7. Sama

1995 Words
"Gimana De? Kuat jalan?" Sky hanya mengangguk pelan sambil tersenyum. "Kuat kok, Bunda," katanya. Meski Sky bilang seperti itu, tetap saja Bunda tidak percaya. Sky selalu saja bilang kuat padahal aslinya dia sendiri lemah. Bunda kadang ingin menoyor kepala anak itu jika terus saja bilang tidak apa-apa. "Kalau nggak kuat kita pakai kursi roda, Sky." Sky berhenti berjalan sambil terus menatap Bunda. Karena hal itu, Bunda juga ikut berhenti. "Kenapa?" tanya Bunda. "Bun, Sky tuh nggak pa-pa. Sky cuma habis kemo doang, lemes dikit nggak sampai lumpuh kok Bun. Jadi bunda nggak usah khawatir dan berhenti anggap Sky sesakit itu. Demi Bun, Sky baik-baik aja," tutur cowok dengan wajah sedikit pucat itu. Bunda lantas mendesah berat. Sambil membuang napas kasar, ia mengangguk. "Oke, tapi nanti kalau ngerasa nggak enak jangan dipaksa ya?" "Iya Bunda .... Eh, tapi tadi Abang nggak tanya kan Bun kita mau ke mana?" "Seperti biasa, Abangmu mana pernah peduli?" Sky meringis mendengarnya. Langit itu bukannya tidak peduli. Percayalah dengan Sky, Langit itu sebenernya peduli hanya saja dia gengsi hanya untuk sekedar bertanya sedang apa dan akan ke mana hari ini. "Abang tuh gengsinya gede Bun, padahal kita seneng kan kalau diperhatiin?" ucap Sky. "Iya, tapi yaudahlah kayak nggak tau Abangmu aja. Tetangga kebakaran juga Bunda yakin kalau Abangmu akan tetap santai-santai aja." "Hush! Bunda jangan ngomong gitu Bun!" tegur Sky yang malah membuat Bunda terkekeh mendengarnya. "Tapi Bun, tau nggak hal apa yang membuat Abang sedikit peduli?" "Apa?" "Cewek!" "Hah?" Bunda jujur terkejut mendengarnya. "Iya Bun, Abang tuh sekarang diem-diem suka sama cewek—" "Ya masa sama cowok, Sky! Ah kamu ini ada-ada aja!" potong Bunda sebelum Sky melanjutkan kalimatnya. "Bukan gitu Bunda, astaga! Maksud Sky tuh, Abang kayaknya sedang jatuh cinta deh sekarang. Kemarin Sky nggak sengaja lewat depan kamar Abang terus lihat Abang senyum-senyum sendiri sama HP. Bunda tau kan kalau Abang pelit senyum?" "Serius kamu?" "Iya!" Tidak terasa karena obrolan itu kini mereka telah sampai di parkiran. Namun, sebelum masuk ke dalam mobil, Sky sempat terdiam ketika dia melihat seorang perempuan didorong dengan kursi roda, tengah tertawa bersama entah siapanya itu. Satu hal yang menjadi fokus Sky adalah perempuan itu tidak punya rambut. Sky menipiskan bibirnya, dia sering sebenernya melihat perempuan itu, pernah satu kali mereka kemo bersama dan terkahir kali itu rambutnya masih ada, panjang dan begitu indah. Lalu sekarang? "Sky, ayo!" Sky menengokkan kepalanya. Bunda telah memanggil, karena teriakan Bunda yang kelewat kencang, perempuan tadi jadi menoleh menatap Sky tanpa Sky ketahui. Sambil tersenyum kikuk, Sky menghampiri Bunda dengan setengah berlari hingga tak sadar membuat tubuhnya yang memang masih lemah hampir saja terjatuh jika tak ada tangan Bunda yang menahan. "Kamu tuh ya! Duhhh bunda pites juga lama-lama. Hati-hati kalau jalan tuh, jangan lari." Sky hanya terkekeh. "Maap Bun," ujarnya. Mereka lalu masuk ke dalam mobil, tetap saja pandangan Sky tak bisa lepas dari perempuan tadi hingga mobil yang dikendarai benar-benar pergi meninggalkan parkiran rumah sakit. Sky menghela napasnya kasar membuat Bunda menoleh menatapnya. "Ada apa? Nggak enak ya badannya?" tanya Bunda namun Sky menggeleng. "Lalu?" Lagi-lagi Sky tersenyum tipis. "Bunda tadi lihat cewek yang ada di kursi roda nggak?" "Lihat." "Waktu itu kan dia masih ada rambut ya Bun, sekarang udah botak aja. Kira-kira Sky jadi kayak gitu juga nggak ya?" Bunda termenung mendengar penuturan Sky. "Kamu takut, Sky?" "Takut gantengnya Sky ilang kalau botak, hehe." Lihat saja bagaimana pun keadaan Sky, cowok itu tetap cengengsan. Anti bagi Sky terlihat lemah di depan orang, meski orang itu adalah Bundanya sendiri. Bunda pun tersenyum. Tangannya kemudian terlulur mengusap lembut kepala Sky dan perlahan menariknya membuat kepala Sky bersandar pada bahu Bunda. "Gimana pun nanti keadaan Sky, jangan takut ya? Sky bakal tetap ganteng kok, nanti Bunda jaga-jaga minyak rambut deh biar nggak rontok," ujar Bunda. "Emang bisa gitu ya, Bun?" "Bisa dong!" jawab Bunda dengan yakin meski hatinya ragu. "Yaudah Bun, nanti beliin ya? Sky nggak mau botak ntar pacar Sky kabur lagi kalau Sky botak plontos." "Eh? Sudah punya pacar? Siapa lagi sekarang?" Rupanya tak hanya warga sekolah saja yang mengenal Sky itu playboy, tapi warga rumah juga. Bunda salah satunya. "Kali ini kayaknya mau serius deh Bun, soalnya calon pacar Sky ini beda, masa dia kabur kalau dideketin sama Sky. Mangkanya Sky suka, doain ya Bun?" Sambil tersenyum geli Bunda mengangguk. "Yaudah iya Bunda doain nanti." "Yes! Doa Ibu tuh mujarab kata orang-orang, buktinya sering ditempel di truk-truk besar." Tergelak Bunda setelahnya. "Apasih kamu tuh nggak jelas. Udah mending sekarang tidur, nggak capek apa?" "Capek, pengen tidur tapi takut," katanya lirih. "Takut apalagi? Kamu tuh cowok perasaan banyak banget takutnya." "Sky takut tidurnya terlalu nyaman sampai Sky lupa buat bangun, Bunda." **** Esok harinya Sky tidak masuk sekolah, entah kenapa dia merasa sangat tidak kuat sekarang. Padahal sebelum-sebelumnya habis kemo juga Sky tetap sekolah dan menjalankan aktivitas seperti biasa, tapi kali ini tidak. Tidak hadirnya Sky di meja makan jelas membuat Langit bertanya-tanya dalam hati ke mana perginya saudara kembarnya itu. Biasanya sudah jadi yang paling heboh. "Lang, nanti kalau pulang sekolah mampir supermarket dong, Bunda beliin sabun cuci. Kemarin pas kamu belanja lupa gitu nggak beli. Ya mau ya, Bang?" Sambil mengambil alih roti buatan Bunda, Langit mengangguk. "Iya," jawabnya dengan singkat. Tak lama terdengar suara pintu terbuka. Langit langsung menolehkan kepalanya, dia pikir itu Sky, ternyata Ayahnya. "Bun, Ayah hari ini sarapan di kantor aja ya?" "Loh kenapa, Yah?" tanya Bunda. "Udah telat, lupa kalau ada meeting pagi." "Kebiasaan, yaudah kalau gitu hati-hati ya?" Langit melihat saja bagaimana Ayahnya itu mencium kening Bunda. Hingga kemudian Ayah berjalan ke arahnya. Tangan Ayah terlulur mengacak pucuk kepala Langit. "Jangan nakal, jangan berulah di sekolah!" pesannya. Langit berdecak kesal. Tidak adakah pesan selain itu? Setelahnya Langit langsung menyalami tangan Ayah sebelum Ayahnya itu benar-benar pergi. Suara derum mobil kemudian terdengar menjauh dan menghilang. Helaan napas kasar Langit keluarkan. Dilihatnya meja makan yang sepi, entah kenapa selalu saja begini, jika Sky tidak ada, pasti Langit akan makan sendiri. Tidak tau itu sebuah kebetulan atau apa, pastinya Langit tidak menyukai hal semacam ini. "Langit, berangkat." Cowok itu bangkit tanpa menghabiskan rotinya. Ia hanya sekali mengigit, sisanya bengong. "Nggak dihabiskan?" tanya Bunda yang baru saja selesai menyuci piring. Langit menggeleng. "Kenyang." Ia lalu berjalan menghampiri Bunda untuk menyalini tangannya. "Hati-hati di jalan, jangan ngebut ya?" kata Bunda. Langit lalu mengangguk. "Iya." Dan tanpa sepatah kata pun lagi, Langit segera pergi. Namun sebelum itu, Langit menyempatkan terlebih dahulu untuk melirik ke lantai dua, tepatnya di mana kamar Sky berada. Kamar itu tertutup rapat. Sejak kemarin juga Langit tidak bertemu dengan adiknya itu. Apa dia sakit? Langit lalu menggeleng. Mungkin demam, kayak biasanya. Dasar, kadang Langit tak habis pikir, gampang sekali Sky terserang penyakit. Itulah sebabnya kenapa Langit benar-benar tak mau Sky masuk dan ikut ke dalam dunianya. Langit tak mau Sky kenapa-kenapa nantinya dan malah merepotkan banyak orang. Sky itu gampang banget kelelahan dan setelah itu mimisan, Langit saja seumur-umur tidak pernah mimisan kecuali habis berantem dan kena tonjok. Kalau itumah sudah sering. **** "Selamat pagi pren, tumben amat nongkrong depan kelas pagi-pagi?" Rena yang baru datang langsung duduk di sebelah Claudia. Cewek itu tadi sedang main ponsel. Aneh, biasanya Claudia akan berdiam diri di dalam kelas kalau pagi-pagi seperti ini. "Ahhh gue tau! Lo lagi nungguin Sky ya? Astaga Clau, buat apa sih? Atau jangan-jangan lo beneran kepincut lagi sama Sky. Iya?" "Apaan sih, Ren. Sok tau lo!" sentak Claudia tidak terima. Lantas dia berdiri habis itu, ketika akan masuk kelas, tangannya terlebih dahulu ditahan oleh Rena. "Tunggu Clau," katanya. "Apalagi?" "Itu Sky datang," tunjuk Rena ke arah koridor setelah anak tangga. Claudia terdiam sambil melihat arah yang Rena maksud, benar saja ada Sky yang berjalan mendekat, tapi kok aneh, itu kayak bukan Sky. Penampilannya beda, dia juga berjalan dengan tenang sambil memasukkan kedua tangan di dalam saku celana tanpa tebar-tebar pesona pada para cewek seperti biasanya. Yang lebih membuat Claudia keheranan lagi adalah ketika Sky lewat sambil melengos begitu saja tanpa melirik sedikit pun ke arahnya. "Lah kok, eh? Tumben nggak mampir?" tutur Rena refleks. "Kok nggak mampir Clau?" kini Rena bertanya kepada Claudia. "Gue juga nggak tau." "Oh gue tau Clau! Dia itu Langit! Pasti yang modelannya kayak gitu tuh Langit!" heboh Rena setelahnya. Kening Claudia menyerngit bingung. "Langit?" "Iya kembarannya, Sky. Jangan bilang nggak tau kalau Sky punya kembaran." Cluadia bukannya tidak tau, dia tau, tapi memang jarang sekali Claudia melihat Langit. Atau sudah sering tapi dia malah mikirnya itu Sky? Entahlah Claudia juga tidak paham mana Langit mana Sky. Dan jangan bilang juga kalau waktu itu yang dia temui di Gramedia juga adalah Langit, bukan Sky? Astaga kalau memang iya, Cludia malu sekarang. "Clau? Hello?" Rena melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Claudia. "Eh apa?" "Ngelamun ya lo?" "Enggak, udahlah mau masuk gue habis ini bel." "Dih, nggak jelas amat anak orang. Tapi Langit kok keren ya? Hihi. CLAU TUNGGU!" **** Jam olahraga seperti ini memang menjadi jam yang akan sangat menyenangkan. Pelajaran yang paling disukai banyak orang sejauh ini. Bagaimana tidak, hal-hal yang diajarkan juga sama itu-itu saja. Praktek sebentar lalu tiga puluh menit sisanya untuk istirahat. Pelajaran satu jam istirahat satu jam. Seperti sekarang, habis materi voli mereka semua langsung bisa leha-leha di pinggir lapangan. "Kembaran lo kenapa nggak masuk, Lang?" Mendengar pertanyaan itu, Langit lantas mengangkat kepalanya menatap Alvaro yang baru saja mendekat sehabis bermain voli. "Sakit kayaknya, demam," jawab Langit. "Kayaknya kayaknya, lo berdua kembar tapi nggak tau kembarannya lagi kenapa. Kembar aneh lo berdua," kata Alvaro. Langit hanya melirik sekilas tanpa niat menjawab. Harusnya juga Alvaro tau kalau Langit begitu cuek dengan apapun. Jangankan keadaan orang lain, keadaannya sendiri saja Langit kadang tidak peduli. "Kantin yuk, Lang," ajak Alvaro kemudian. Tanpa menjawab, Langit langsung berdiri. Bahkan cowok itu tidak mau repot untuk menunggu Alvaro. Memang dasar Langit ini, kalau tidak ingat mereka teman, mungkin Alvaro sudah menggeplak kepala Langit dengan sepatu. Kantin kali ini sangat sepi karena hanya kelas Langit saja yang olahraganya di jam ketiga. Sebentar lagi mungkin akan ramai karena jam istirahat. "Lang, kemarin ada cewek yang minta nomor lo ke gue," ujar Alvaro membuka pembicaraan, pasalnya sejak tadi mereka hanya diam dan fokus dengan ponsel masing-masing. "Terus?" tanya Langit. "Nggak gue kasih lah, mangkanya sekarang gue ngomong. Dia anak SMA Merah Putih, temen SMP Galaksi katanya, dan dia tau lo dari ** Reouwals. Jadi gimana? Boleh gue kasih nggak nomor lo ke dia?" Langit membuat napasnya agak kasar kali ini. "Nomor gue privasi." "Iya tau, tapi kan lumayan cantik kok anaknya. Ya siapa tau aja cocok sama lo. Biar nggak bersarang tuh hati kelamaan jomblo. Masa lo mau kalah sama Sky yang tiap ganti hari ganti cewek?" Cowok itu kemudian tersenyum miring. "Gue bukan Sky yang suka main-main." "Jadi? Mau langsung serius?" "Hm." "Cieileh gaya lo!" ledek Alvaro dan tetap seperti biasa. Langit hanya menunjukkan wajah datar tanpa ekspresi. "Eh Lang, ngomong-ngomong sekarang Sky lagi deket sama si itu ya? Siapa teh namanya, emm ... ah Claudia! Lo tau kan? Yang anak paskib manis banget itu?" Sebelah alis Langit sontak terangkat. Mana dia tau Sky tengah dekat sama siapa. "Nggak tau gue," katanya. "Lah? Masa sih nggak tau?" Langit tetap menggeleng. Terlihat wajah kecewa Alvaro di sana. Sungguh, beginilah kalau hanya berdua dengan Langit, selalu kehabisan topik. Biasanya kalau ada Sky mereka akan sangat ribut membicarakan apapun, dari link yang secara tak sengaja terkirim ke grup kelas sampai harga naik turunnya makanan di kantin. Malas mencari obrolan lain, Alvaro pun hanya bersenandung saja kecil mengikuti lagu yang dia putar, hingga matanya tidak sengaja terpaku pada satu titik yang hendak masuk ke dalam kantin. Melihat itu, senyum Alvaro mengembang. "Lang, Lang! Lihat, nah itu Claudia yang gue maksud!" heboh Alvaro sambil menepuk-nepuk lengan Langit pelan. Langit yang kepo langsung memutar kepalanya. Sejenak dia terdiam, itu kan cewek yang waktu itu dia lihat di lapangan, Gramedia, dan tadi pagi di koridor. "Jadi itu cewek yang lagi deket sama kembaran lo sekarang! Cakep kan? Emang harusnya lo berguru sih sama dia." Jadi, cewek itu sedang dekat dengan Sky sekarang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD