebihan juga nggak baik. Jadi Claudia cantik, hidup ini hidup kita, kita yang jalani, mau orang nyinyir ya nggak usah dipedulikan sayang ... paham cantik?"
Sebenarnya Claudia agak kaget saat mendengar Sky berbicara dengan bijak seperti itu. Tapi saat kata-kata terakhirnya malah menyebutkan panggilan yang menggelikan, Claudia jadi hilang kagum.
"Paan sih, udah sana lo. Ngapain sih masih ada di sini, kelas lo kan jauh di ujung sana. Udah sanaaa Sky!" Claudia sampai harus mendorong-dorong badan cowok itu, tapi sedikit pun Sky tidak mau beranjak. Pokoknya Sky harus bisa mendapatkan hati Claudia, bagaimana pun caranya. Masalahnya hanya Claudia yang menolaknya sekeras ini dan Sky menganggap kalau Claudia itu sepesial.
"Sky! Sumpah ya lo bener-bener ngeselin banget sih?!"
"Emangnya lo nggak suka ya sama gue, Clau?" bahas apa jawab apa. Namun, tatapan Sky kali ini agaknya mampu membuat Claudia sedikit terhenyak. Hingga sebuah deheman keras berhasil menarik perhatian keduanya.
"Aduh-aduh, buaya cap cupang ngapain ada di sini? Pakai acara ngapelin temen gue lagi, mau jadiin Clau korban selanjutnya ya? Sorry, tidak semudah itu Sky!"
Itu adalah suara Rena. Gadis itu kini sudah merangkul Claudia dari samping sudah seperti adiknya sendiri.
Sky merengut kesal menatap Rena tidak suka. "Bisa nggak usah ikut campur?"
"Dih sok galak. Eh Sky, emangnya nggak cukup ya cewek-cewek lo yang udah bejibun itu sampai lo harus deketin Claudia juga?" kata Rena.
"Gue sama mereka cuma main-main," jawab Sky.
"Oh ya? Terus sama Claudia apa? Cuma main-main juga?"
Melihat suasana yang seperti memanas, Claudia lalu memilih untuk sedikit mejauhkan Rena dari Sky. Rena ini memang agak sensian anaknya udah kayak macan betina habis melahirkan. Sementara itu Sky juga tidak mau ngalah, dan kalau keduanya dibiarkan bisa runyam nanti yang ada.
"Ren, udah ah lagian Sky cuma mau ngobrol kok," kata Claudia kepada Rena.
"Lo juga, jangan mau-mauan dikadalin sama dia. Hampir semua cewek di sekolah ini udah jadi korbannya, pacaran sehari terus besoknya diputusin, dasar laki-laki buaya!"
"Nyenyenye." Sky membalas Rena dengan meledek dan berhasil membuat Rena geram.
"Lihat Clau! Dia tuh ehhh!!!"
"Apa?" Sky mengangkat dagunya menatap sekaligus meremehkan Rena. Kata Bunda, kalau ada yang marah tuh jangan dibalas pakai amarah, cari cara lain, dan ini adalah cara yang Sky pilih. Meledek, ya setidaknya bisa membuat lawan kesal lalu capek sendiri dan mundur. Pintar kan Sky?
"Ren udah yuk masuk yuk, dan buat lo Sky, udah sana balik kehabitat lo!"
Sky masih bergeming.
"Sky!" tegur Claudia setelah memutar kedua bola matanya malas.
"08 berapa dulu?"
"Ha?" Jujur Claudia bingung. "08 apanya?"
Kemudian Sky mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana abu-abu yang dia kenakan. Sky membuka menu dial panggilan lalu mengulurkannya kepada Claudia.
"Minta nomor lo," kata Sky.
"Nomor apaan sih Sky?"
Astaga! Sky menghela napasnya kasar. "Nomor togel! Puas? Ya nomor HP lah Claudia sayangku cantikku, duh lama-lama gue culik juga lo ke pelaminan. Gemes amat pengen nyekek!"
Agaknya Sky cukup lelah menghadapi Claudia.
"Ayo!" pinta Sky lagi.
Rena muak melihatnya, dia lantas berjalan pergi. Sky mengikuti kepergian Rena dengan pandangannya.
"Dari tadi kek," gumamnya.
Kembali kepada Claudia yang masih diam. "Jadi? Nggak mau kasih nih?"
Gadis itu menggeleng. "Nggak."
Tidak berniat untuk memaksa, Sky kembali menarik ponselnya. Dia juga memangguk seraya tersenyum lebar.
"Nggak pa-pa, besok atau enggak nanti gue akan coba lagi, daahhh cantik!"
Begitu ajaib, Sky langsung pergi setelahnya dengan tampang datar seperti telah tidak melakukan apapun. Claudia sampai cengo dibuatnya. Masih diam di tempat, Claudia terus melihat kepergian Sky, bagaimana cowok itu dengan sangat ramah membalas sapaan cewek lain, bagaimana dia tos dengan cewek lain, bahkan sampai pelukan dengan cewek lain.
Sky sehat kan?
Ah tidak-tidak, pertanyaan itu harusnya ditujukan kepada Claudia.
"Lo sehat kan, Clau?" bisik Claudia kepada dirinya sendiri.
Agaknya Claudia yang sakit, semua yang baru saja terjadi harusnya bukan hal tabu lagi. Itu adalah kebiasaan Sky, tebar-tebar pesona dan berusaha menggaet hati para cewek di sekolah.
"Kayaknya gue emang harus bener-bener jaga jarak sama dia. Amit-amit deh kalau sampai dia mau jadiin gue korban selanjutnya. Bakalan gue tolak!"
****
"Bener! Pokoknya jangan mau, Clau!" Rena heboh sendiri di tempatnya.
Siang-siang saat jam istirahat, ketiga gadis itu memilih untuk makan di dalam kelas saja, bukannya apa, masalahnya kantin hari ini sangat penuh hingga tak ada meja tersisa untuk mereka.
"Modelam kayak Sky itu, mulut doang bilang manis, udah kayak permen karet! Sehari dua hari pasti dia bosen, pasti ditinggal. Udah pasti itumah kayak hukum alam," imbuh Rena lagi.
"Lagian gue juga nggak ada minat sama Sky," kata Claudia.
"Kadang tuh ya, gue juga heren sama cewek-cewek di sini, mau-mauan aja gitu loh dipacarin sama Sky yang jelas-jelas bakalan buat mainan nantinya," ujar Rena.
"Tukeran posisi yuk Clau, kalau gue jadi lo sih udah sujud syukur, kapan lagi kan bisa dekat sama Sky? Ya meski cuma sehari dua hari nggak pa-pa lah. Seenggaknya wajah Sky bisa buat pamer sekalian pansos di media sosial."
Rena menatap Salsa datar. "Temen kayak gini nih yang begonya kuadrat. Mau gue ruqyah?"
"Sal, gue tuh heran. Orang itu sedih kalau cuma buat mainan lah elo? Udah tau bakalan digituin juga masih mau?" tanya Claudia tidak habis pikir dengan Salsa.
Sedikit Informasi, Salsa ini termasuk fans Sky garis keras. Entah apa yang membuat Salsa sangat begitu mengidolakan Sky. Bahkan setiap hari Salsa rela duduk depan kelas pagi-pagi hanya untuk menunggu Sky lewat lalu menyapanya yang dibalas Sky dengan senyuman hangat ala laki-laki buaya.
"Eh, gitu-gitu Sky itu idaman tau, melupakan sifat buayanya. Sky itu manis, periang, good vibes banget lah! Kalau lihat senyumannya tuh, rasanya bweh! Masalah langsung hilang Clau, Ren!" ujar Salsa agak hiperbola sambil menerawang ke depan membayangkan betapa indahnya senyum milik Sky.
Rena geleng-geleng kepala tak mengerti lagi. "Terserah lo deh," balasnya sambil menyesap minuman yang ada di depannya.
Claudia pun mengangguki ucapan Rena. "Iya terserah lo aja Sal, kalau mau sana gantiin posisi gue, demi Allah ridho gue, Sal."
****
Sementara itu, di dalam toilet sekolah, khususnya toilet cowok. Kini Sky tengah diam di dalam salah satu biliknya, sudah beberapa menit yang lalu Sky ada di sana. Cowok itu merasakan kesakitan terutama pada bagian kepalanya. Cengkeraman tangannya pun semakin kuat bagian sisi toilet. Ringisan terus keluar bahkan kini Sky sudah hampir menangis.
"Bunda ... Sky sakit, Bun," lirih cowok yang sudah semakin lemas itu.
Napas Sky mulai tersenggal, wajahnya bahkan sudah sangat pucat, rasanya sakit sekali. Sky sering mengalami sakit seperti ini, tapi biasanya masih bisa ditahan dan kali ini, Sky benar-benar tidak kuat.
Air mata turun mengalir di kedua pipi Sky, entah apa yang salah dengan hari ini. Pastinya Sky sudah melakukan semua yang memang harus dia lakukan. Seperti minum obat dan beberapa hari lalu Sky juga telah melakukan kemoterapi yang rutin sesuai jadwal, lalu sekarang?
"Bunda ... hiks!"
Sky ingin teriak meminta tolong, tapi Sky tidak mau membuat banyak orang sedih dan khawatir kepadanya. Sky tidak mau mengubah pandangan orang terhadapnya. Sky sudah nyaman dengan dirinya yang sekarang, dikelilingi oleh orang yang tulus sayang. Sky tidak tau mereka semua jadi mendekati Sky hanya karena kasihan nantinya. Sama sekali tidak mau!
"Bunda ...."
Hanya sebutan itu yang daritadi Sky gumamkan. Hingga perlahan-lahan ada sebuah darah yang mengalir dari kedua lubang hidung cowok itu, bersamaan pula cengkeraman tangan Sky melemah. Lalu tak lama cengkeramannya terlepas dan Sky kehilangan kesadarannya.
****
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu. Sekolah juga telah hampir kehilangan banyak muridnya, tapi hingga sekarang Langit sama sekali tidak melihat batang hidung Sky. Pergi ke mana kembarannya satu itu.
Di parkiran yang biasanya didominasi oleh motor-motor sport pun hanya tersisa milik Sky saja. Kalau tidak karena Bunda, males banget Langit menunggu cowok itu.
"Nggak aktif lagi nomornya. Lo ke mana sih, Sky?"
Berkali-kali Langit berusaha menghubungi. Namun, terus saja hanya suara operator yang menjawabnya. Awas saja Sky, akan Langit tendang bokongnya setelah ini.
Kesal dengan Sky, kini Langit memilih untuk menunggu di dalam mobil saja. Cowok itu masuk lalu menyandarkan punggungnya di sana. Helaan napas kasar keluar dari mulutnya, entah kenapa hari ini rasanya Langit begitu lelah, padahal tidak melakukan apa-apa.
Ketika Langit baru ingin memejamkan matanya, tiba-tiba saja pintu samping mobilnya terbuka. Sontak kedua bola mata Langit melebar. Hampir saja dia menonjok orang itu kalau dia tidak nyengir sekarang.
"Kalem Bang, kalem," ujar Sky masih sambil cengengesan.
Tangan Sky perlahan menghalau kepalan tangan Langit yang sudah terangkat.
Langit membuang napas kasar sekali lagi. "Dari mana lo baru keluar?" tanya Langit dengan dingin.
Harus jawab apa Sky sekarang? Sakit lalu pingsan di toilet? Tidak mungkin, jujur saja selama bertahun-tahun Sky sama sekali tidak pernah bercerita tentang apa yang dia alami kepada Langit. Sky memang membagi semuanya kepada Langit, tapi cerita tentang penyakit, sedikit pun Sky tak pernah punya niat untuk membagi.
"Sky?" tegur Langit membuat Sky yang tengah bengong hanya memasang muka cengo.
"Apa tadi apa?"
"Ck, nggak ada! Udah sana keluar dan buruan pulang!"
Sky memonyongkan bibirnya. Tega sekali Abangnya ini mengusirnya?
"Nebeng ya Bang?" pinta Sky.
Diliriknya cowok itu dari ujung mata. "Nggak!" tolak Langit dengan begitu sangat tega.
"Bang ...."
"Enggak!"
Sky berdecak sebal, terus bagaimana Sky harus pulang? Naik motor bukan ide bagus, Sky masih sedikit lemas masalahnya, tadi jalan saja rasanya sudah mau ambruk. Ini lagi disuruh bawa motor sendiri. Memang Abangnya ini benar-benar raja tega.
"Yaudah cabut gue cabut, dasar Abang durhaka, nebeng aja nggak boleh. Awas aja ntar gue aduin Bunda, wle!"
Langit sama sekali tidak menggubris. Wajahnya tetap tenang dan datar tidak terganggu sama sekali dengan penuturan Sky. Yang ada malah cowok itu yang menggerutu sendiri.
Sky membuang napasnya lalu kembali menatap Langit yang lebih tertarik dengan pemandangan tembok di depan daripada melihat Sky.
"Gue keluar nih Bang?" kata Sky berharap ditahan oleh sang Abang. .
"Bang? Ah elah, bilang, tunggu! Gitu kek, apa kek, ini Abang nggak ada kontribusinya sama sekali sama Adek. Ah nggak like gue Bang, nggak like!"
Terpaksa, melihat tidak ada respon sedikit pun dari Langit, itu artinya Sky memang benar-benar harus keluar sekarang. Namun, ketika tangan Sky meraih handle pintu mobil, tiba-tiba hal tidak terduga terjadi.
"Balik bareng gue," kata Langit tanpa nada alis datar dan lempeng.
Tidak menunggu jawaban dari si Adik, buru-buru Langit menyalakan mesin mobilnya. Di tempatnya Sky sudah senyum-senyum sendiri. Ternyata Abangnya masih peduli. Tidak, Langit itu selalu peduli, tapi gengsi. Dan alasan Langit berat untuk membiarkan Sky pulang sendiri adalah wajah yang sedikit pucat itu, Langit tidak tau Sky sakit apa tidak, jelasnya melihat wajah Sky yang sepertinya tidak baik-baik saja, Langit tidak mau mengambil risiko.
Gini-gini Langit juga akan merasa kehilangan kalau, amit-amit, Sky nantinya kenapa-kenapa di jalan.